DEPOK POS – Burnout syndrome merupakan salah satu kondisi stress yang berhubungan dengan pekerjaan. Kondisi ini ditandai dengan kelelahan fisik dan emosional akibat ekspektasi dan kenyataan tidak sesuai yang dibayangkan.
Di masa pandemi saat ini, terjadi peningkatan beban kerja pada pelayanan kesehatan, khususnya peningkatan beban kerja tenaga kesehatan yang menangani pasien COVID-19. Sebagai garda terdepan yang menangani pandemi, tenaga kesehatan berisiko terpapar COVID-19 yang mengancam keselamatannya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) terhadap 1.400 tenaga kesehatan di seluruh Indonesia secara daring, diketahui bahwa tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter umum, bidan maupun dokter spesialis yang menangani pasien COVID-19 memiliki risiko 2x lebih besar mengalami kelelahan emosi serta kehilangan empati dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang tidak menangani pasien COVID-19.
Tercatat jumlah tenaga kesehatan yang meninggal akibat terinfeksi COVID-19 saat bertugas mencapai ratusan jiwa sehingga keselamatan dan perlindungan diri mempengaruhi kualitas hidup dan kesehatan mental tenaga kesehatan di masa pandemi.
Berbagai penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan kondisi burnout syndrome pada tenaga kesehatan disebabkan oleh berbagai faktor internal, seperti: jenis kelamin, usia, serta status perkawinan.
Jenis kelamin dapat mempengaruhi seseorang dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan di tempat kerja. Tenaga kesehatan wanita menunjukkan kejadian lebih rentan mengalami burnout daripada tenaga kesehatan pria.
Hal ini terjadi karena wanita sering mengalami kelelahan emosional. Selanjutnya, jika dilihat dari sisi usia, tenaga kesehatan berusia muda lebih rentan mengalami burnout daripada yang berusia lebih tua. Hal ini disebabkan pada usia muda, seseorang lebih dipenuhi akan suatu harapan yang terkadang tidak realistis, berbeda dengan seseorang yang berusia lebih tua.
Seiring bertambahnya usia, umumnya seseorang akan berpikir lebih matang dan stabil sehingga memiliki suatu pandangan yang realistis. Selain itu, status perkawinan juga berpengaruh terhadap kejadian burnout. Tenaga kesehatan yang belum menikah (terutama seorang pria) akan lebih mudah mengalami burnout jika dibandingkan dengan yang sudah berumahtangga.
Alasan yang berkaitan dengan hal ini, yaitu:
1) Seseorang yang telah berumahtangga umumnya akan lebih cenderung memiliki kematangan dalam pemikiran,
2) Keterlibatan keluarga serta adanya anak akan mempersiapkan seseorang secara mental untuk menghadapi permasalahan secara emosional,
3) Kasih sayang dan dukungan dari keluarga memberi bantuan seseorang untuk menyelesaikan tuntutan dalam suatu pekerjaan.
Selain disebabkan oleh faktor internal, faktor eksternal juga berpengaruh terhadap kondisi burnout syndrome tenaga kesehatan. Faktor-faktor tersebut yaitu beban kerja, jam kerja serta lingkungan kerja.
Tenaga kesehatan harus kerja berjam-jam dengan tindakan pencegahan ekstra, serta harus menghadapi masalah birokrasi dan perubahan tim. Kondisi ini menghabiskan banyak energi sehingga menyebabkan kelelahan fisik dan mental.
Jam kerja juga menjadi faktor penyebab burnout pada tenaga kesehatan. Semakin lama jam kerja maka semakin tinggi risiko tenaga kesehatan mengalami burnout. Bertambahnya jam kerja akan meningkatkan aktivitas yang dilakukan, baik aktivitas fisik maupun non fisik.
Selain itu lingkungan kerja juga berperan dalam kejadian burnout pada tenaga kesehatan, dalam hal ini tenaga kesehatan bekerja di Unit Perawatan Intensif dimana terjadi kontak dengan pasien COVID-19 sehingga rentan terpapar virus dan risiko mengalami burnout semakin meningkat.
Tenaga kesehatan merupakan sosok garda terdepan untuk menangani kasus COVID-19 di Indonesia. Berbagai solusi telah diupayakan untuk mengatasi kondisi burnout syndrome pada tenaga kesehatan di masa pandemi seperti:
1) Mengatur kembali jam kerja tenaga kesehatan secara resmi,
2) Menetapkan jam istirahat yang cukup untuk tenaga kesehatan, dan
3) Memenuhi insentif hak tenaga kesehatan secara tepat waktu.
Solusi yang tak kalah penting yaitu, sebagai masyarakat yang taat peraturan, sudah seharusnya tetap mematuhi protokol kesehatan yaitu mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak untuk memutus rantai penyebaran virus COVID-19 sehingga dapat mengurangi angka kasus positif COVID-19.
Dengan demikian beban kerja tenaga kesehatan menjadi tidak berlebih dan tentunya dapat mengurangi kejadian burnout syndrome pada tenaga kesehatan. [Mutiara Kiranti, FKM UI]