Si Pitung: Bentuk Perlawanan Masyarakat Betawi Pada Penjajah Belanda

Si Pitung: Bentuk Perlawanan Masyarakat Betawi Pada Penjajah Belanda

Oleh : Murodi al- Batawi

Belanda yang datang ke Indonesia pada 1596 M berhasil mengubah haluannya dari yang semula hendak berdagang dan membeli rempah-rempah dari penduduk pribumi, menjadi kolonial, serelah Jan Vieter Z Coen menjadi gubernur jenderal pada 1626 M. 23 tahun setelah VOC (Vereenidge Oast Indiche Compagnie ) beroperasi di Batavia.

Kemudian Belanda menjadikan Kota Batavia sebagai pusat pemerintahan di Indonesia. Perdagangan dan penjajahan di Batavia dan kemudian di seluruh Indonesia, menimbulkan kegelisahan bagi penduduk pribumi, bahkan pemberontakan.

Hal itu terjadi karena penjajah Belanda yang kafir bertindak semena-mena terhadap masyarkat asli penduduk Batavia dan penduduk daerah lainnya saat itu. Tidak hanya tanah dan harta pribumi diambil paksa, juga jiwa mereka.

Belanda dengan menggunakan persenjataan muatakhir saat itu, mampu menakut-nakuti bahkan membunuh siapa saja yang berani melawan Belanda. Meskipun Belanda kadang berhasil memberangus para penentangnya, tetap saja selalu datang perlawanan dari para penduduk pribumi yang tidak suka dan tertindas.

Mereka melakukan perlawanan baik individu maupun berkelompok. Untuk menghadapi pemberontakan tersebut, Belanda juga menggunakan kaki tangan pribumi yang selama itu sudah membantu pekerjaan Belanda sebagai penghasil dan penjual rempah.

Mereka membantu Belanda karena selama itu mereka sudah diuntungkan, baik secara finansial maupun kedududukan. Tampaknya Belanda melihat itu sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan untuk membantu mengusir dan melawan inlander yang selama ini dianggap telah mengganggu usaha mereka di tanah jajahannya.

Dengan begitu, Belanda akan sangat mudah memecah belah perlawanan penduduk pribumi. Dengan politik Devide et Imper, Belanda berhasil mengadu domba antara pribumi yang pro Belanda dengan penduduk yang anti Belanda.

Penduduk pribumi pro Belanda kemudian diangkat dan diberi jabatan Demang yang dioerbolehkan memiliki pasukan Marsose sendiri. Pasukannya inilah yang menjaga dan melindungi kepentingan Demang dan kepentingan Belanda di tanah jajahannya.

Sementara penduduk pribumi yang anti dan menolak kehadiran Belanda kafir melakukan perlawanan. Mereka ada bertindak secara pribadi atsu kelompok. Di antara perlawanan yang dilakukan secara individual dilakukan oleh Madarip, seorang tokoh pejuang masyarakat Betawi dari Bekasi. Sedang perlawanan yang dilakukan secara berkelompok seperti yang dilakukan oleh Perlawanan si Pitung di tanah Betawi.

Selama ini, pengetahuan kita tentang si Pitung adalah seorang tokoh yang berjuang sendirian di tanah Betawi. Padahal, Pitung itu merupakan kelompok perlawanan yang terdiri dari 7 orang jago Silat dan memiliki pebgetahuan ilmu agama serta anggota sebuah Tarekat di Betawi. Jika satu orang anggota tewas, diganti dengan orang lain yang lulus ujian.

Kata Pitung berasal dari kata Pitu Putulung. artinya, Tujuh Orang pandai Silat dan menguasai ilmu agama, yang bisa memberikan pertolongan untuk membebaskan masyarakat dari ketertindasan.

Sejarah Si Pitung di Betawi

Seperti disinggung pada bagian sebelumnya, selama ini, masyarakat Betawi mengenal Si Pitung sebagai seorang Pejuang di Betawi dan di mata Belanda sebagai seorang perampok. Jika di Inggris ada orang bernama Robin Hood Pendeskrediran Si Pitung sebagai perampok itu untuk mengacaukan dan memecah belah bentuk perlawanan masyarakat pribumi di Betawi. Karena si Pitung sering merampok Demang dan antek-anteknya dan menguras harta benda Kompeni. Dan hasil rampokannya bukan untuk si Pitung sendiri, tapi dibagi-bagi untuk masyarakat miskin di daerah Betawi.

Untuk menghadapi bentuk perlawanan di Pitung, Belanda mengangkat Demang, Marsose dan jagoan silat di Betawi. Mereka dikasih kedudukan dan upah yang pantas bagi para penjilat Belanda. Akhirnya, di situlah terjadi bentrokan hebat antara si Pitung dengan para jawara Betawi yang sudah dicucuk hidungnya.

Menurut Iwan Mahmoed al-Fatah, organisasi perlawanan rakyat Betawi ini dibentuk pada 1880 M. oleh H. Naipin, seorang ulama dan ahli Silat dari Tenabang.

Untuk menjadi calon anggota si Pitung, lanjut Iwan, mereka, para santri terbaik wajib mengikuti tes seleksi yang sangat ketat. Tes jurus terakhir dari Silat yang pernah diajarkan H. Naipin, ujian ilmu agama dan Tarekat yang diajarkan. Terakhir pembacaan khataman al-Qur’an. Setelah dinyatakan lulus, mereka dibai’at untuk tetap setia dan berjihad fi Sabilillah. Setia pada persahabatan, selalu menolong rakyat. Hormat pada kedua orang tua, guru dan sesepuh adat. Setelah itu, mereka baru disebut sebagai si Pitung.

Penyebutan nama Pitung, lanjut Iwan, terinspirasi oleh QS al-Fatihah yang terdiri dari 7 ayat. Karenanya, mereka selalu ditekankan untuk mempraktikkan dan mengamalkan isi dan kandungan QS. al-Fatihah.

Diantara ke 7 Pendekar itu dipilihlah Radin Muhammad Ali Nitikusuma. Ia merupakan murid kesayangan H. Naipin, selain keponakannya sendiri, ia juga termasuk yang paling cerdas dan kuat serta menguasai semua ilmu yang diajarkan H. Naipin. Ia ditinggal oleh ayahnya karena dibunuh tuan tanah dan centeng-centeng Cina. Hartanya dirampas dan saudara-saudaranya difitnah dan diburu. Ia jadi yatim dalam usia dua tahun. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan seirang duda dari daerah Kemanggisan. Kemudian, Muahmmad Ali Nitikusuma, dijadikan anak angkat H. Naipin. Ia dididik dengan baik oleh H. Naipin sehingga ia menguasai semua ilmu yang diajarkannya.

Raden Bagus Muhammad Roji’ih atau Bang Ji’ih

Menurut IwanMahmoed, orang kedua yang juga tidak kalah hebatnya adalah Ratu Bagus Muhammad Roji’ih Nitikusuma. Dialah otak dibalik semua strategi perlawanan gerakan Pitung. Dikenal licin dan sulit untuk ditangkap. Namanya sering disebut sebagai Ji’ih.

Sosoknya alim dan Soleh dan dikenal sangat keras perlawanannya terhadap penjajah kafir. Dia tidak seperti yang digambarkan dalam beberapa film. Dia justeru sangat cerdas dan penuh perhitungan.5 orang lagi juga tidak kalah hebatnya, mereka adalah Abdul Qodir, Abdus Shomad, Saman, Rais, Jebul ( Ki Dulo/Abdulloh).

Salah satu dari mereka yaitu Bang Jebul dengan hanya berapa gebrakan jurus blur Schout Van Hinne dalam sebuah adu tanding silat di Tangerang,terkapar, sehingga dari kejadian inilah Hinne menjadi sangat dendam terhadap semua anggota Pitung karena merasa telah dipermalukan di depan khalayak ramai.

Hinne juga pernah kena batunya saat semua Anggota Pitung menangkapnya di daerah Jelambar. Disini dia dan pasukan marsosenya dihajar habis-habisan. Pasukan Marsosenya yang terkenal sadis lari terbiritbirit ketika berhadapan dengan Pitung. Anggota Pitung kesal karena Hinne ini memfitnah Pitung dan mengancam beberapa orang yang pro terhadap perjuangan Pitung.

Tapi semua anggota Pitung masih memberikan kesempatan dia hidup dengan catatan dia tidak menindas rakyat dan tidak memfitnah Pitung sebagai gerombolan perampok. Seperti pada sebuah perjuangan pasti ada resiko, dua orang anggota Pitung yaitu Jebul dan Saman pada tahun 1896 pernah tertangkap dan dipenjarakan di Glodok. Namun, lanjut Iwan, mereka berhasil meloloskan diri bahkan berhasil membunuh beberapa marsose.

Beberapa anggota Pitung juga harus mengalami mati syahid. Dji’ih tertembak tahun 1899 Masehi, jenazahnya masih bisa diselamatkan. Radin Muhammad Ali syahid ditembak tahun 1905 Masehi. Beliau ditembak bertubi tubi oleh para Marsose sampai akhirnya rubuh, namun sampai detik detik kematiannya dia tidak menyerah dan terus bertakbir. Setelah Syahid jasad Muhammad Ali dimutilasi penjajah kafir melalui para inlander yg menjadi saudaranya sendiri.

Jasad Muhammad Ali atau Bang Pitung yang tidak sempurna, lanjut Iwan, kemudian disholatkan oleh para alim ulama di kawasan Slipi dan sekitarnya untuk kemudian dimakamkan di daerah Bandengan. Para ulama dan sesepuh yang berada di daerah Jipang Pulorogo (Slipi, Palmerah, Rawa Belong, Kemandoran dan sekitarnya) sangat berduka dengan kematian salah satu pejuang terbaik mereka.

Pitung adalah fakta sejarah, kisah mereka tercatat dalam kitab Al Fatawi, kisah mereka adalah kisah perlawanan kaum muslimin yang tertindas oleh penjajah kafir dan antek anteknya Mereka adalah Mujahid Sejati yang membela agama Islam dan rakyat Jakarta, mereka bukan Perampok, mereka orang orang terpelajar dan juga mengerti tentang dunia politik yang diterapkan penjajah

Para anggota Pitung adalah manusia biasa, mereka tidak mempunyai ilmu macam-macam apalagi sampai memakai zimat seperti dituduhkan banyak orang.

Semua anggota Pitung, menurut Iwan lebih lanjut, hanya diajarkan ilmu beladiri dan juga ilmu ilmu agama seperti Tafsir, Fiqih, Hadist, Tassawuf, Ilmu Alat dan juga pengetahuan tentang strategi-strategi perlawanan. Mereka juga melek terhadap dunia politik yang berkembang pada masa itu, sehingga karena lengkapnya pengetahuan mereka, penjajah menghabisi gerakan ini sampai ke akar akarnya…

Disadur dari berbagai sumber.

Demikian dan terima kasih
Murodi al-Batawi

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui WhatsApp di 081281731818

Pos terkait