“Calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan kondisi dimaksud, berpotensi untuk dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah,” jelas Saldi
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian ketentuan persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Kendati demikian, dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menegaskan semua persyaratan calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 UU Pilkada harus dipenuhi sebelum dilakukan penetapan calon kepala daerah.
“Artinya, dalam batas penalaran yang wajar, penelitian keterpenuhan persyaratan tersebut harus dilakukan sebelum tahapan penetapan pasangan calon. Dalam hal ini, semua syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU 10/2016 harus dipastikan telah terpenuhi sebelum penyelenggara, in casu KPU, menetapkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pertimbangan hukum Mahkamah dalam sidang pengucapan putusan pada Selasa (20/8/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Saldi menjelaskan, karena berada dalam satu kelindan, semua yang menyangkut persyaratan harus dipenuhi sebelum dilakukan penetapan calon. Artinya lagi, tahapan-tahapan berikutnya, seperti pemungutan suara; penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara; serta penetapan calon terpilih bukan merupakan tahapan yang dapat dijadikan sebagai titik atau batas untuk menilai dan menetapkan keterpenuhan syarat sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Dalam tataran praktik selama ini, setidaknya sejak pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, terhitung mulai tahun 2015, 2017, 2018, 2020, titik atau batas untuk menentukan keterpenuhan syarat dilakukan dalam kelindan rangkaian sebagaimana dikemukakan di atas. Artinya, batas penentuan keterpenuhan syarat dimaksud dilakukan pada tahapan penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Mahkamah pun membandingkan (comparative approach) titik atau batas penentuan keterpenuhan persyaratan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah dengan titik atau batas penentuan keterpenuhan persyaratan calon anggota legislatif serta calon presiden dan wakil presiden. Dalam hal ini, penentuan keterpenuhan syarat sebagai peserta pemilu calon anggota DPR/DPRD dilakukan pada tahapan penetapan peserta pemilihan umum. Misalnya, penetapan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD ditentukan ketika penetapan daftar calon tetap. Begitu pula, dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, keterpenuhan syarat calon ditentukan ketika penetapan sebagai pasangan calon.
“Artinya, segala persyaratan yang harus dipenuhi pada tahapan pencalonan harus tuntas ketika ditetapkan sebagai calon dan harus selesai sebelum penyelenggaraan tahapan pemilihan berikutnya,” kata Saldi.
Mahkamah juga menegaskan, secara tekstual, norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada adalah benar tidak mencantumkan secara eksplisit ihwal frasa “terhitung sejak penetapan pasangan calon”. Namun, semua pengaturan yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu tidak mencantumkan frasa dimaksud.
Dengan demikian, norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada terkait dengan syarat usia calon kepala daerah dimaksud, selama tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan usia dalam UUD NRI Tahun 1945, hal demikian berarti konstitusi atau hukum dasar menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, batasan persyaratan usia minimum dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum pembentuk undang-undang.
Saldi melanjutkan, berdasarkan Penjelasan Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada bab mengenai “Persyaratan Calon” memuat materi yang sama, yakni terkait dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam hal seseorang hendak mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Setelah dilakukan penelitian, persyaratan minimum tersebut harus dipenuhi ketika seseorang ditetapkan sebagai calon.
Tidak hanya usia minimum, semua syarat dalam Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 harus dipenuhi pada tahapan pencalonan. Dalam hal ini, sebagaimana permohonan a quo, ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 mengenai syarat minimum usia calon kepala daerah harus dipenuhi apabila seseorang mendaftar untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai calon kepala daerah. Bahkan, Pasal 42 ayat (3) UU 10/2016 secara eksplisit menentukan calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon walikota dan calon wakil walikota harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 UU 10/2016.
Tak Ikuti Pertimbangan MK, Tidak Sah
Di samping itu, Saldi menegaskan, dalam posisi sebagai penyelenggara, bilamana KPU memerlukan peraturan teknis untuk menyelenggarakan materi dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016, peraturan teknis dimaksud dibuat sesuai dengan materi dalam norma a quo. Tidak hanya itu, sesuai dengan prinsip erga omnes, pertimbangan hukum dan pemaknaan Mahkamah terhadap norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 mengikat semua penyelenggara, kontestan pemilihan, dan semua warga negara.
“Dengan demikian, jika penyelenggara tidak mengikuti pertimbangan dalam putusan Mahkamah a quo, sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan, calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan kondisi dimaksud, berpotensi untuk dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah,” jelas Saldi.
Mutatis Mutandis
Di sisi lain, Mahkamah juga membacakan putusan terhadap Perkara Nomor 41/PUU-XXII/2024, 88/PUU-XXII/2024, 89/PUU-XXII/2024, 90/PUU-XXII/2024, dan 99/PUU-XXII/2024 secara sekaligus. Mahkamah pun menolak lima permohonan tersebut yang juga menguji Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada terkait syarat usia minimum calon kepala daerah.
Ketua MK Suhartoyo menuturkan, isu konstitusional terhadap perkara-perkara tersebut pada pokoknya adalah sama dengan Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang telah diucapkan dalam putusan sebelumnya dengan amar menolak permohonan Pemohon. Oleh karena itu, pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 secara mutatis mutandis berlaku pula sebagai pertimbangan hukum dalam menilai konstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 yang dimohonkan pemohon tersebut di atas. Dalam hal ini, sebagaimana pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024, Mahkamah memaknai titik atau batas untuk menentukan syarat usia minimum dimaksud telah secara tegas sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024.
“Dengan demikian, dalil-dalil permohonan berkenaan dengan inkonstitusionalitas bersyarat Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo. Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut terhadap hal-hal lain karena dinilai tidak ada relevansinya.
Sebagai informasi, persoalan syarat batas usia minimal calon kepala daerah ini mencuat hingga di bawa ke Mahkamah Konstitusi buntut dari putusan Mahkamah Agung (MA) yang menafsirkan kembali Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020. Dalam aturan tersebut, KPU menyebutkan calon kepala daerah memenuhi persyaratan berusia paling rendah calon kepala daerah terhitung sejak penetapan pasangan calon. Namun, MA melalui putusannya memaknai ketentuan PKPU itu menjadi batas usia paling rendah calon kepala daerah terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Menurut para Pemohon, penetapan batas usia calon terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih telah mengabaikan dan tidak memberikan penghormatan terhadap hak memilih para Pemohon. Menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada tidak memberikan kepastian hukum dan bisa saja berpotensi membuka peluang terhadap orang-orang yang seharusnya belum memenuhi syarat calon kepala daerah menjadi memenuhi syarat karena usia minimal calon kepala daerah dihitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih sebagaimana putusan MA.(*)