Perbedaan dan Pandangan Syariah Terhadap Produk Fintech

FinTech adalah singkatan dari “Financial” dan “thechnology” yang memiliki inovasi dibidang jasa keuangan. Fintech juga dapat memengaruhi kebiasaan transaksi masyarakat menjadi praktis dan efektif. Fintech juga dapat membantu masyarakat untuk lebih mudah dan meningkatkan literasi keuangan.

Pada tahun 2016, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) mengeluarkan kebijakan peraturan baru mengenai Fintech tentang peminjaman off balance sheet oleh pasar dan proses transaksi pembayaran oleh Bank Indonesia.

Di Indonesia sendiri, perkembangan fintech dalam 10 tahun terakhir tercatat lebih dari 180 perusahaan yang mendaftarkan diri ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) , namun hanya 63 perusahaan saja yang baru tercatat resmi, sedangkan selebihnya masih mengajukan surat konfirmasi kepada OJK.

BACA JUGA:  MODENA Energy Siap Dukung Program Pemerintah Maksimalkan Penggunaan Energi Terbarukan

Sebagian besar FinTech di Indonesia memang berasaskan secara konvensional. Nanum baru di tahun 2018 mulai bermunculan beberapa fintech syariah yang menggunakan dasar-dasar dari aturan agama, hingga kini, terhitung baru 4 perusahaan teknologi keuangan syariah yang di resmikan oleh OJK. Sedangkan sisaya ada lebih dari 90 persen pemain FinTech masih berstatus konvensional.

Perbedaan FinTech Syariah dan Konvensional
Sejatinya tidak ada perbedaan diantara fintech syariah dengan konvesional sebab keduanya sama-sama ingin memberikan layanan keuangan, perbedaan dikeduanya hanyalah pada akad pembiayaan saja, dimana Fintech syariah mengikuti aturan-aturan dari syariat agama.

Ada tiga prinsip dasar dari FinTech Syariah yaitu:

  • Tidak boleh maisir (bertaruh)
  • Gharar (ketidakpastian)
  • Riba (jumlah bunga melewati ketetapan)
BACA JUGA:  PTK Tambah Armada untuk Tingkatkan Kapasitas Bisnis Hulu Migas

Selain itu, akad dalam fintech syariah juga harus sesuai dengan akad Mudharabah dan Musyarakah.

Produk Fintech menurut syariah itu diperbolehkan, jika memenuhi rambu-rambu diantaranya: Transaksi harus memenuhi akadnya sesuai syariah, transaksi ini di ketahui dan di sepakati, objek usahanya halal. Begitu juga ada ijab qobul sesuai ‘urfnya, terjadi pemindahan kepemilikan, ada perlindungan konsumen, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ada pengawasan syariah yang memastikan prinsip syariah di tetapkan.

Menurut Fatwa DSN MUI No.117/DSN-MUI/II/2018 Tentang layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan prinsip syariah. Pertama, pembiayaan anjak piutang. Kedua, pembiayaan pengadaan barang pihak ketiga. Ketiga, pembiayaan pengadaan barang untuk pelaku usaha yang berjualan secara online (online seller).

BACA JUGA:  PTK Tambah Armada untuk Tingkatkan Kapasitas Bisnis Hulu Migas

Keempat, pembiayaan pengadaan barang untuk pelaku usaha yang beujualan secara online dengan pembayaran melalui penyelenggara payment gateway. Kelima, pembiayaan untuk pegawai (employee) yaitu pembiayaan yang diberikan kepada pegawai yang membutuhkan pembiayaan konsumtif dengan skema kerjasama potong gaji melalui institusi pemberi kerja. Keenam, pembiayaan berbasis kmunitas, yaitu pembiayaan yang diberikan kepada anggota kamunitas yang membutuhkan pembiayaandengan skema pembayarannya dikoordinasikan melalui pengurus komunitas.

Biasanya, produk FinTech itu sesuai syariah jika sudah mendapatkan sertifikat syariah dari DSN MUI , dan izin dari otoritas terkait, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK)/

Referensi : fintekasia.asia/kenali-perbedaan-fintech-syariaah-konvensional/
Buku Fikih muamalah Kontemporer, Ust. Dr. Oni sahroni, MA

Oleh Indi Ghina Nafsiyya
STEI SEBI