Sekjen PBB: Gaza Harus Tetap Palestina

Sekjen PBB: Gaza Harus Tetap Palestina

PALESTINA – Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pada Senin (5/5) mengaku khawatir dengan kabar tentang rencana Israel memperluas operasi militer dan pendudukan wilayah di Jalur Gaza.

Dia memperingatkan bahwa langkah tersebut berisiko menewaskan lebih banyak warga sipil dan memperparah kehancuran di wilayah kantong Palestina itu.

Bacaan Lainnya

“Sekjen sangat prihatin dengan kabar soal rencana Israel memperluas operasi darat dan memperpanjang kehadiran militernya di Gaza,” kata juru bicara Guterres, Farhan Haq, pada konferensi pers.

Haq menyebut rencana itu “hampir pasti akan menyebabkan lebih banyak warga sipil tewas dan kehancuran yang terus berlanjut di Gaza.”

“Yang paling mendesak saat ini adalah mengakhiri kekerasan, bukan menambah jumlah korban sipil dan kerusakan,” katanya, menegaskan.

Dia mengutip pernyataan Guterres bahwa Gaza “harus tetap menjadi bagian integral negara Palestina di masa depan.”

Menurut Haq, Guterres kembali menyerukan gencatan senjata permanen segera dan pembebasan seluruh sandera.

Sebelumnya pada hari yang sama, Kabinet Keamanan Israel dengan suara bulat menyetujui rencana memperluas serangan militer di Jalur Gaza dan wilayah pendudukan di dalamnya.

Dalam sebuah pernyataan, kantor pemimpin Israel Benjamin Netanyahu mengaku bahwa kabinet telah menyetujui “rencana operasional,” yang diajukan Kepala Staf Angkatan Darat Eyal Zamir.

Rencana itu adalah untuk “mengalahkan Hamas” dan membebaskan warga Israel yang masih disandera oleh kelompok perlawanan Palestina itu di Gaza, menurut pernyataan tersebut.

Disebutkan bahwa berdasarkan rencana itu, militer Israel diperintahkan untuk “menguasai Gaza dan mempertahankan kendali atas wilayah tersebut.”

Stasiun televisi Israel Channel 12 melaporkan bahwa rencana itu juga mencakup pemindahan paksa warga Palestina di Gaza utara ke selatan.

Sejak Oktober 2023, serangan brutal Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 52.500 warga Palestina, kebanyakan adalah perempuan dan anak-anak.

Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan menteri pertahanannya, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas perang yang dilancarkannya di wilayah itu.

Krisis kemanusiaan terparah

Organisasi kemanusiaan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) menyebutkan bahwa Jalur Gaza saat ini menghadapi krisis kemanusiaan yang sangat parah akibat blokade Israel terhadap daerah kantong tersebut. Osama Qudeih, Dokter Pediatri di Klinik Al Aqsa B di Al-Mawassi, Gaza Selatan, yang dikelola MER-C bersama Kementerian Kesehatan (MoH) Palestina, sebagaimana rilis pers MER-C pada Senin, melaporkan sebagian besar pasiennya adalah anak-anak yang kekurangan gizi, baik pada tahap awal maupun tahap yang sangat mengkhawatirkan. Dari sekitar 200 kasus yang ditanganinya, 40 hingga 50 di antaranya merupakan kasus malnutrisi serius.

“Kasus malnutrisi terutama terjadi pada anak-anak di bawah usia dua tahun, dengan penyebab utama berupa melemahnya sistem kekebalan tubuh mereka,” katanya. “Hal itu juga disebabkan oleh kurangnya (defisiensi) berbagai ketersediaan jenis makanan,” imbuhnya.

Ia mengatakan kelangkaan dan tidak adanya susu formula bayi di pasaran berdampak sangat signifikan. “Beberapa gejala yang muncul antara lain adalah penurunan berat badan, di mana dalam banyak kasus dapat menjadi sangat berbahaya,” kata Osama.

Untuk menangani kondisi tersebut, sebelumnya Kementerian Kesehatan memberikan suplemen gizi secara rutin ke klinik tersebut. Namun, stok yang tersedia mulai menipis karena kebutuhan terus meningkat dan pasokan di pasaran semakin terbatas. Basel Al-Basyouni, Dokter Spesialis Ortopedi di Rumah Sakit Indonesia, mengatakan kondisi kelaparan juga sangat terasa di wilayah utara Jalur Gaza.

Dia menyebutkan bahwa wilayah itu saat ini menderita kelaparan luar biasa di tengah genosida yang dilakukan oleh pasukan pendudukan Israel. Selain serangan udara yang menyasar lembaga masyarakat, tempat tinggal warga sipil, dan gudang penyimpanan makanan, blokade yang terus berlanjut menyebabkan lonjakan harga bahan pangan yang drastis. Dampak negatifnya bisa dirasakan oleh penduduk Gaza, khususnya para pencari nafkah.

“Sebagai pencari nafkah bagi keluarga, saya menghadapi kesulitan ekstrem dalam memenuhi kebutuhan makanan pokok anak-anak saya, karena kurangnya sumber pendapatan,” kata Basel.

“Bahkan kalaupun saya mampu membeli kebutuhan mereka, saya merasa kesulitan berinteraksi dengan anak-anak saya, terutama anak-anak saya yang masih kecil, karena saya merasa tidak dapat menyediakan makanan yang cukup layak bagi mereka,” imbuhnya.

Keluarganya saat ini hanya mampu makan sekali sehari. Dr. Basel bahkan harus membagi sepotong roti kepada seluruh anggota keluarganya. Semua kebutuhan rumah tangga masyarakat, seperti persediaan bahan makanan dan makanan kaleng, telah habis. Situasi tersebut menimbulkan banyak anak yang kekurangan gizi.

Berat badan mereka mengalami penurunan antara 5 hingga 10 kilogram. Sebagai dokter ortopedi yang banyak menangani korban serangan Israel, ia mengamati bahwa kekurangan gizi menyebabkan penyembuhan luka pasien menjadi sangat lambat atau bahkan gagal.

“Pasien-pasien ini membutuhkan nutrisi yang sehat dan makanan yang mengandung protein, vitamin, karbohidrat, dan gula. Dulu, luka-luka seperti itu dapat sembuh dalam waktu singkat, tetapi sekarang memerlukan waktu dua kali lipat atau lebih lama untuk pulih,” katanya.

Ia juga menyampaikan banyak pasien saat ini mengalami kulit pucat (pallor), kelemahan umum dan anemia, yang menyebar hampir ke seluruh pasien. Sistem kekebalan tubuh yang lemah menyebabkan penyebaran infeksi dan epidemi makin sulit dicegah.

“Kami bahkan hampir tidak dapat menjalankan tugas kami secara menyeluruh akibat rasa lelah yang sudah akut,” katanya.

Ia mengaku telah kehilangan sekitar 30 kilogram berat badan, dan rekan-rekannya mengalami kondisi yang sama karena kurangnya makanan, terutama daging.

“Keputusasaan dan rasa tidak ada harapan mulai menguasai kehidupan profesional kami, yang berdampak negatif, khususnya pada pasien yang sedang terluka, dan masyarakat pada umumnya,” demikian kata Basel.

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait