
Di saat perkembangan semakin modern, tentu nya apapun aktivitas manusia di lakukan secara digital atau modern. Saat ini sudah marak nya, pembayaran pembelanjaan masyarakat yang serba sederhana tanpa harus membawa uang tunai. Salah satu nya dengan adanya kartu kredit. Maraknya penggunaan kartu kredit dalam suatu transaksi menimbulkan fenomena pada masyarakat yang semakin konsumtif. Menurut data yang dirilis Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), hingga bulan Februari 2016 terjadi transaksi keuangan sebesar Rp 179 triliun. Jumlah tersebut merupakan hasil transaksi dari 16.709.000 kartu kredit yang telah diterbitkan oleh bank di Indonesia hingga masa tersebut. Belakangan ini beberapa bank mengeluarkan kartu kredit syariah, seperti Bank syariah yang telah melirik produk pembiayaan konsumer tersebut sebagai salah satu produk jasa yang ditawarkan. Ada batasan sangat penting yang harus disadari oleh bank syariah, yaitu ketentuan dalam prinsip syariah mengenai ketentuan kartu kredit dan pengaruhnya pada perilaku konsumtif masyarakat, khususnya masyarakat Muslim. Sebab bukan tidak mungkin, kehadiran kartu kredit syariah yang dihadirkan untuk kemudahan bertransaksi menjadi kartu untuk kemudahan berhutang dan menyebabkan sikap konsumtif atau pemborosan yang dilarang dalam konsep ekonomi syariah.
Syariah Card memiliki mekanisme tidak jauh berbeda namun dengan bentuk yang lain. Pemegang Kartu yang terlambat membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo akan dikenai biaya sebagai ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Penerbit akibat keterlambatannya. Biaya ini disebut dengan istilah Ta’widh (تعويض). Selain adanya biaya ganti rugi, ada pula Denda keterlambatan (late charge) yakni denda akibat keterlambatan pembayaran kewajiban yang akan diakui seluruhnya sebagai dana social. (Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya. Cet-1. Jakarta: Jayakarta Agung Offset, 2010). Adapun Syariah Card memiliki ketentuan yang menjadi batasan dalam mekanisme dan praktiknya. Ketentuan-ketentuan ini bertujuan menjaga aplikasi Syariah Card tetap menjalankan prinsip-prinsip Syariah yang menjadi tujuan diterbitkannya sebagai solusi atas Kartu Kredit yang diterbitkan Bank atau Lembaga Selain Bank Konvensional.
Dalam penggunaan syariah card ini berbeda dengan kartu kredit konvensional. Dimana salah satunya tidak menimbulkan riba. Namun adanya beberapa ketentuan. Pertama, dimana adanya monthly membership fee (iuran keanggotaan), yaitu penerbit kartu berhak menerima iuran keanggotaan (rusum al’udhwiyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan (ujrah) atas izin penggunaan fasilitas kartu, yang besarnya ditentukan oleh bank. Kedua, adanya batasan-batasan yang telah ditetapkan DSN MUI salah satu nya tidak menimbulkan riba, tidak mendorong penggunaan yang berlebihan dll. Ketiga, fee penarikan uang tunai. Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqûd) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan. Good will investment, di mana issuer bank mendebet dana dari card holder sebesar 10% dari limit kartu yang akan diinvestasikan dalam bentuk tabungan syariah mudharabah, di mana nasabah akan mendapatkan nisbah dari investasi ini. Nasabah juga dapat menyalurkan zakat atas nisbah yang didapat untuk disalurkan kepada lembaga zakat terpercaya. (Journal Islamic Economics, Ahkam Vol II No 2 2015)
Dengan demikian, pembiayaan syariah ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan keberkahan didalamnya, bukan semerta merta meningkatkan pola konsumtif masyarakat. Ditengah kecanggihan teknologi yang tak bisa dielakan lagi, semoga dengan adanya Ekonomi Syariah dengan model pembiayaan syariah melalui syariah card ini dapat menjadi solusi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Wallahua’alam…
Reni Marlina
(Kepala Departement Ekspansi Keilmuan Islamic Economics Forum)