PALESTINA – Saat pembebasan dan pelepasan sandera Israel pada 7 Oktober lalu, terlihat para tawanan melambaikan tangan dan memberikan senyuman secara hangat dengan para pejuang Hamas, seakan ucapan perpisahan dengan sahabatnya, bukan musuhnya.
Seorang sandera bahkan dilaporkan menulis surat untuk anggota Hamas yang menyanderanya. Surat tersebut ditulis oleh Danielle, seorang perempuan Israel yang disandera pejuang Hamas pada 7 Oktober lalu. Ia disandera bersama aknya, Emilia Aloni berusia 6 tahun.
Dalam surat itu, Danielle mengaku dia dan anaknya diperlakukan manusiawi oleh para pejuang Hamas selama ditawan.
“Putri saya merasa seperti seorang ratu di Gaza. Terima kasih atas waktu yang Anda (pejuang Hamas) habiskan sebagai pengasuh,” ucap Danielle dalam surat itu.
“Dia (Emilia) belum pernah bertemu siapa pun dalam perjalanan panjang kami, mulai dari pangkat rendah hingga pimpinan, yang tidak memperlakukannya dengan kelembutan, kasih sayang, dan cinta,” paparnya menambahkan seperti dikutip Palestine Chronicle.
Dalam surat itu, Danielle juga mengucapkan salam perpisahan kepada pejuang Hamas yang sudah bersamanya sejak 7 Oktober lalu.
“Kepada para jenderal yang telah mendampingi saya dalam beberapa minggu terakhir, sepertinya kita akan berpisah besok, namun saya berterima kasih dari lubuk hati yang terdalam atas rasa kemanusiaan luar biasa yang ditunjukkan terhadap putri saya, Emilia,” kata Danielle.
“Anda sudah seperti orang tua baginya, mengundangnya ke kamarmu kapan pun dia mau. Dia mengakui perasaan bahwa Anda semua adalah temannya, bukan hanya teman, tapi benar-benar dicintai dan baik.”
“Bye Maya” yang membuat banyak wanita cemburu
Sementara Maya Regev, 21, wanita muda yang dibebaskan Hamas, Sabtu (25/11/2023) malam, telah berkumpul kembali dengan keluarganya di Soroka Medical Center, Beersheba.
“Bye Maya,” ucap pejuang Hamas, melambaikan tangannya ke Maya.
“Bye, Syukron (sampai jumpa, terima kasih, red),” timpal Maya, menjawab kalimat perpisahan itu. Ia juga melempar pandangan mata yang lembut ke arah pejuang. Sekaligus memberi keindahan senyumnya.
Lantas, Maya yang kakinya terluka dibaringkan di kendaraan Palang Merah, dengan senyum menawan.
Momen perpisahan itu, yang hanya berlangsung singkat, tapi mampu membuat cemburu para wanita sedunia.
Bahkan momen perpisahan Maya dan pejuang Hamas yang hanya sekian detik itu mampu menciptakan tagar global #KhamasPleaseKidnapMe. Banyak pengguna sosial media yang meminta diculik Hamas.
Stockholm Syndrome
Banyak analis barat menyebut para sandera itu telah terkena Stockholm Syndrome.
Mengutip Cleveland Clinic, sindrom ini adalah kondisi psikologis seseorang korban penculikan, penyekapan, dan penyanderaan, yang justru menjadi simpatik pada pihak yang menawannya.
Sebenarnya, kondisi ini mendapat namanya dari peristiwa perampokan bank tahun 1973 yang terjadi di Stockholm, Swedia. Selama enam hari konfrontasi dengan polisi, banyak pegawai bank yang ditawan menjadi bersimpati terhadap perampok bank.
“Setelah mereka dibebaskan, beberapa pegawai bank menolak memberikan kesaksian melawan perampok bank di pengadilan dan bahkan mengumpulkan uang untuk pembelaan mereka,” tambahnya.
Nils Bejerot, seorang kriminolog dan psikiater kemudian menyelidiki peristiwa tersebut. Ia juga lah yang mengembangkan istilah Stockholm Syndrome untuk menggambarkan kedekatan yang ditunjukkan beberapa pegawai bank terhadap perampok bank.
Para peneliti tidak mengetahui mengapa beberapa tawanan mengembangkan sindrom Stockholm dan yang lainnya tidak. Salah satu teori mengatakan bahwa ini adalah teknik yang dipelajari yang diturunkan dari nenek moyang manusia.
Pada peradaban awal, selalu ada risiko ditangkap atau dibunuh oleh kelompok sosial lain. Ikatan dengan para penculik meningkatkan peluang untuk bertahan hidup. Beberapa psikiater evolusioner percaya bahwa teknik leluhur ini adalah sifat alami manusia.
Teori lain mengatakan bahwa situasi penawanan atau pelecehan sangat emosional. Orang-orang menyesuaikan perasaan mereka dan mulai berbelas kasih kepada pelaku kekerasan ketika mereka menunjukkan kebaikan dari waktu ke waktu.
“Selain itu, dengan bekerja sama dan tidak melawan pelaku kekerasan, korban dapat mengamankan keselamatan mereka. Jika tidak disakiti oleh pelaku kekerasan, korban mungkin merasa bersyukur dan bahkan memandang pelaku kekerasan sebagai orang yang manusiawi,” sebut teori itu.