Apasih Perbedaan dari Perkreditan dan Pembiayaan?

Oleh : Nailah Fauziah

Lembaga Keuangan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Lembaga Keuangan Depository dan Lembaga Keuangan Non Depository. Apa sih perbedaan dari Lembaga Keuangan Depository dan Non Depository? Depository adalah Lembaga Keuangan yang diperbolehkan untuk melakukan penghimpunan dana, maka Lembaga Keuangan Non Depository adalah Lembaga Keuangan yang tidak diperbolehkan melakukan penghimpunan dana secara langsung.

Agar kita lebih memahami perbedaan dari dua jenis Lembaga Keuangan tersebut, mari kita kelompokkan apa saja yang termasuk Lembaga Keuangan Depository dan Non Depository. Yang termasuk Lembaga Keuangan Depository adalah Bank Sentral Indonesia yang kemudian dibagi menjadi tiga macam, yaiitu Bank Umum ; Bank Perkreditan Rakyat ; dan Bank Bagi Hasil. Sementara yang termasuk Lembaga Keuangan Non Depository terbagi menjadi tiga yang kemudian ada bagian-bagiannya lagi. Yang pertama, Lembaga Keuangan Kontraktual yang termasuk di dalamnya ada asuransi, dana pensiun, dan pegadaian. Yang kedua, Lembaga Keuangan Investasi di dalamnya ada reksadana dan bursa efek. Kemudian yang ketiga adalah Lembaga Keuangan Lainnya, seperti leasing, factoring (anjak piutang), ventura capital, plastic card, securities (surat-surat berharga), dan consumer finance.

BACA JUGA:  PIS Sukses Tekan Emisi 25,4 Ribu Ton Setara CO2

Penjelasan diatas sebagai pengantar untuk kemudian kita membahas “Apa sih Perbedaan dari Kredit dan Pembiayaan ini?.” BPR akronim dari Bank Perkreditan Rakyat dan BPRS akronim dari Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah. Bukan Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah ya. Ternyata istilah perkreditan baru diubah menjadi pembiayaan, awalnya kepanjangannya adalah Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah sekarang sudah diubah menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah. Secara, nama belakangnya udah syari’ah masa masih Perkreditan. Yang namanya kreditur pasti pasangannya debitur, alias peminjam dan pemberi pinjaman.

Nah, yang namanya hubungan antara Si Kreditur (peminjam) dan Si Debitur (pemberi pinjaman) ini dalam syari’at Islam tidak boleh mengambil keuntungan atau tarif lebih ya, itu namanya R-I-B-A rrribaa. Maka dari itu diubahlah namanya menjadi “Pembiayaan”. Karena oh karena dalam pembiayaan ini hubungannya adalah antara penjual dan pembeli, maka sudah kita ketahui namannya penjual maka boleh mengambil keuntungan dari barang/komoditi/jasa yang dijualnya, setuju? Setuju dong.

Dalam Kitab Suci Al Qur’an Allah SWT berfirman Qur’an Surat Al Baqarah ayat 275 :

ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٧٥

BACA JUGA:  Traveloka Resmikan Flight Academy di KidZania Jakarta, Hadirkan Profesi Penerbangan

Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al Baqarah : 275)

Nah jelaskan apa yang Allah perbolehkan dan yang dilarang oleh-Nya. Maka dari itu mari kita sama-sama jauhi yang namanya riba. Oke agar semakin jelas perbedaan antara perkreditan dan pembiayaan saya akan memberikan contoh penerapannya di BPR dan BPRS itu sendiri.

BACA JUGA:  Jotun Resmikan Flagship Store Pertama di Indonesia

Pada suatu ketika Pak Rahmat dan Ibu Leli berniat untuk merenovasi rumah mereka, tapi di satu sisi Pak Rahmat juga membutuhkan mobil untuk ia bekerja, dan Bu Leli juga ingin memulai usahanya. Maka mereka berdua berniat untuk mengajukan pembiayaan ke BPRS, karena mereka sudah berpengalaman jika melakukan peminjaman ke BPR maka ketiga kasus tersebut akan dimasukkan kepada hutang. Akhirnya Pak Rahmat dan Bu Leli pergi ke BPRS, kasus pertama yaitu merenovasi rumah maka akad yang dilakukan antara Pak Rahmat dan Bank adalah akad Ijarah (sewa menyewa) yang bayaran kepada Bank nya berupa upah, kemudian untuk pembelian mobil maka akad yang berlaku adalah akad murabahah maka Bank mendapat bayaran berupa margin (keuntungan), dan yang terakhir untuk usaha maka digunakan akad mudharabah Bank akan mendapat bayaran berupa bagi hasil dari usaha tersebut.

Indah bukan? Bayangkan saja jika semua dipukul rata menjadi hutang maka nasabah akan tersiksa dengan bunga-bunga yang berlipat. Apalagi jika dalam pemodalan untuk usaha, yah alhamdulillah kalau usahanya untung, kalau tidak?
Wallohu ‘alam bishawwab