DEPOKPOS – Pelaporan tata kelola syariah bank bank Islam di Malaysia dikategorikan dari beberapa indeks pelaporan terdiri dari enam dimensi yaitu komite syariah, tinjauan syariah, audit syariah, risiko syariah, tranparansi keseluruhan dan pemegang akun investasi.
Struktur tata kelola konvensional, bank Islam (IB) memiliki lapisan tata kelola tambahan yang dikenal sebagai tata kelola syariah (SG), yang merupakan alat utama yang digunakan oleh IB untuk mengurangi risiko yang terkait dengan ketidakpatuhan syariah (Zuhroh, 2022). Istilah SG pertama kali dicetuskan oleh MA Qatan pada tahun 2003 dan mendefinisikannya sebagai “proses tata kelola pada dasarnya bergantung pada fundamental arsitektur keuangan Islam” (Karim Genina, 2015). Badan pembuat standar, Organisasi Akuntansi dan Audit untuk Lembaga Keuangan Islam (AAOIFI) dan Dewan Layanan Keuangan Islam (IFSB) mulai menggunakan konsep ini untuk mengembangkan dan menilai SG lembaga keuangan Islam (IFI) mendefinisikannya sebagai ‘pengaturan organisasi dan kelembagaan untuk mengotentikasi pengawasan yang efektif dan independen terhadap kepatuhan syariah terhadap pernyataan/ resolusi Syariah yang relevan dan penyebarannya serta tinjauan/audit kepatuhan Syariah internal dan tahunan.
Penerapan tata kelola syariah diharapkan untuk dapat bisa membangun kembali kepercayaan publik, mencapai tujuan bisnis dan memastikan konsistensi pertumbuhan (Ab Ghani et al.,2023). Beberapa alasan SG perlu diterapkan pertama, pelaporan produk, layanan, operasi dan informasi tata kelola memulai laporan tahunan memungkinkan para pemangku kepentingan untuk menilai kepatuhan lembaga terhadap prinsip prinsip syariah, tingkat pengendalian internal, praktik SG, dan kredibilitas informasi keuangan. Kedua tranparansi, dalam SG untuk meningkatkan kepercayaan pemegang saham, dewan direksi, manajemen dan pemangku kepentingan. Ketiga, kemampuan lembaga keuangan Islam untuk memahami dan menginterpretasikan aturan dan prinsip syariah agar sesuai dengan aturan syariah.
Definisi SG dan tata kelola perusahaan tradisional (CG) harus sesuai dengan standar tata kelola agar diiterima secara global sebagaimana yang diuraikan dalam Cadbury (1992), yang mendefinisikan CG sebagai “sistem yang dibuat untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dan bertanggung jawab atas tata kelola perusahaan.” Para pemegang saham menunjuk direktur dan auditor untuk memastikan struktur tata kelola yang efektif (Cadbury, 1992). Di Malaysia, dasar-dasar CG dapat ditelusuri dalam Kode Tata Kelola Perusahaan Malaysia (MCCG) yang dikeluarkan pada tahun 2017 oleh Komisi Sekuritas Malaysia, yang mendefinisikan CG sebagai, “prosedur dan struktur yang diterapkan untuk memantau dan mengelola urusan bisnis perusahaan sedemikian rupa sehingga maju menuju kesuksesan dan akuntabilitas perusahaan yang tujuan utamanya adalah untuk menciptakan nilai berkelanjutan bagi pemegang saham dan juga melindungi kepentingan pemangku kepentingan” (Komisi Sekuritas, Tahun 2017). CG lembaga keuangan di Malaysia diatur dalam Pedoman Tata Kelola Perusahaan untuk Lembaga Berlisensi-2013 yang dikeluarkan oleh Bank Negara Malaysia (BNM) (BNM, Tahun 2013).
Saat ini, belum ada definisi standar mengenai SG dari lembaga keuangan Islam di Malaysia karena adanya perbedaan pendapat di antara para ahli mengenai definisi tunggal. Pedoman IFSB mengenai sistem SG untuk lembaga yang menyediakan jasa keuangan Islam mendefinisikannya sebagai koordinasi antara peran strategis dan fungsi masing-masing organ tata kelola dan proses untuk menyeimbangkan lembaga yang menyediakan jasa keuangan Islam dengan meminta pertanggungjawaban mereka kepada para pemangku kepentingan (IFSB,Tahun 2009). SG IFI di Malaysia diawasi oleh komite penasehat syariah (SAC) BNM yang memberikan wewenang kepada SAC untuk melakukan pengawasan kepatuhan IFI luar negeri terhadap kerangka tata kelola syariah 2010 (SGF-10) (Haqqi, 2014). Beberapa masalah umum dalam tata kelola LKI di Malaysia terkait dengan ketidakpatuhan syariah, pencairan dana tanpa aqad yang benar, kesalahan dalam perhitungan keuntungan yang dihasilkan dari nasabah yang melebihi harga jual bank, tunjangan perpanjangan, perluasan pembiayaan tanpa aqad yang benar, dan penggunaan dokumen transaksi yang tidak akurat untuk berbagai kontrak syariah (Ab Ghani et al., 2023).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa cakupan pelaporan untuk enam dimensi pada bank Islam ( komite syariah, tinjuan syariah, audit syariah, resiko syariah, tranparansi dan pemegang rekening investasi) belum secara garis besar mengungkapkan semua dimensi SG. Oleh karena itu wajib menegaskan bahwa SGR merupakan prioritas utama dan mayoritas dimensi yang harus di ungkapkan oleh sebagian besar Bank Islam.
Pelaporan tata kelola syariah dibutuhkan untuk menyoroti bahwa bank Islam telah melaporkan informasi SG dibutuhkan harus secara wajar, namun pola pelaporan seragam dan mengikuti urutan pengungkapan yang sama. Oleh karena itu sangat penting bagi semua bank syariah untuk melakukan pelaporan yang sama demi keberhasilan industri perbankan Islam dan memvalidasi sebagai pusat keuangan Islam.
Kesimpulannya, perdebatan tentang SG masih menjadi perhatian publik karena adanya perbedaan mekanisme dan pola SG. Oleh karena itu, untuk menyelidiki SGR karena tatahan pemerintahan sangat diatur. Pelaporan tata kelola syariah di bank Islam menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Karena pelaporan yang efektif tidak hanya membantu dalam menjaga kepercayaan pemangku kepentingan, tetapi juga mendukung pengambilan keputusan yang berbasis syariah. Bank perlu menerapkan standar pelaporan yang jelas dan konsisten, serta melibatkan auditor syariah untuk memastikan semua praktik sesuai dengan hukum Islam. Dengan demikian, tata kelola syariah yang baik dapat meningkatkan kinerja dan stabilitas bank Islam.
Sonia Nadila Putri
Mahasiswa STEI SEBI, Depok