Saat ini, kesehatan mental sedang menjadi isu yang menarik untuk diperbincangkan. Dikutip dari hasil Riskesdas tahun 2018, bahwa angka penderita psikosis sebesar 7 orang per 1000 anggota rumah tangga. Sementara itu, kasus gangguan mental emosional pada remaja berumur lebih dari 15 tahun sebesar 9,8 persen. Angka ini meningkat sebesar 3,8 persen dibandingkan tahun 2013 (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2018)).
Dari data tersebut menunjukkan bahwa pentingnya pelayanan kesehatan mental di fasilitas tingkat pertama, salah satunya Puskesmas. Selain itu, di akhir tahun 2019, pemerintah menargetkan 9.909 Puskesmas mengoperasikan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga yang mencakup pelayanan kesehatan mental (Human Rights Watch. (2018)). Salah satu ukuran keberhasilan dari pelayanan kesehatan mental di Puskesmas, yakni tiap kabupaten/kota harus memiliki minimal 1 (satu) Puskesmas di wilayahnya. Adapun kriterianya antara lain: 1) Memiliki minimal 2 (dua) tenaga kesehatan terlatih kesehatan jiwa (dokter dan perawat) dengan minimal 30 jam pelatihan, 2) Melaksanakan upaya preventif dan promotif terkait kesehatan jiwa secara berkala dan terintegrasi dengan program kesehatan lainnya, 3) Melaksanakan deteksi dini, penegakkan diagnosis, dan penatalaksanaan awal, 4) Pengelolaan rujukan balik kasus gangguan mental (Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza. (2015)).
Adapun tujuan dari pelayanan kesehatan mental di Puskesmas menurut Prof. Dr. Sofia Retnowati, M.S, Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, yaitu untuk mengatasi adanya permasalahan treatment gap berupa masih kurang mencukupi dan tidak efisiennya penggunaan sumber daya yang ada serta penyebarannya yang belum merata (Agung. (2011) dan Puspitosari, W.A. (2019)). Hal ini juga didukung oleh data dimana populasi Indonesia sudah mencapai 260 juta tetapi belum diimbangi dengan tenaga profesional kesehatan jiwa. Untuk jumlah psikiater saja yang tercatat per 2018 hanya 773 orang dan psikolog klinis hanya 451 orang. Dari total populasi tersebut, seharusnya Indonesia memiliki 7.500 pekerja kesehatan mental dalam memberikan layanan psikiatri untuk masyarakat (ALMI. (2018)).
Oleh karena itu, diperlukan penempatan psikolog di puskesmas-puskesmas yang diharapkan dapat mengubah pendekatan pelayanan kesehatan jiwa dari medis-biologis menjadi pendekatan biopsikososial dan dapat pula membantu deteksi dini masalah kejiwaan (Agung. (2011) dan Kurniawan, Y., & Sulistyarini, I. (2016)). Namun dalam penempatan psikolog di Puskesmas terdapat kendala yang harus dihadapi, yakni masalah komunikasi dan adaptasi antara psikolog dengan petugas kesehatan lainnya yang kurang efektif dan efisien (Agung. (2011) dan Dinas Kesehatan Kota Semarang. (2019)).
Dalam hal ini, pemerintah pusat dan daerah melalui Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan sudah melakukan upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi bagi penderita gangguan mental termasuk penyebaran konten online dan aplikasi berbasis Android Sehat Jiwa.
Meskipun begitu, terdapat pula tantangan yang harus dihadapi. Pertama, besaran persentase anggaran untuk pelaksanaan upaya kesehatan mental masih belum jelas sehingga kasus gangguan mental masih meningkat. Kedua, penggunaan aplikasi Android Sehat Jiwa belum merata di seluruh Indonesia karna tidak semua wilayah Indonesia terjangkau jaringan komunikasi. Selain itu, aplikasi ini memungkinkan adanya kesenjangan sosial yang semakin meningkat, serta adanya ancaman keamanan, kerahasiaan dan privasi data kesehatan (National Geographic Indonesia. (2019)).
Lalu, tantangan lainnya mengenai data kesehatan mental yang masih sangat minim baik data kasus gangguan mental maupun data program nasional untuk penanggulangan kesehatan jiwa. Hal-hal tersebut terjadi karena pemerintah belum optimal dalam menjadikan pelayanan kesehatan mental sebagai prioritas pembangunan manusia. Padahal, masalah kesehatan mental yang tidak ditangani serius dapat mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia sehingga berpengaruh pula terhadap tingkat produktivitas manusia (Komara, H. (2018)).
Belum tersedianya LSM berskala nasional yang berfokus pada kesehatan jiwa juga menjadi faktor pendukung masih tingginya kasus gangguan mental. Untuk contoh LSM berskala daerah diantaranya Yayasan SATUNAMA Yogyakarta dan Yayasan Inti Mata Jiwa di Gunungkidul. Namun, dalam pelaksanaannya masih kurang optimal karena terkendala oleh dukungan pemerintah baik dalam hal anggaran maupun ketersediaan sarana dan prasarana.
Oleh karena itu, diperlukan penanaman pengetahuan kesehatan mental pada masyarakat di Puskesmas sebagai upaya pembangunan SDM dan mendorong kemampuan adaptasi masyarakat di lingkungannya (Kementerian Kesehatan RI. (2011a)). Selain itu, diperlukan pula kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat termasuk keluarga dalam penanganan kesehatan mental. Dari sisi pemerintah, perlu adanya ketegasan dalam penegakkan peraturan terkait penanganan gangguan mental.
Hal tersebut dilakukan dengan memasukkan kesehatan jiwa ke dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan dan mendirikan pusat pengembangan khusus kesehatan jiwa sebagaimana tertuang dalam Pasal 65 Ayat 3 UU Nomor 18 Tahun 2014. Kemudian, pemerintah juga harus menetapkan anggaran khusus untuk kesehatan mental, menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan mental, ketersediaan obat, tenaga kesehatan jiwa yang kompeten melalui pendidikan dan pelatihan, dan segera menghidupkan kembali hotline service kesehatan jiwa melalui perbaikan operasional.
Selain pemerintah, swasta juga dapat memberikan dukungan terhadap peran pemerintah dalam upaya rehabilitasi ODGM (Orang Dengan Gangguan Mental) baik melalui bantuan pendanaan, sarana dan prasarana, dan lain-lain. Sementara itu, masyarakat dapat membantu dengan cara melaporkan bila terdapat kasus gangguan mental di lingkungan sekitar dan berkomitmen untuk tidak mengucilkan ODGM.
Oleh: Nur Shafira Febrianti
Mahasiswa Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia