Oleh: Siti Hajar Ramli, Aktivis Dakwah di Depok
Indonesia adalah negara yang terdiri dari negara kepulauan. Salah satu pulau yang lagi hangat dibicarakan adalah Pulau Rempang yang berada di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini berada sekitar 3 kilometer di sebelah tenggara Pulau Batam. Saat ini, pulau tersebut akan tergadaikan guna dikembangkan untuk wilayah pertanian dan perikanan Sembulang sekaligus membangun kawasan industri yang katanya demi kemajuan negara untuk rakyat.
Kini kasus Rempang semakin memanas, karena seluruh penduduk di Pulau Rempang yang berjumlah sekitar 7.500 orang akan direlokasi alias penduduk tersebut akan digusur dan tergadaikan. Pasalnya pemerintah melakukan pembebasan lahan di Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), Rabu (7/9/2023) (Kompas.com).
Namun pada saat pembebasan lahan tersebut terjadi bentrok antara petugas dan penduduk setempat. Bentrokan itu berujung ricuh. Hal itu dipicu oleh penolakan warga atas proyek Rempang Eco-City yang akan menjadikan area itu sebagai kawasan industri. Kericuhan itu bermula ketika pasukan gabungan masuk ke Pulau Rempang untuk memasang patok pembatas lahan yang nantinya akan dipakai sebagai kawasan Eco-City.
Kericuhan itu menjadi semakin tak terkendalikan ketika warga menolak, melawan dan memblokade pasukan gabungan itu yang terdiri atas aparat polisi, TNI, dan Satpol PP. Ternyata, tujuan relokasi ini adalah untuk mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang yang rencananya akan dibangun kawasan industri, jasa, dan pariwisata bernama Rempang Eco City.
Kasihan sekali nasib rakyat yang tidak jelas nasib mereka ke depannya. Kepada siapa lagi rakyat minta pertolongan sementara fungsi negara seharusnya tempat berlindung justru memusuhi rakyatnya sendiri. Katanya negara demokrasi yang menunjung tinggi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Nyatanya dari rakyat oleh penguasa untuk oligarki.
Lihatlah pemimpin kita yang katanya merakyat, kebijakan apa yang selama ini dibuat selama memimpin? Secara terang-terangan pemimpin kita justru pelayan bagi para oligarki. Pasalnya kebijakan dalam membuat kawasan industri dibuat bagi kepentingan para oligarki yang ingin memang membuka lahan bisnis di sana, bukan untuk kepentingan rakyat. Sebab yang meraup keuntungan di sana para cukong-cukong sementara rakyat hanya menjadi tumbal kerakusan mereka.
Bagaimana mungkin rakyat bisa menerima saja dengan suka rela, sementara Pulau Rempang adalah tempat mereka hidup. Jelas sekali terlihat dengan terang-terangan pemerintah mencabik-cabik kesejahteraan rakyat. Jika rakyat menolak dan melawan tinggal sikat saja selesai urusan. Luar biasa tidak ada rasa simpatinya sama sekali.
Itulah yang terjadi. Semua itu hasil dari negara kapitalis yang para penguasanya melayani kepentingan oligarki, bukan kepentingan rakyat sendiri.
Oleh karenanya, sebagaimana yang dituturkan Ahmad Khazinuddin selaku Advokad dan Sastrawan Politik, dalam kasus Rempang, itu ada dua masalah dan perlu solusi. Pertama, masalah kezaliman rezim itu sendiri. Bagaimana membantu menghentikan kezaliman rezim, membantu masyarakat Rempang yang lapar dan ditangkap polisi, dan masalah teknis lainnya.
Kedua, masalah ide atau pemikiran. Siapa yang punya hak atas tanah Rempang? Bagaimana konsep kepemilikan atas tanah Rempang? Dalam isu kedua ini, ia sangat mengapresiasi pernyataan PBNU yang menyatakan haram merampas tanah milik rakyat yang telah dikelola bertahun-tahun, baik oleh sebab ihya’ (pengelolaan), maupun iqtho’ (redistribusi lahan oleh negara).
Oleh karenanya, rakyat Rempang itu berhak atas tanah milik mereka yang awalnya diperoleh melalui proses Ihya’ oleh kakek buyut mereka. Mereka juga berhak karena mewarisi atau karena jual beli di antara mereka. Seharusnya pemerintah semestinya tinggal menerbitkan sertifikat tanah (SHM) untuk rakyat Rempang. Bukan malah menerbitkan HGU untuk Korporasinya Tommy Winata, yang tidak pernah ada jejak napak tilasnya di bumi Rempang.
Inilah penting sekali kita menyadari tidak ada pilihan lain selain kembali kepada aturan yang benar, yaitu Islam. Kalau kita mengharapkan sistem kapitalis dapat mengatasi permasalahan Rempang ini pastilah tidak akan terwujud. Mau sampai kapan terus-terusan berharap pada sistem kapitalis yang jelas sudah banyak memakan korban.
Bila Indonesia kembali ke aturan Islam tentulah kebijakan yang diambil melahirkan kehidupan yang berkah, rakyat pun diriayah dengan baik dan benar tanpa sedikit pun menzalimi dan mengorbankan rakyat. Meskinya kita sebagai rakyat sudah seharusnya menyadari tidak bisa berharap pada pemerintahan sekarang yang menganut sistem kapitalis.
Seberapa kekeuhnya kita sebagai rakyat membela hak kita meski berada posisi yang benar. Selama sistem kapitalis tetap memimpin jangan harap berpihak kepada rakyat. Karena sejatinya kapitalis memimpin bukan untuk melayani rakyat, tapi melayani para penjilat yang rakus akan harta dan kekuasaan tanpa memiliki hati nurani sedikit pun.
Sebagai orang yang beriman, tentu kita semua yakin hanya Islamlah satu-satunya jalan keluar menuntaskan masalah Pulau Rempang ini, karena berasal dari hukum Allah SWT yang terbaik. Karena itu, keyakinan Islam adalah solusi adalah sebuah kepastian, bukan sekadar praduga atau kita anggap sebagai asumsi belaka. []