Sejarah Pasar Modal Indonesia

Pasar modal merupakan salah satu alternatif untuk berinvestasi. Namun sayangnya, masyarakat Indonesia sendiri masih sangat asing dengan istilah tersebut. Lalu, apa itu pasar modal? Bagaimana sejarah pasar modal di Indonesia?

Pasar modal adalah instrumen keuangan yang memperjual belikan surat-surat berharga berupa obligasi atau saham yang diterbitkan oleh pemerintah maupun perusahaan. Surat-surat berharga tersebut merupakan dana jangka panjang yang memiliki jatuh tempo lebih dari satu tahun. Kegiatannya dilaksanakan di bursa, tempat bertemunya penjual dan pembeli surat-surat berharga tersebut.

Kegiatan pasar modal di Indonesia pertama kali dimulai pada era penjajahan belanda. Namun pada saat itu belum ada organisasi resmi yang menaungi pasar modal tersebut. Yang ada hanyalah transaksi jual beli modal.

Pada tanggal 14 Desember 1912, berdirilah bursa efek pertama di Indonesia dengan nama Vereniging Voor de Effectenhandel (Bursa Efek Batavia) yang merupakan cabang bursah saham di Amsterdam. Anggotanya sebanyak 13 orang dengan efek yang di perjual belikan yaitu saham dan obligasi perkebunan Belanda di Indonesia, obligasi pemerintah, dan efek perusahaan Belanda.

Bursa Efek Batavia sempat ditutup pada tahun 1914 karena Perang Dunia I dan dibuka kembali pada tahun 1918. Setelah itu, perkembangan pasar modal di Batavia menjadi sangat pesat sehingga menarik minat masyarakat lainnya. Padan tanggal 11 Januari 1925, Surabaya resmi menyelenggarakan perdagangan efek, disusul Semarang pada 1 Agustus 1925. Namun, hal ini tidak berlangsung lama dikarenakan pecahnya Perang Dunia II.

Setelah terhenti kurang lebih selama 12 tahun, Bursa Efek Batavia dibuka kembali dengan nama Bursa Efek Jakarta dan berkembang sangat pesat hingga tahun 1958. Lagi-lagi hal ini tidak berlangsung lama akibat instruksi Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda yang melarang perdagangan efek perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia. Akibatnya, banyak investor Belanda yang meninggalkan Indonesia.

Selama periode 1977-1988, perkembangan pasar modal Indonesia kurang menggembirakan. Hanya ada 28 perusahaan yang tercatat di bursa. Namun bursa efek kembali berkembang di tahun 1989 dengan adanya keputusan Mentri Keuangan yang mengizinkan investor asing untuk membeli saham di bursa Indonesia dengan batas maksimum 49%.

Perkembangan ini berlanjut dengan berdirinya PT. Bursa Efek Surabaya sebagai bursa swasta. Lalu pada 22 Juli 1995, dilaksanakan penandatanganan perjanjian penggabungan Bursa Paralel Indonesia (BPI) dan Bursa Efek Surabaya (BES) menjadi Bursa Efek Surabaya (BES). Sehingga, semenjak itu, hanya ada 2 bursa efek yang aktif yaitu Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya.

Memasuki masa krisis moneter berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, sehingga berdampak pula pada merosotnya harga-harga saham. Dimana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sudah mencapai di atas 700-an, anjlok hingga 200-an. Sehingga, langkah yang dilakukan adalah melepas batasan kepemilikan asing yang tadinya 49% menjadi 100%, kecuali untuk saham perbankan. Dan menggabungkan Bursa Efek Surabaya dan Bursa Efek Jakarta menjadi Bursa Efek Indonesia pada tahun 2008. Hingga sekarang perkembangan Bursa Efek Indonesia sangat pesat, bahkan BEI merupakan salah satu bursa efek termaju di ASEAN.

Sedangkan untuk Pasar Modal Syariah di Indonesia dimulai dengan diterbitkannya Reksa Dana Syariah oleh PT. Danareksa Investment Management pada 3 Juli 1997. Tanggal 18 April 2001, untuk pertama kali Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan fatwa yang berkaitan langsung dengan pasar modal, yaitu Fatwa Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah. Instrumen investasi syariah di pasar modal terus bertambah dengan kehadiran Obligasi Syariah pada awal September 2002. (Finia Salwanisa)

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui WhatsApp di 081281731818

Pos terkait