Realita Pengemudi Ojek Online Dibalik Statusnya Sebagai Mitra

Membawa nama perusahaan kemanapun namun bukan karyawan, ingin berpenghasilan yang besar tapi harus rajin-rajin mengejar poin, bekerja namun tidak terikat, memikul beban namun belum tentu selamat. Itulah mitra dalam topeng pekerja, ojek online.

Siapa yang tidak mengenal moda transportasi ojek online pada era teknologi ini?.

Di Indonesia, masyarakat dengan ekonomi kebawah melirik pekerjaan ojek online sebagai mata pencaharian yang cukup menjanjikan, karena waktu bekerja yang tidak terikat serta menghasilkan penghasilan yang “katanya” cukup menjanjikan “Semenjak saya bekerja di ojek online ini, ya lumayan lah saya bisa nambahin uang buat beli susu anak saya, beli pakaian sekolah anak saya walau kadang masih susah untuk ngatur kehidupan sehari-hari,” ujar salah satu pengemudi ojek online di pangkalan Happy Juice, Margonda.

Sisi lain ojek online

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Institut Transportasi (INSTRAN) yang dimuat di situs detik Januari lalu, dengan jumlah responden sebanyak 300 orang pengemudi, 81,4% pekerja bekerja di atas 9 jam/hari dengan mayoritas pendapatan kotor (belum termasuk makan, bensin, dan rokok) hanya Rp150 ribu/hari (73,7%). Bayangkan bila 7 tahun yang akan mendatang, dengan kerja 12 jam per hari dan upah yang mungkin lebih kecil dari Rp150 ribu per hari, apakah ojek online masih merupakan jawaban dari sebuah pekerjaan?

Di masa yang akan datang, BPJS dapat dibanjiri oleh pekerja yang berasal dari ojek online (kalau ojol membayar iuran), belum lagi penyakit yang diobati adalah penyakit tidak menular seperti diabetes, darah tinggi, jantung, dan lainnya. Tentu hal ini disebabkan oleh perilaku yang tidak sehat dari pengemudi ojek online ketika sedang bekerja seharian. Namun, selain BPJS yang ditanggung pengemudi apakah ada tanggungan kesehatan dan keselamatan “mitra” ojek online dari institusi yang mempekerjakan ojek online?

Dampak kebutuhan masyarakat terhadap perusahaan ojek online

Kebutuhan masyarakat sehari-hari membawa dampak kepada perusahaan ojek online, di mana memberikan peningkatan jumlah mitra yang bekerjasama dengan perusahaan aplikasi ojek online. Namun, hingga saat ini jumlah pengemudi ojek online secara belum diketahui secara pasti baik oleh publik maupun pemerintah dikarenakan perusahaan aplikator yang tidak mau membuka data jumlah tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Presidium Gabungan Aksi Roda Dua Indonesia, Igun Wicaksono, di media Tempo yang memproyeksikan jumlah pengemudi ojek online sekitar 2,5 juta pengemudi.

BACA JUGA:  Membangun Keuangan yang Kuat: 5 Langkah Mudah Menuju Kebebasan Finansial

Dia juga mengatakan bahwa jumlah mitra pengemudi ojek online di Jabodetabek mencapai 50% dari total mitra diseluruh Indonesia yang berarti mencapai 1,25 juta pengemudi. Hal tersebut juga membuktikan bahwa jumlah pengemudi ojek online di wilayah urban jauh lebih tinggi daripada di daerah kecil, yang apabila tidak dilakukan pembatasan di masa mendatang tentu akan berpengaruh pada penghasilan yang didapat oleh pengemudi ojek online.

Pantas disebut pekerja atau hanya mitra?

Dibalik sejumlah kebutuhan, banyak masyarakat tidak mengetahui hubungan antara “pekerja” dengan perusahaan, bahkan tidak sedikit masyarakat yang tidak mengetahui bahwa pengemudi ojek online bukanlah pekerja dari perusahaan penyedia aplikasi melainkan hanya mitra. “Yang saya tahu sih, mereka pekerja ya dari perusahaan G***k,” ujar bu Susi, salah satu pengguna ojek online.

Jika dilihat dengan fenomena yang ada banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pengemudi ojek online merupakan karyawan dari perusahaan-perusahaan penyedia aplikasi , namun apakah benar?

Menurut Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat dalam laporannya, “The ‘sharing’ economic issues facing platform, participants, and regulators” (2016), sharing economy merupakan tempat menjajakan barang dan jasa dengan tiga pemain utama yang berperan yaitu platform, penjual, dan pembeli dimana platform berguna untuk mempertemukan penjual dan pembeli. Konsep sharing economy telah meniadakan pihak ketiga. Namun dalam dunia 4.0 mereka menyaru menjadi aplikasi yang bergerak di bidang ride-sharing, ride-hailing, pengiriman makanan, dan sejenisnya yang kemudian seolah-olah mereka seperti membangun kerajaan bisnis dari tenaga-tenaga berbiaya murah dan tidak terikat.

Pengemudi ojek online tidak mendapatkan besaran gaji tetap dari perusahaan, melainkan tergantung seberapa banyak orderan yang bisa diambil. Bahkan, pengemudi ojek online juga harus membagi sekitar 10 – 20% pendapatannya ke perusahaan. Pengambilan orderan juga dilakukan atas kesediaan pengemudi, bukan perintah dari perusahaan. Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa tidak ada hubungan kerja antara pengemudi dan perusahaan. Oleh karena itu, para pengemudi tidak berhak dalam menuntut hak-hak yang berkaitan dengan pekerja, seperti upah lembur, jamsostek, maupun pesangon apabila hubungan kerja sama berakhir.

BACA JUGA:  Hati-Hati Bangun Tangga di Rumah, Ini Pedomannya!

Jika kita berbicara mengenai sudut pandang hukum, untuk melihat adanya status hubungan kerja pengemudi ojek online dengan perusahaan penyedia aplikasi dapat dikaji berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mendefinisikan hubungan kerja sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang memiliki unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Pengemudi ojek online justru harus membagi beberapa persen dari pendapatannya ke perusahaan yang berarti pengemudi tidak diberi upah oleh perusahaan, perintah untuk mengantarkan penumpang juga bukan dari perusahaan melainkan dari penumpang yang tentu atas persetujuan pengemudi ojek online sehingga jika ditilik kembali dengan unsur-unsur dalam UU No.13 Tahun 2003 tidak terlihat adanya hubungan kerja pada pengemudi ojek online dengan perusahaan penyedia aplikasi.

Aspek keselamatan dan jaminan sosial

Lalu, bagaimana dengan aspek keselamatan “pekerja” dalam fenomena ojek online?

Dari aspek keselamatan dan kesehatan, tuntutan kerja yang diterima oleh pengemudi ojek online dapat mempengaruhi tekanan stres yang dialami pekerja, stres juga dapat menyebabkan hilangnya konsentrasi pada pengemudi ojek online. Salah satu faktor penyebab kecelakaan dapat disebabkan oleh hilangnya konsentrasi yang disebabkan oleh banyak hal dibelakangnya.

Meskipun pengemudi ojek online hanya merupakan mitra dari perusahaan dikarenakan tidak adanya hubungan kerja terikat yang telah dijelaskan pada UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengemudi ojek online harus tetap mendapatkan perlindungan dari aspek keselamatan serta jaminan sosial karena pada saat melakukan pekerjaan, pengemudi membawa nama perusahaan yang mana ketika terjadi sesuatu yang buruk terhadap pengemudi tersebut maka akan mempengaruhi citra perusahaan.

Gojek telah berinisiatif melakukan langkah yang baik dengan menggandeng Jasa Raharja. Langkah ini dilakukan Gojek dalam memenuhi aspek keselamatan dan keamanan bagi pengemudi dan penumpang, di mana perlindungan atas risiko kecelakaan berarti telah terfasilitasi. Namun sayangnya, perlindungan asuransi ini khusus diterapkan pada jasa Go-Car saja. Hal ini dikarenakan Jasa Raharja hanya dapat memberikan asuransi kepada angkutan umum, sementara pada UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kendaraan roda dua tidak terhitung sebagai angkutan umum.

Solusi “kemanusiaan” bagi ojek online

Pengemudi ojek online merupakan aktor utama dari konsep bisnis sharing economy yang memiliki tanggung jawab untuk menghidupkan keluarga dan diri sendiri. Selain itu, pengemudi ojek online juga diharuskan menjaga citra perusahaan dikarenakan pada saat bekerja, mereka selalu mengenakan atribut dan nama perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan penyedia aplikasi seharusnya memberikan jaminan sosial kepada pengemudi ojek online demi menjaga citra perusahaan, sehingga apabila terjadi kejadian yang tidak diinginkan, citra perusahaan tidak terlalu tercoreng. Selain itu, pemberian jaminan sosial bukan hanya untuk citra perusahaan semata, namun juga untuk keluarga yang menunggu pekerja ojek online pulang kerumah dengan selamat.

BACA JUGA:  Membangun Keuangan yang Kuat: 5 Langkah Mudah Menuju Kebebasan Finansial

Pembatasan jumlah pengemudi ojek online terutama di kota besar juga perlu dilakukan mengingat peningkatan jumlah tersebut akan berpengaruh pada pencarian penumpang serta penghasilan dari pengemudi ojek online itu sendiri. Selain pembatasan, peningkatan cakupan ojek online di daerah-daerah perkotaan kecil juga perlu dilakukan agar tersebar merata dan tidak hanya terpusat di kota-kota besar saja.

Selain itu, status pekerjaan pengemudi ojek online juga harus dikaji secara mendalam karena dengan hanya berstatus sebagai mitra, mereka tidak mendapat hak-hak dasar yang diperoleh pekerja yang berstatus karyawan seperti asuransi, jaminan sosial, dan cuti berbayar. Status mitra yang dimiliki pengemudi ojek online tidaklah tepat, karena sebutan mitra seharusnya “yang terbebas dari kendali perekrut, bekerja di lingkup kerja yang tidak repetitif, dan harus benar-benar independen,” ujar Kolumnis New York Times, Miriam Pawel, yang dilansir dari tirto.id.

Pernyataan tersebut bertolak belakang dengan kenyataan yang ada bahwa untuk dapat bekerja sebagai pengemudi ojek online, seseorang harus melewati proses perekrutan yang cukup panjang serta bekerja dalam lingkup kerja yang repetitif, dan tidak sepenuhnya independen karena terdapat aturan-aturan meskipun aturan tersebut tidak terikat.
Selain itu pemerintah juga harus mengkaji secara mendalam mengenai status pekerjaan pengemudi ojek online. Diperlukan adanya kaji ulang bagi perusahaan dan pemerintah akan penyebaran dan kebutuhan ojek online di Indonesia demi kesejahteraan pengemudi ojek online dan perusahaan.

Disusun oleh Annisa Elfariyani, Muhamad Razif Iqbal, Yustika Itsnati Rahmah
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.