Oleh: Bellinda Nasywa Azzahra
Hari demi hari, kita menyaksikan bayangan gelap terus menghantui masyarakat Indonesia. Saat ini masyarakat dihadapkan dengan berbagai kebijakan yang alih-alih menyejahterakan, justru semakin memperdalam penderitaan. Pemangkasan anggaran pendidikan adalah contoh nyata dari penderitaan. Pendidikan, yang seharusnya menjadi investasi jangka panjang bagi bangsa, kini justru dikorbankan untuk kebijakan yang manfaatnya belum jelas bagi rakyat banyak. Anak-anak yang bermimpi tinggi kini dihadapkan pada ketidakpastian: apakah mereka masih bisa melanjutkan sekolah, ataukah masa depan mereka perlahan digerus oleh keputusan yang dibuat di ruang-ruang tertutup tanpa mendengar suara mereka?
Revisi undang-undang semakin memperluas kewenangan aparat yang kian mengkhawatirkan, undang-undang memihak oligarki dibandingkan untuk kepentingan rakyat. Berbagai proyek yang menghabiskan dana fantastis seperti Danantara dan kasus Pagar Laut, tak memiliki keberpihakan kepada rakyat. Aturan yang dibuat bukan bertujuan melindungi hak-hak sipil, melainkan berpotensi mengonsolidasikan kekuasaan di tangan segelintir orang.
Berbagai kasus korupsi masih terus terjadi di tengah situasi gelap ini, mulai dari Skandal mega korupsi BTS 4G hingga dugaan penyalahgunaan dana publik dalam proyek-proyek strategis nasional, rakyat semakin dibuat geram dengan bagaimana uang negara terus dikuras untuk kepentingan segelintir elite. Reformasi yang dijanjikan dalam sistem demokrasi nyatanya tak lebih dari sekadar ilusi.
Tidak heran jika mahasiswa turun ke jalan dalam gerakan Indonesia Gelap untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka. Namun, di balik semangat perlawanan ini, ada satu pertanyaan mendasar yang harus diajukan: apakah solusi yang mereka tawarkan benar-benar menyelesaikan masalah hingga ke akarnya? Ataukah ini hanya sebatas reaksi terhadap kebijakan, tanpa melihat sistem yang melahirkannya?
Berbagai aksi protes yang terjadi hari ini menunjukkan satu pola yang sama: mayoritas tuntutan masih berkisar dalam bingkai demokrasi. Bahkan, sebagian pihak menyerukan kembali ke konsep demokrasi kerakyatan sebagai solusi atas persoalan yang ada. Namun, ironisnya, justru sistem demokrasi itu sendiri yang menjadi akar dari permasalahan yang kita hadapi saat ini. Demokrasi, yang sering dipandang sebagai jalan menuju kebebasan dan kesejahteraan, justru telah membuka ruang bagi segelintir elite untuk mengendalikan kebijakan, mengorbankan kepentingan rakyat atas nama pembangunan ekonomi, dan memperlebar jurang ketimpangan sosial. Sistem ini telah berkali-kali membuktikan kegagalannya dalam menciptakan keadilan sejati. Setiap pergantian pemimpin, setiap reformasi kebijakan, tetap berujung pada kekecewaan yang sama: rakyat tetap menjadi korban, sementara segelintir kelompok yang memiliki akses terhadap kekuasaan semakin makmur. Jika sistem ini yang menjadi pangkal masalah, apakah masuk akal jika kita terus-menerus berharap solusi datang darinya?
Kita bisa melihat sendiri bagaimana demokrasi memberikan ruang bagi kepentingan kapitalisme untuk tumbuh subur. Kekuasaan sering kali dimenangkan oleh mereka yang memiliki modal besar, sementara rakyat hanya menjadi alat legitimasi dalam proses pemilu. Akibatnya, kebijakan yang dibuat lebih banyak berpihak pada pemilik modal dibandingkan dengan kepentingan masyarakat. Kita bisa melihat bagaimana eksploitasi sumber daya alam terus berlanjut tanpa bertanggung jawab terhadap akibat yang berdampak buruk lingkungan dan masyarakat setempat. Bagaimana kebijakan ekonomi yang diambil sering kali lebih menguntungkan investor asing daripada memberdayakan masyarakat lokal.
Kesadaran dan protes saja tidak akan membawa perubahan nyata jika tidak dibarengi dengan pemahaman yang lebih mendalam dan solusi yang dapat menyelesaikan akar masalah. Permasalahan yang terjadi secara sistemis tidak akan bisa diselesaikan hanya perkara cabang, Islam hadir sebagai solusi atas setiap permasalahan kehidupan. Sistem yang pernah menguasai lebih dari 1/3 dunia dalam waktu lebih dari 13 abad. Islam bukan sekadar agama dalam ranah spiritual, tetapi sebuah sistem kehidupan yang mencakup berbagai aspek, mulai dari politik, ekonomi, hingga sosial. Islam memberikan solusi yang tidak bergantung pada suara mayoritas yang bisa dimanipulasi, tetapi pada prinsip kebenaran yang tetap dan tidak berubah. Sistem Islam memiliki pengaturan bahwa kepemimpinan bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Hukum tidak dibuat oleh manusia yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan dapat berubah sesuai kebutuhan pembuat peraturan, melainkan hukum berasal dari Tuhan Yang Maha Esa yang bersifat tetap dan baku, Dzat yang lebih mengetahui akan kebutuhan dan masa depan manusia, dan yang menjamin keadilan bagi setiap manusia
Sejarah telah membuktikan bahwa ketika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh, keadilan dan kemakmuran bukan sekadar angan-angan, melainkan sebuah fakta yang dapat dirasakan oleh setiap masyarakat. Lihatlah bagaimana kejayaan peradaban Islam pada masa Kekhalifahan, di mana keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu, ilmu berkembang pesat, dan kesejahteraan merata. Bandingkan dengan kondisi dunia saat ini yang dipenuhi oleh ketimpangan sosial, peperangan yang dipicu oleh kepentingan ekonomi, dan masyarakat yang semakin kehilangan arah akibat sistem yang tidak mampu memberikan kepastian hidup.
Jika kita benar-benar menginginkan masa depan yang lebih baik, sudah waktunya kita berhenti mencari solusi dalam sistem demokrasi yang berulang kali gagal. Saatnya kita kembali kepada sistem yang telah terbukti menghadirkan keadilan, kesejahteraan, dan kejayaan bagi umat manusia, yaitu sistem Islam.
Bellinda Nasywa Azzahra
Mahasiswa Teknik Bioproses Universitas Indonesia