Politik Identitas vs Bhineka Tunggal Ika

Pemilu dipandang sebagai bentuk paling nyata dari kedaulatan yang berada di tangan rakyat serta wujud paling konkret partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara. Tujuan diselenggarkannya Pemilihan Umum adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan dari rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional.

Setiap negara jelas memiliki rakyat agar dapat berdaulat, setiap rakyat memiliki identitas masing-masing yang membedakan antar individu. Identitas pada hakekatnya adalah cerminan diri sendiri yang menjadi pembeda antara satu orang dengan yang lainnya. Sedangkan identitas nasional adalah karakter yang menjadi jati diri sebuah bangsa, beserta pemahaman kehidupan bernegara dan pengetahuan yang ada di dalamnya.

Identitas ada pada setiap manusia, begitu pula politik yang mengalir dalam kehidupan bermasyarakat, maka ada yang dinamakan dengan politik identitas, dan penting untuk mengetahuinya karena berhubungan dengan situasi politik beberapa tahun terakhir. Politik Identitas pada dasarnya adalah situasi dan cara berpolitik yang mempersatukan kelompok karena adanya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan yang didasari oleh persamaan latar belakang golongan, contohnya suku, ras, agama, dan gender.

Pada dasarnya identitas bukan hanya soal sosiologis tetapi juga bisa masuk ke ranah politik. Dalam teorinya, politik identitas dapat berpengaruh baik dan buruk, ibarat pedang bermata dua dalam republik yang berbhinneka ini.

Indonesia adalah negara yang multikultural dengan berbagai etnis, suku, ras, agama, dan budaya. Menurut data sensus BPS tahun 2010, terdapat 1211 bahasa yang terdaftar di Indonesia, yang mana 1158 di antaranya adalah Bahasa daerah. Dari sumber yang sama pula, teridentifikasi 1340 suku di Indonesia, dimana suku Jawa menempati posisi pertama dalam hal jumlah yang mencapai 41% dari total populasi negara ini.

Mahkamah Konstitusi (MK) mengakui enam kepercayaan resmi yaitu, Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu agar tercantum di Kartu Tanda Penduduk masing-masing warga negara. Data-data tersebut sudah membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan dari segi apapun.

Eksklusifitas yang ekstrim, isolasi terhadap budaya yang berbeda, serta menyalahkan kelompok yang tidak sepaham adalah contoh-contoh dari politik identitas yang berlebihan, dan tidak memberi pengaruh baik dalam negara yang bersemboyan “Bhinneka Tunggal Ika” ini.

Hal yang berpotensi terjadi kedepannya adalah pemimpin tidak lagi diadu sesuai kinerja nyata, akan tetapi dengan bermodalkan latar belakang, minoritas akan merasa tersingkirkan, serta struktur politik akan menjadi semu dengan adanya tekanan dari pihak mayoritas. Sekarang menjadi sebuah tantangan tersendiri bagaimana para pemimpin dan calon pemimpin bangsa bisa meyakinkan masyarakat bahwa pluralisme dalam bernegara adalah sesuatu yang harus dimanfaatkan dengan baik bukan dilawan.

Realitanya politik memang dinamis, tidak hanya dalam memilih kawan atau lawan, tetapi juga dalam ideologi dan prinsip. Kita hidup di negara yang multikultural, maka dari itu toleransi atau tenggang rasa sangat dibutuhkan untuk mendasari kehidupan bernegara, karena itu adalah pondasi dasar dari persatuan itu sendiri dan berperan sebagai jembatan agar tercapai budaya politik yang sehat. Bukankah kita merdeka dari hasil persatuan para pahlawan yang berbeda-beda latar belakang?

Politik identitas kerap kali diartikan sebagai politik yang mengedepankan relasi emosional seraya merendahkan pertimbangan rasional. Sehingga pilihan yang diambil lebih karena bersifat dorongan primordial yang kurang mengedepankan pilihan karena pertimbangan kemanfaatan umum. Pilihan yang berdasarkan identitas dilakukan karena relasi ras, etnis, kedaerahan, dan juga karena kesamaan keyakinan agama. Asumsinya bukan karena pertimbangan kemaslahatan umum.

Kini, politik identitas banyak digunakan oleh para politisi untuk mempertajam perbedaan-perbedaan yang mengarah pada SARA, khususnya isu agama dan etnisitas. Fenomena ini meluas karena praktek politik yang dilakukan dinilai efektif dalam memberi ruang untuk membangkitkan jati diri kelompok tertentu guna mendapatkan dukungan secara emosional. Hingga saat ini, berbagai partai politik dan kandidat yang diusung menjelang Pilpres 2019 masih terasa bersandar pada praktik politik pragmatis. Segala cara masih digunakan demi meraih kemenangan. Inilah yang menjadi kegelisahan bangsa kita dalam bernegara hari ini, karena fenomena politik identitas yang diaktualisasikan secara sempit dan negatif di ruang publik dapat menjadi ancaman bernegara, dan kemudian mendorong gejala disintegrasi.

Karena itu, sepatutnya dalam mencegah timbulnya politik identitas yang negatif perlu menanamkan dasar ideologis dan idealisme yang kuat kepada semua elemen masyarakat.

Ditulis oleh Hesty Istiana, mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNTIRTA