DEPOKPOS – Muhammad Reza Cordova, peneliti Ahli Utama Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan potensi kerugian negara akibat kebocoran sampah plastik ke laut bisa mencapai Rp225 triliun per tahun.
“Setelah kami hitung dari 2018 sampai 2023 secara kasar, rata-ratanya kurang lebih sekitar 484 ribu ton per tahun [sampah plastik] yang bocor ke lautan dunia dari kegiatan masyarakat kita. Kerugian kita antara Rp125 triliun sampai Rp225 triliun per tahun,” kata Reza, mengutip laman resmi BRIN, Kamis (12/9).
“Bisa kita bayangkan secara kasar, dari 2018 sampai 2023 ini sudah enam tahun. Sekarang masuk tahun ke tujuh, berarti secara kasar kita sudah kehilangan Rp2.000 triliun akibat sampah plastik,” lanjut dia.
Reza menerangkan estimasi kerugian tersebut dilihat dari kerugian secara ekonomi, pariwisata, kesehatan, hingga dari sisi teknis.
Ia mengatakan BRIN saat ini juga terus melakukan penelitian dengan memanfaatkan kecerdasan buatan untuk mendeteksi jenis sampah plastik, termasuk melibatkan akademisi dari berbagai multidisiplin ilmu.
“Karena kalau kita bicara plastik, sampah plastik ini ketika terkena sinar matahari, angin, dan lain-lain, akan jadi mikroplastik. Semakin kecil ukuran plastik, semakin mudah pula akan masuk ke dalam tubuh kita,” jelas dia.
Upaya lainnya adalah melakukan roses bioremediasi yang membutuhkan waktu panjang.
“Ketika sampah sudah bocor ke lingkungan, apa yang kita lakukan? Kita coba cari mikroba apa yang paling tepat untuk bisa ‘memakan’ sampah plastik itu,” ucap dia.
Tidak hanya itu, menurut Reza, dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, Indonesia bisa ‘mengekspor’ hingga 20 persen sampah plastik ke Afrika Selatan.
“Walaupun tidak secara keseluruhan, sekitar 10 hingga 20 persennya akan langsung menuju Afrika Selatan,” ujar dia.
Menurut Reza sampah plastik yang mencemari lautan bisa hanyut melintasi samudera, mulai dari keluar di Samudera Hindia hingga ke Samudera Pasifik.
BRIN, kata dia, juga bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dalam meneliti pergerakan sampah di perairan.
Menurutnya hasil penelitian tersebut mengungkap bahwa sampah dari Sungai Cisadane, dengan menggunakan 11 drifter yang dilepaskan, 2 drifter di antaranya hampir mendekati Madagaskar dalam kurun waktu enam bulan.
Meski hanya 10 persen yang hanyut ke Afrika Selatan, lebih dari 50 persen sampah plastik mengarah ke sungai-sungai di Indonesia yang mencemari wilayah sekitarnya.
“Contohnya, kalau [sampah plastik] yang dari Jakarta, ke mana? Ke pesisir utara Jakarta, Bekasi, kemudian ke arah Tangerah, ke arah Sumatera, itu bolak-balik. Perairan Indonesia itu kompleks, tergantung dari arusnya membawa ke mana,” jelas dia.
Reza juga bicara soal target pemerintah dalam menurunkan kebocoran sampah plastik dari aktivitas masyarakat sebesar 70 persen pada 2025 masih sulit tercapai. Sebab faktanya, sampai perhitungan tahun ini sampah plastik baru berkurang 41,68 persen.
Sementara, produksi plastik melonjak 20 kali lipat secara eksponensial sejak diproduksi massal pada 1950 hingga saat ini. “Plastik sebenarnya bukan sesuatu hal yang buruk, tapi sesuatu yang bermanfaat. Namun yang jadi masalah adalah ketika produk plastik ini sudah diproduksi, kemudian digunakan, akhirnya terbuang menjadi sampah,” ungkapnya.
Lebih dari 60 persen sampah plastik yang dihasilkan secara global, termasuk Indonesia, adalah sampah plastik sekali pakai, seperti plastik sachet, kantong plastik, botol minuman, dan sedotan. Sampah-sampah ini membutuhkan ratusan tahun untuk terurai, mencemari laut, dan merusak habitat biota laut.
Reza juga menyoroti pengelolaan sampah di Indonesia yang belum optimal. Pasalnya, sampah yang dibawa ke tempat pengelolaan akhir baru sekitar 50 persen.
Mengutip data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, Reza mengungkap jumlah sampah di Indonesia saat ini mencapai 60 juta ton per tahun, dengan 11 sampai 38 persen di antaranya adalah sampah plastik.