Oleh Bang San, orang tua dan aktifis pers
Permainan lato-lato yang tak hanya dimainkan dikalangan anak-anak, tapi juga digandrungi sebagian orang dewasa, menjadikan permainan murah dan sederhana ini viral dan merakyat.
Rasanya tak perlu dijelaskan lagi apa itu lato-lato, saya yakin semua mengenal permainan murah dan sederhana ini yang belakangan menjadi viral.
Seperti biasa, sesuatu yang viral cenderung ada pro dan ada kontra, ada yang mendukung dan ada yang menolak, beragam alasannya.
Seperti hari ini, Kamis (26/1), di sebuah portal media daring saya membaca pernyataan Wali Kota Depok Muhammad Idris yang menyebut ketimbang main lato-lato, beliau menyarankan agar anak usia sekolah lebih baik main alat musik angklung.
“Lebih baik main angklung,” ujar orang nomor satu di Kota Depok ini seperti dikutip suaraindonews.com.
Bukan tak setuju, bahkan saya sangat setuju! Masalahnya adalah harga lato-lato hanya sekitar Rp10 ribu rupiah dan harga angklung mencapai jutaan rupiah. Tak semua orang tua bisa mampu membeli angklung untuk anaknya.
Lho, kan sekarang depok punya Taman Musik Depok (TMD) yang baru diresmikan, kalau mau main angklung bisa kesana kan?
Halooo! berapa banyak jumlah anak-anak di depok? berapa angklung yang tersedia di TMD? Berapa jauh taman yang terletak di Kecamatan Sukmajaya ini dari sepuluh kecamatan lainnya di Kota Depok?
Mendorong anak mengenal alat musik tradisional itu benar, nggak salah, tapi juga tanpa harus mengkritik permainan lain yang meski cuma seharga sepuluh ribu rupiah tapi mampu mengalihkan perhatian anak-anak kami dari gadget.
Ada lagi yang lebih menggelitik, Wali Kota Malang Drs. H. Sutiaji belum lama ini mengatakan untuk di Kota Malang pihaknya akan mengkaji ulang permainan tersebut.
“Kita jangan latah atau mengikuti fenomena yang ada. Kita harus paham benar baik buruknya permainan tersebut,” imbuhnya dikutip infopublik.com.
Lebih jauh orang nomor satu di lingkungan Pemkot Malang itu berpesan jangan sampai ada pihak-pihak tertentu yang menumpangi permainan ini dengan tujuan tertentu.
“Jangan sampai ada muatan politik dari sebuah permainan ini yang ujung-ujungnya mengadu domba masyarakat,” tegasnya.
Halooo pak Wali Kota Malang, muatan politik apa dari bocah yang bermain lato-lato? Bakal ada pelengseran kekuasaan oleh pasukan lato-lato?
Pfffffttttt…………..
Beberapa waktu lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sendiri melalui Sub Komisi Pengawasan dan Evaluasi, Aris Adi Leksono, menjelaskan, pemenuhan hak anak untuk bermain telah diakomodir dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengamanatkan bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
“KPAI memandang bermain lato-lato adalah bagian dari bentuk memenuhi hak anak, terutama pada hak tumbuh kembang dengan memanfaatkan waktu luang untuk bermain,” ujar Aris Adi Leksono dalam pernyataan resminya, belum lama ini.
Dalam konteks terjadi insiden yang tidak diinginkan, tak hanya lato-lato, sekedar main lari-larian pun beresiko jatuh. Dalam banyak permainan tradisionalpun ada resiko seperti permainan lompat karet, enggrang, galasin, petak umpet hingga bermain layang-layang, semua punya resiko cedera karena itulah dunia anak.
Terkait hal ini, KPAI mendorong semua pihak berpartisipasi mengawasi, mendampingi, dan membimbing saat anak bermain lato-lato, sehingga potensi bahaya pada anak dan lingkungan sekitar dapat diminimalisir, seperti juga dampak bahaya pada permainan tradisional yang sudaj akrab dengan kita.
Dan memang itulah yang seharusnya kita lakukan sebagai orang tua, mengawasi dan membimbing anak hingga terhindar dari bahaya, tak sekedar melarang tanpa alasan yang jelas.