Anak Sekolah Masuk Jam 6 Pagi, Kang Dedi Ngadi-ngadi?

Anak Sekolah Masuk Jam 6 Pagi, Kang Dedi Ngadi-ngadi?

Oleh: Rizka Fauziah, S. Pd. I., Aktivis Muslimah

Sejumlah pihak mengkritik rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang ingin menerapkan kebijakan baru bagi siswa yakni masuk sekolah pada pukul 06.00 WIB.

Bacaan Lainnya

Menurut Dedi, tujuan rencana tersebut untuk menciptakan kebiasaan hidup disiplin. Ia akan menerapkan jadwal masuk sekolah hanya sampai Jumat. Saat menjabat Bupati Purwakarta, ia menjadi bupati pertama yang menerapkan sekolah sampai Jumat dengan jam belajar dimulai pukul 06.00. “Enggak apa-apa jam belajarnya jam 6 pagi, tapi hari Sabtu libur. Setuju enggak?” kata Dedi dalam video yang diunggah di akun instagram pribadinya. Dedi mengatakan saat ini SMA di Jabar sudah memberlakukan sekolah hanya sampai Jumat, tetapi SMP masih sampai Sabtu.

Kritikan pun muncul dari Kordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. Dilaman (cnnindonesia.com. 3/6/2025), ia menilai masuk sekolah pukul 06.00 terlalu dini, karena banyak orang tua yang butuh waktu untuk menyiapkan sarapan untuk anak sebelum berangkat sekolah. Itu justru membuat anak tidak siap, tapi dipaksa untuk siap. Jika kebijakan itu diterapkan, dan diikuti, itu bukan karena kesadaran akan kedisiplinan, tapi takut dihukum. Itu sebenarnya bukan pendidikan karakter, tapi hanya menakuti saja, dan pasti tidak akan berkelanjutan sehingga tujuan utama pendidikan karakter itu malah gagal.

Menurut Ubaid, untuk mendisiplinkan siswa secara efektif, Pemprov Jabar bisa menerapkan pendidikan karakter yang lebih holistik, bukan hanya sebatas mengatur jam masuk atau penguatan pada mata pelajaran. Perlu dilakukan penanaman kesadaran dan nilai-nilai seperti tanggung jawab, etika, disiplin melalui setiap aspek kegiatan belajar mengajar dan ekstrakurikuler. Peran guru sebagai teladan sangat krusial, harus mampu menunjukkan perilaku disiplin dan menjadi panutan bagi siswa.

Masih dilaman yang sama, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim, menegaskan kebijakan masuk sekolah pukul 06.00 justru kontraproduktif dengan tujuan membangun kualitas hidup dan tumbuh kembang anak. Berbagai riset menunjukkan dampak negatif kurang tidur adalah anak akan sulit berkonsentrasi, penurunan daya ingat, gangguan metabolisme tubuh, sarapan bisa terlewatkan, kelelahan, kecemasan, bahkan penurunan prestasi akademik.

BACA JUGA:  Kisruh Rebutan Pulau: Ancaman Disintegrasi dalam Negeri

Menurut Satriwan, akan banyaknya kesulitan dalam implementasi kebijakan tersebut, seperti akses ke sekolah yang jauh dari rumah siswa dan guru, ketidaksediaan kendaraan umum pada jam berangkat sekolah. risiko keamanan bagi siswa dalam keberangkatan, karena kondisi jalan sepi atau langit masih gelap. Selain itu, guru dan orang tua siswa juga bakal terbebani karena harus menyiapkan sarapan dan bekal lebih awal. Bagi orang tua yang punya anak cukup banyak, lebih merepotkan sebab harus membagi perhatian penyiapan lebih awal.

Dari beberapa pendapat di atas, terlihat sekali kebijakan terkait anak sekolah harus masuk jam 6 pagi, Kang Dedi ngadi-ngadi. Yang pasti, berat sekali menjadi generasi negeri ini, apalagi mengingat standar pendidikan yang sering berubah di saat himpitan permasalahan kehidupan datang silih berganti.

Bergantinya pemimpin berarti berganti pula aturan yang mereka berlakukan. Hal ini membuat rakyat bingung dan bertanya-tanya, manakah prioritas hidup yang harus didahulukan. Sedangkan untuk menuju kepada kemakmuran suatu negara, warga negaranya haruslah yang berpendidikan tinggi dan baik.

Sebenarnya, sudah lama negeri ini mengalami berbagai masalah pendidikan dengan kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan dengan adanya masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggara sistem pendidikan. Begitu juga masalah-masalah cabang yaitu problem yang berkaitan dengan aspek praktis/teknis terkait penyelenggaraan pendidikan, seperti mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana, rendahnya kesejahteraan guru, dan lain sebagainya.

Di samping kelemahan di atas, masalah mendasar terkait paradigma pendidikan yang dianut oleh negeri ini tidak kalah problematik yaitu sekularisme. UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademi, profesi, advokasi, keagamaan, dan khusus. Dari pasal ini tampak jelas dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shalih yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.

BACA JUGA:  Raja Ampat di Ujung Tanduk, Haram Merusak Alam

Masalah lainnya adalah masalah cabang seperti rendahnya kualitas sarana fisik. Banyaknya sekolah dan perguruan tinggi yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media pembelajaran yang rendah, buku perpustakaan yang tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih ada sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak ada perpustakaan, laboratorium dan lainnya.

Kemudian rendahnya kualitas guru yang amat sangat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No. 20/2003 yaitu merencanakan pendidikan, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian pada Masyarakat. Bahkan sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Walaupun guru dan pengajar bukanlah satu-satunya faktor penentu keberhasilan, tapi pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi.

Permasalahan lain datang dari sisi rendahnya kesejahteraan guru. Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Disamping juga adanya kesenjangan antara guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Lalu dari sisi prestasi siswa yang rendah.

Dengan banyaknya permasalahan pada banyak faktor pendidikan berkorelasi dengan rendahnya prestasi yang dimiliki siswa. Masih menjadi sebuah momok memalukan yang menjadi viral di dunia medsos bahwa sebagian besar siswa tidak mampu menjawab soal matematika dasar padahal siswa tersebut sudah duduk di bangku SMU. Alih-alih berprestasi mereka malah mengedepankan eksistensi mereka untuk sekedar ikut-ikutan trend FOMO.

Sebenarnya masih banyak lagi permasalahan pendidikan yang menjangkit negeri ini. Antara lain kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan meroketnya biaya pendidikan.

BACA JUGA:  Pikiran yang Tenang

Lalu, apa solusinya? Permasalahan mendasar harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya bisa diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dengan perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Lalu untuk solusi masalah cabang, dengan cara mengubah sistem-sistem iolusi yang berkaitan dengan system pendidikan. Seperti kita ketahui, sistem pendidikan sangat berkorelasi dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Di Indonesia, sistem ekonominya, ekonomi kapitalisme yang berprinsip meminimalisir peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.

Berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang punya solusi tuntas terkait semua problematika pendidikan yang muncul. Pendidikan Islam adalah pendidikan terpadu. Agar keluaran pendidikan menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sistem pendidikan terpadu yang tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Namun memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul.

Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang harus menjadi perhatian yaitu: Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram. Ketiga, berorientasi pada pembentukan tsaqafah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target yang harus dicapai.

Yang tidak kalah pentingnya, pendidikan adalah tanggung jawab negara. Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi. Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks pendidikan Islam telah menentukan negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah.

Apabila formulasi Islam terkait pendidikan dijalankan dalam bingkai negara, tidak akan ada lagi pejabat negara yang seenaknya membuat aturan nyeleneh bahkan bertolak belakang dengan dengan tujuan pendidikan yang sebenarnya.[]

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait