Di balik layar hidup penuh estetika dan senyum di media sosial, banyak anak muda menyimpan rasa lelah yang sering disalahpahami sebagai malas. Mungkin, yang mereka butuhkan hanya untuk dimengerti
DEPOKPOS – “Kamu tuh kurang semangat,” kata seorang atasan pada Raka (23), karyawan kreatif di sebuah startup teknologi. Raka hanya mengangguk. Ia tidak tahu harus menjelaskan dari mana rasa lelah itu berasal—karena bahkan ia pun belum sepenuhnya paham.
Dalam era serba cepat dan serba bisa seperti sekarang, banyak generasi muda—terutama dari kalangan Gen Z dan milenial awal—merasa terus diburu oleh ekspektasi. Sukses di usia muda, punya branding diri yang kuat, aktif di media sosial, menjaga kesehatan mental, tetap produktif, bahkan diharapkan tetap “fun”.
Tekanan itu datang dari segala arah, tak selalu terlihat dari luar, tapi meninggalkan dampak nyata di dalam. “Orang tua saya bilang saya malas. Tapi saya rasa saya cuma capek. Fisik iya, tapi lebih ke mental,” ujar Raka, lirih.
Fenomena yang Tak Tampak: Lelah yang Dianggap Remeh
Menurut data dari World Health Organization (WHO) tahun 2024, lebih dari 62% anak muda di Asia Tenggara mengalami gejala burnout ringan hingga sedang, meskipun hanya 18% yang menyadari atau mencari bantuan profesional.
Di Indonesia, survei dari Youth and Mental Health Institute (YMHI) menyebutkan bahwa 3 dari 5 anak muda pernah merasa ‘sangat lelah’ secara emosional dalam satu minggu terakhir.
Lelah ini bukan tentang kurang tidur atau terlalu banyak kerja semata. Ini adalah gabungan dari tekanan sosial, kecemasan masa depan, perbandingan diri dengan orang lain, dan rasa bahwa hidup harus selalu bergerak maju.
“Kita hidup di dunia di mana orang sukses di usia 20-an dianggap biasa. Jadi kalau belum ‘jadi siapa-siapa’, kita ngerasa gagal. Itu berat banget, apalagi kalau nggak punya support system yang sehat,” kata Anggi (21), mahasiswa di Jakarta.
Senyum di Media Sosial, Tangis di Kamar
Generasi muda saat ini tumbuh bersama media sosial. Mereka bukan hanya penggunanya, tapi juga bagian dari ‘produk’ yang terus tampil dan dinilai. Instagram dan TikTok jadi tempat menampilkan versi terbaik diri. Tapi di balik unggahan liburan, outfit, atau “productive morning routine”, banyak yang menyimpan kegelisahan.
“Kami tampil ceria karena itu yang dihargai. Kalau jujur soal kesedihan, malah dianggap cari perhatian,” ucap Mia (22), seorang content creator. “Akhirnya kami berpura-pura, terus makin lelah sendiri.”
Fenomena ini disebut juga toxic positivity—di mana tekanan untuk selalu positif justru membuat emosi negatif tertekan, bukan diatasi. Alih-alih menyembuhkan, itu malah memperdalam luka.
Bukan Cari Alasan, Tapi Minta Dipahami
Menyebut anak muda sekarang ‘malas’ atau ‘lembek’ sering kali menjadi respon otomatis dari generasi sebelumnya. Padahal, yang dibutuhkan bukan motivasi ala seminar atau kata-kata penyemangat di poster kaku. Yang mereka butuhkan adalah ruang aman untuk didengar.
“Banyak yang bilang, ‘kami dulu juga susah, kamu jangan manja’. Tapi kondisi dulu dan sekarang berbeda,” ungkap psikolog klinis Niken Savitri, M.Psi. “Dulu tantangannya fisik. Sekarang tantangannya mental—dan itu nggak kalah berat.”
Ia menyarankan pentingnya mengenali tanda-tanda burnout, memberi ruang refleksi, dan tidak langsung memberi label negatif pada anak muda yang tampak lesu atau menarik diri.
“Jangan buru-buru bilang malas. Tanyakan dulu, ‘kamu kenapa?’. Kadang, satu kalimat itu bisa menyelamatkan hari mereka,” tambahnya.
Belajar Menjadi Lelah dengan Wajar
Menjadi lelah bukan tanda kelemahan. Itu justru pertanda bahwa seseorang sedang mencoba. Bahwa mereka bergerak, berjuang, dan butuh istirahat.
“Sekarang aku belajar untuk istirahat tanpa merasa bersalah,” ujar Raka. “Mungkin, jadi dewasa bukan soal terus bergerak. Tapi tahu kapan harus berhenti sejenak.”
Dan untuk itu, mungkin kita semua—baik muda maupun tua—perlu belajar satu hal yang sederhana tapi penting: untuk mendengar, bukan menilai.
Arsa Syauqi Lubis