Dampak dari Kurangnya Ruang Kreatif dan Kebebasan Bermain pada Anak di Era Digital

Dampak dari Kurangnya Ruang Kreatif dan Kebebasan Bermain pada Anak di Era Digital

DEPOKPOS – Di era digitalisasi yang serba cepat dan penuh dengan gadget canggih, dunia anak-anak mengalami perubahan drastis. Dari cara belajar, bermain, hingga berinteraksi sosial, semuanya kini kian dipengaruhi oleh teknologi. Meski membawa banyak kemudahan, ada sisi gelap yang sering luput dari perhatian: kurangnya ruang kreatif dan kebebasan bermain bagi anak-anak. Fenomena ini tidak hanya memengaruhi kebahagiaan mereka, tetapi juga mengancam perkembangan imajinasi dan keterampilan sosial yang menjadi fondasi penting dalam tumbuh kembang anak.

Permainan tradisional pernah menjadi bagian penting dari kehidupan anak-anak Indonesia. Dari gobak sodor, bentengan, hingga congklak—permainan ini tidak hanya menghibur, tapi juga mengajarkan kerja sama, sportivitas, dan empati. Namun, dalam dua dekade terakhir, permainan tradisional perlahan menghilang, tergantikan oleh gawai dan game digital yang bersifat individualistik.

Bacaan Lainnya

Dampaknya tidak sekadar nostalgia yang hilang, tetapi juga krisis dalam perkembangan sosial, emosional, dan budaya generasi muda. Ini bukan sekadar urusan hiburan anak, tapi menyangkut masa depan masyarakat sebagai komunitas yang terhubung secara sosial dan kultural.

BACA JUGA:  K-pop dan Gen Z: Mengapa Musik Korea Tetap Mendominasi Hati Remaja Indonesia?

Sosiolog Emile Durkheim menyatakan bahwa masyarakat terbentuk melalui interaksi sosial yang teratur dan bermakna. Dalam konteks anak-anak, permainan adalah bentuk interaksi paling dasar yang memperkenalkan nilai-nilai seperti giliran, aturan, toleransi, dan solidaritas., bermain bukan sekadar aktivitas menyenangkan, melainkan proses penting bagi anak dalam memahami dunia dan dirinya sendiri. Bermain menyediakan ruang bagi anak untuk mengekspresikan kreativitas, belajar berempati, berkolaborasi, serta mengasah kemampuan problem solving. Melalui bermain, anak belajar mengelola konflik, memahami peran sosial, dan membangun rasa percaya diri.

Sayangnya, di zaman digital, banyak anak lebih memilih bermain gadget yang cenderung pasif dibanding bermain secara fisik dan kreatif. Hal ini diperparah dengan semakin sempitnya ruang terbuka hijau, taman, dan area bermain yang aman dan nyaman di lingkungan sekitar.

Kondisi ini melahirkan apa yang bisa disebut sebagai “krisis imajinasi.” Anak-anak yang terlalu banyak terpaku pada layar digital cenderung mengalami penurunan kemampuan untuk berimajinasi dan berkreasi secara bebas.Tak bisa dimungkiri, game digital menawarkan daya tarik yang besar: visual menarik, skor instan, dan kompetisi yang menantang. Tapi banyak di antaranya bersifat individual atau kompetitif tanpa relasi emosional. Bahkan dalam game daring (online), kerja sama lebih sering berdasarkan strategi menang, bukan empati atau kebersamaan.

BACA JUGA:  Jejak Kecil di Kampus, Harapan Besar untuk Anak Negeri

Selain itu, pola pembelajaran yang masih seragam dan berorientasi pada jawaban benar-salah membuat ruang untuk kreativitas makin terbatasi. Anak-anak lebih fokus pada hasil dan nilai, daripada proses eksplorasi dan eksperimen yang sebenarnya dapat menstimulasi imajinasi dan kemampuan berpikir kritis.

Keterbatasan ruang bermain fisik dan dominasi interaksi digital juga berdampak pada keterampilan sosial anak. Bermain secara langsung dengan teman sebaya memberi kesempatan untuk belajar negosiasi, empati, hingga mengelola emosi dalam konteks nyata. Tanpa interaksi sosial yang cukup, anak bisa mengalami kesulitan dalam membangun hubungan sosial yang sehat di masa depan.

Lebih jauh, keterampilan komunikasi verbal dan nonverbal yang berkembang melalui permainan fisik cenderung berkurang bila anak lebih banyak berinteraksi secara digital. Hal ini dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk memahami ekspresi dan bahasa tubuh orang lain, yang sangat penting dalam hubungan sosial.

Untuk mengatasi krisis imajinasi dan keterampilan sosial anak, diperlukan kolaborasi berbagai pihak. Pemerintah harus menyediakan ruang bermain yang aman dan mudah diakses, sementara orang tua perlu membatasi penggunaan gadget dan mendorong eksplorasi kreatif. Di sekolah, sistem pendidikan harus menyeimbangkan pembelajaran akademik dengan aktivitas yang merangsang imajinasi, seperti proyek kreatif dan permainan edukatif.

BACA JUGA:  AI dan Otomasi dalam Ekonomi Berdampak Terhadap Tenaga Kerja dan Produktifitas

Peran komunitas dan media juga krusial. Komunitas dapat mengadakan kegiatan seperti klub seni atau festival anak-anak untuk memupuk kreativitas, sedangkan media berperan dalam menyosialisasikan pentingnya bermain bagi perkembangan anak. Dengan sinergi ini, anak-anak dapat tumbuh dengan imajinasi yang kaya dan keterampilan sosial yang matang.

Imajinasi dan keterampilan sosial adalah fondasi penting yang membentuk kualitas manusia masa depan. Membatasi ruang kreatif dan kebebasan bermain anak sama dengan menghambat potensi generasi penerus bangsa. Oleh sebab itu, menjadi tanggung jawab bersama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak secara utuh—bukan hanya sebagai pembelajar akademik, tapi sebagai pribadi kreatif, sosial, dan empatik.

Dengan memberikan ruang dan waktu yang cukup untuk anak bermain dan berimajinasi, kita sedang berinvestasi pada masa depan bangsa yang lebih inovatif, inklusif, dan berdaya saing.

Sherly Agnitya
Mahasiswa Universitas Pamulang
Program Studi Akuntansi S1

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait