DEPOKPOS – Di era digital yang serba cepat ini, kecerdasan buatan (AI) telah menjelma menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Dari asisten virtual di ponsel pintar hingga algoritma kompleks yang merekomendasikan konten, AI menawarkan kemudahan dan efisiensi yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Namun, di balik segala kemudahan ini, terdapat tantangan mendasar terkait dengan hifdzul aql – konsep dalam Islam yang menekankan pentingnya menjaga dan melindungi akal.
Hifdzul aql bukan sekadar menjaga akal dari gangguan fisik atau kejiwaan, tetapi juga mencakup upaya untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, memilah informasi yang benar, dan menggunakan akal untuk tujuan yang baik dan bermanfaat. Di era AI, tantangan terhadap hifdzul aql menjadi semakin kompleks dan subtil.
Kemudahan akses informasi dan potensi disinformasi adalah salah satu dampak paling signifikan dari AI. Dengan sekali ketuk, kita dapat menemukan berbagai macam jawaban atas pertanyaan apapun. Namun, kemudahan ini juga membawa serta risiko banjir informasi (information overload) dan penyebaran disinformasi atau berita palsu (hoax) yang semakin canggih berkat kemampuan AI dalam menghasilkan dan menyebarkan konten yang meyakinkan.
Jika kita tidak memiliki benteng hifdzul aql yang kuat, kita bisa dengan mudah tersesat dalam lautan informasi yang tidak terverifikasi, mempercayai narasi palsu, dan kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih dan logis. Ketergantungan yang berlebihan pada AI untuk mendapatkan jawaban instan juga berpotensi melemahkan kemampuan kita untuk mencari, menganalisis, dan menyintesis informasi secara mandiri.
Algoritma dan Filterisasi Realitas
Algoritma AI yang mempersonalisasi pengalaman online kita juga dapat menjadi tantangan bagi hifdzul aql. Meskipun bertujuan untuk memberikan konten yang relevan, algoritma ini juga berpotensi menciptakan filter bubble atau gelembung informasi. Kita hanya terpapar pada pandangan dan informasi yang sesuai dengan preferensi kita sebelumnya, sehingga mempersempit wawasan dan menghalangi kita untuk mempertimbangkan perspektif yang berbeda. Akibatnya, kemampuan kita untuk berpikir secara kritis, memahami kompleksitas suatu isu, dan berempati terhadap pandangan yang berbeda dapat tergerus. Kita menjadi lebih rentan terhadap polarisasi dan sulit untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang dunia di sekitar kita.
Lalu, bagaimana seharusnya kita menjaga hifdzul aql di era yang didominasi oleh AI ini? Berikut beberapa langkah yang dapat kita lakukan:
Pertama yaitu dengan, Membangun Literasi Digital yang Kuat, dengan demikian perlu membekali diri dengan kemampuan untuk mengevaluasi sumber informasi secara kritis, membedakan antara fakta dan opini, serta mengenali taktik disinformasi yang mungkin digunakan oleh AI.
Kedua yaitu, Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis dengan melatih diri untuk bertanya, menganalisis, dan meragukan informasi yang diterima, termasuk yang dihasilkan oleh AI. Jangan mudah menerima segala sesuatu mentah-mentah.
Ketiga, Mencari Informasi dari Berbagai Sumber, karna kita jangan hanya mengandalkan satu sumber informasi, apalagi yang hanya direkomendasikan oleh algoritma. Cari perspektif yang beragam untuk mendapatkan pemahaman yang lebih utuh.
Keempat, Memahami Batasan AI, haruslah disadari bahwa AI hanyalah alat yang diciptakan oleh manusia. Ia tidak memiliki nilai moral, emosi, atau pemahaman kontekstual yang mendalam seperti manusia. Keputusan etis dan pertimbangan nilai tetap berada di tangan kita.
Kelima, Mengedepankan Nilai-nilai Agama dan Etika, point pentingnya adalah ajaran agama Islam menekankan pentingnya akal sebagai karunia Allah yang harus dijaga dan digunakan untuk kebaikan. Landasi penggunaan teknologi dengan nilai-nilai etika dan moral yang kuat.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya termsuk akal disebutkan berikut derivasinya di dalam al-Qur’an, yang tidak lain memerintahkan manusia untuk berfikir dan mempergunakan akal sebaik-baiknya. Hal ini juga diperkuat dengan wahyu yang pertama kali diturunkan Q.S al-‘Alaq: 1-5 mengenai kewajiban menuntut ilmu. Perintah ini mengindikasikan kewajiban untuk mendayagunakan akal pikiran untuk memperoleh ilmu. Menilik urgensi dari akal ini, ḥifẓ al-‘Aql (penjagaan akal) merupakan konsekuensi yang harus diupayakan sebagai wujud syukur atas anugerah yang diberi. Dalam dimensi maqasid, ḥifẓ al-‘Aql merupakan salah satu bentuk al-usūl al-khamsah yang harus ada dan dijaga kelestariannya. Jika tidak direalisasikan, maka keseimbangan dalam kehidupan tidak akan terwujud. Dalam penelitian ini, penulis ingin menelusuri ayat-ayat ḥifẓ al-‘Aql dalam al-Qur’an berikut penafsirannya ditinjau dari perspektif Tafsir Maqasidi.
Era AI menawarkan banyak manfaat, tetapi juga menghadirkan tantangan baru bagi hifdzul aql. Menjaga akal di era ini memerlukan upaya sadar dan berkelanjutan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, memilah informasi dengan bijak, dan menggunakan teknologi secara bertanggung jawab. Dengan memperkuat benteng hifdzul aql dalam diri kita, kita dapat memanfaatkan potensi AI untuk kemajuan tanpa kehilangan esensi kemanusiaan dan kemampuan berpikir jernih yang telah dianugerahkan kepada kita. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dalam menjaga amanah akal ini.
Khosyi’ Dzakwan Faruq
Mahasiswa STEI SEBI.