
Pria tua itu masih dusuk dikursi halte dengan sebatang rokok terselip di antara jari manis dan telunjuknya saat semua orang sibuk bekerja. Sesekali ia menerawang menatap kendaraan yang lalu lalang.
Aku menyukai kehadiran si pria tua yang sederhana itu.
Saat anak, menantu, dan cucunya berangkat dari rumah, pagi sekali si pria tua akan menyapu halaman dan membuang sampah. Kadang menyirami tanaman yang tidak sempat di urus anaknya karena sibuk.
Orang-orang yang mengenal si pria tua kerap menyapanya dengan sebutan “Tuan”. Lalu ia suka mengumbar-ngumbar guyonan dan tertawa terkekeh-kekeh.
“Tuan jangan melamun terus. Ladang banyak yang bisa kau garap,” seorang lelaki setengah abad menyapa si pria tua suatu siang yang mendung.
“Sssshhh,..” si pria tua mendengus, “Aku sedang menunggu bini baru. Ang (1) tak usah ribut, hahaha.” Mereka berdua terkekeh. Orang kampung pasti akan mengolok. Pria tua yang sudah hampir tujuh puluh dua tahun, menunggu kekasih di depan halte, seperti remaja baru puber.
Si pria tua akan kembali ke rumah anaknya ketika cucu-cucunya pulang dari sekolah. Sebelum pulang ia gemar membeli beberapa makanan. Buah tangan untuk orang-orang di rumah.
Barangkali setiap hari Jumat adalah hari penuh berkah. Dan cucu-cucunya juga berlimpah berkah dari si pria tua. Sehabis shalat Jumat di pasar, ia akan mendatangi kedai roti dan membelinya sekantong besar. Membungkusnya rapat-rapat takut ditanyai orang di angkot.
Si pria tua sangat diisiplin. Ia pernah hidup bersama para tentara Jepang. Hingga urusan makanpun ia tepat waktu, selalu pada siang selepas Dzuhur dan malam sesudah Maghrib. Ia sudah lama tinggal dengan anak nomor duanya. Ia terbiasa dengan masakan menantunya. Sukar bila diajak makan di tempat lain.
Ia suka bercengkrama dengan cucu-cucunya. Kadang cucu perempuan dari anak keduanya kerap membersihkan telinga si pria tua di ruang tamu. Si cucu menumpahkan segala hal kepada si pria tua yang hanya diangguki sesekali.
Sore hari si pria tua kerap berteriak marah dari dalam pagar. Memarahi cucu bungsunya yang kerap bermain sepeda dari siang hingga Maghrib menjelang. “Kalau ang tidak pulang juga, sepeda itu biar den2 gantung di atas lonteng!”
Lalu si cucu akan terbirit-birit pulang menggiring sepedanya.
Malam hari si pria tua kadang tidur ditemani cucu perempuannya. Sebelum tidur si pria tua membaca berbagai buku yang kadang berbahasa Arab. Cucu perempuannya akan ikut memeriksa lemari-lemari buku, mengambil buku, dan ikut membaca.
Dua puluh satu tahun yang lalu istri si pria tua meninggal ditabrak kereta api. Tepat beberapa bulan menjelang pernikahan anak keduanya. Pilu, si pria tua menutupnya rapat-rapat.
Beberapa kali dalam sebulan, anak pertama, ketiga, atau keempatnya suka menggunjungi si pria tua dan nyinyir mengajaknya untuk ikut ke rumah mereka. Si pria tua menolak. Karena di rumah mereka si pria tua akan duduk di halte lebih lama lagi. Tidak ada cucu-cucu super berisik yang akan ia tunggui pulang dari sekolah.
***
Kini si pria tua semakin menua. Tiga belas tahun berlalu dan kini usianya sudah delapan puluh lima tahun. Ia masih kerap duduk di kursi halte dengan rokoknya. Kini hanya cucu bungsunya yang ia tunggu pulang dari sekolah. Yang lain sudah pergi sekolah dan pulang sekali sebulan bahkan enam bulan.
Setiap Jumat ia shalat di masjid depan perumahan. Kakinya sudah tak kuat di ajak berjalan jauh. Beberapa kali terjatuh dan membuat semua anaknya cemas bukan main.
Ia menitip beberapa lembar uang pensiun kepada menantunya. Untuk beli makanan dan di kirim ke cucunya yang lain. Ia membersihkan telinga dan tidur sendiri. Hanya sesekali saja berteriak dari dalam pagar memarahi cucunya. Si pria tua lebih banyak mebaca koran di dalam kamar.
Kehadiran si pria tua layaknya teman. Kadang cucunya merengek ingin pergi ke pasar dan minta dibelikan macam-macam dengan si pria tua. Suatu kali ia melihat cucu perempuannya menggunting potongan iklan buku cerita disebuah majalah dan menempelnya di dinding. Setiap saat ia perhatikan. Hingga besok si pria tua mengajak ke pasar dan membelikannya.
Si pria tua menjadi begitu sederhana dengan kehadirannya. Hingga hari ini si cucu sudah berkuliah jutaan kilometer dari rumah, ketika pulang-selain orang tua- ia tetap akan tergesa-gesa menuju si pria tua . Tidak sabar ingin menceritakan apa saja.
Cucu-cucunya tidak pandai menuai perasaan kepadanya, tetapi si pria tua seperti salah satu hal terpenting dalam sebuah pandora.Si pria tua mengganti setiap kesendiriannya dengan menunggui cucu-cucunya pulang. Aku, sebagai cucunya, berhutang banyak hal kepadanya. Tentang waktu yang tidak pernah bisa menggantikan kehadirannya sebagai teman berceritaku di rumah. Kepada si pria tua, Aku menitipkan banyak masa.
“Hah! Sebentar lagi puasa. Gau ndak ka pulang? (3). Pesanlah tiket pesawat,” si pria tua berteriak kencang di depan telepon genggam menantunya. Mengobrol dengan cucunya yang jauh di seberang pulau.
“Iya, awak (4) pulang Nyiak (5)” Aku berteriak tak kalah kencang menjawab teleponnya. Ahh, dia Kakekku.
Semoga Kakek selalu sehat, ya. Aku rindu.
Miftahur Rahmi
Keterangan:
1 : Panggilan kepada laki-laki dalam bahasa Minang.
2 : Panggilan untuk diri sendiri dalam bahasa Minang.
3 : Kamu tidak akan pulang?
4 : Panggilan untuk diri sendiri (bila berbicara dengan orang yang lebih tua) dalam bahasa Minang
5 : Kakek