DEPOK – Mubalighah Kota Depok, Nurjannah Zein mengatakan setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan semakin maraknya gangguan mental dalam keluarga.
“Semakin maraknya gangguan mental yang terjadi saat ini. Setidaknya ada dua faktor penyebabnya,” ungkapnya dalam Forum Kajian Komunitas Keluarga Sakinah, Kesehatan Mental Keluarga, Tanggung Jawab siapa?, Ahad (20/10/2024) di Depok.
Menurutnya, adapun kedua faktor tersebut yakni: Pertama, karena diterapkan sistem sekuler kapitalis. “Hari ini aturan yang digunakan dalam kehidupan tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Berarti kalau tidak menggunakan keduanya itulah sekuler (memisahkan kehidupan diri dari agama),” terangnya.
Jadi, tambahnya, agama itu digunakannya hanya di masjid saja. Kalau di masjid boleh ngomongin agama, kalau ngomongin shalat, zakat, haji, boleh pakai agama. Tapi kalau ngomongin ekonomi, pendidikan, sosial, politik tidak usahlah bawa-bawa agama. Repot amat, dikit-dikit neraka, dikit-dikit dosa, dikit-dikit surga. Nah saat ini begitu, aturannya yang digunakan sesuai dengan keinginan manusia, bukan memakai agama.
Kemudian lanjutnya, ada kata kapitalis. Kalau tadi aturan yang digunakan itu dipisahkan dari agama. Lalu ada sistem sekuler kapitalis, artinya segala sesuatu atau kebahagiannya itu dihitung dengan materi. Dalam keluarga misalnya, terkenal dengan pepatah, ada uang abang disayang, tidak ada uang abang ditendang, begitu pula dalam masyarakat, egala sesuatunya akan dinilai dengan uang.
“Termasuk di negeri yang menerapkan sistem sekuler kapitalis ini, tidak ada itu aturan yang dikembalikan kepada agama, semua hitungannya uang. Itulah kenapa saat ini semua kebutuhan mulai dari biaya pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya kian mahal karena kita tidak diatur dengan aturan Islam. Maka negara ini hanya mengatur kepada rakyatnya sekadar keuntungan, kalau ada untungnya aku urusin, kalau tidak ada untungnya aku jualin,” bebernya di hadapan para peserta.
Bahkan menurutnya, selain diterapkannya sistem sekuler yang menyebabkan stres, depresi, karena biaya pendidikan yang tinggi, maka wajar kalau akhirnya tidak mampu menciptakan anak-anak yang berkualitas, anak-anak yang taat kepada Allah, tapi anak-anak yang stres, karena terlalu banyak pelajarannya namun tidak dimengerti.
Kedua, lemahnya imunitas keluarga di dalam kehidupan, fungsi keluarga tidak tercapai, peran ayah, ibu dan anak itu tidak berjalan. “Seharusnya seorang ayah, ia sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas urusan keluarga. Nafkahnya, pendidikan istri dan anaknya. Kemudian rumah ini merupakan madrasah/sekolah yang pertama bagi seluruh anggota keluarganya,” ujarnya.
Tapi faktanya, lanjutnya, saat ini tugas ayah hanya mencari nafkah, pergi sebelum anaknya bangun, pulang anaknya sudah tidur. “Lalu kapan mendidik anaknya?” tanyanya kepada para peserta yang hadir.
“Namun inilah yang terjadi, tidak terjalin komunikasi, sebab yang dikejar bagaimana caranya mendapat uang, walaupun uangnya tidak cukup,” tambahnya.
Lalu, lanjutnya, fungsi ibu sebagai pendidik pertama, madrasatul‘ ula, itu pun tidak tercapai, tidak berfungsi dalam keluarga karena kesulitan ekonomi tadi yang tidak dengan aturan Allah hingga akhirnya ibu-ibu pun keluar rumah membantu mencari nafkah. “Tidak ada pendidikan kepada anaknya, akhirnya anaknya di rumah tidak ada pendidikan, di sekolah tidak mendapatkan apa-apa, hingga pada akhirnya stres lah anak ini,” pungkasnya. [Sari Liswantini]