Tidak Sibuk Artinya Tidak Sukses: Hustle Culture, Produktif atau Burnout?

Tidak Sibuk Artinya Tidak Sukses: Hustle Culture, Produktif atau Burnout?

Hustle culture adalah pola hidup yang menekankan kerja keras tanpa henti sebagai cara utama untuk mencapai keberhasilan

DEPOKPOS – Di zaman yang serba cepat ini, menjadi sibuk sering kali dianggap sebagai bentuk keberhasilan. “Gila, jadwalnya super padat” kini bukan dianggap sebagai keluhan, tapi pujian. Generasi muda hidup dalam lingkungan yang menjunjung tinggi produktivitas, dan tanpa disadari, terperangkap dalam jeratan budaya kerja berlebihan yang biasa disebut dengan hustle culture.

Hustle culture adalah pola hidup yang menekankan kerja keras tanpa henti sebagai cara utama untuk mencapai keberhasilan. Hal ini menimbulkan tantangan bagi individu dalam mempertahankan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional, yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan mental dan fisik mereka. Sekilas, budaya ini terlihat menginspirasi. Namun, benarkah demikian?

Bacaan Lainnya
BACA JUGA:  Hidup Tak Harus Sempurna, yang Penting Bahagia

Pada awalnya, hustle culture tampak menginspirasi. Banyak individu yang telah sukses berbagi cerita tentang perjuangan mereka yang mengorbankan waktu siang dan malam untuk mencapai posisi mereka sekarang. Sayangnya, tanpa disadari, budaya ini bisa berubah menjadi racun yang dapat merusak kesehatan mental dan fisik mereka. Terpaku untuk selalu bekerja membuat seseorang mengabaikan kebutuhan dasar seperti istirahat, bersosialisasi, bahkan makan. Dorongan tak terkendali untuk selalu produktif ini sering kali berujung pada penurunan kualitas hidup yang signifikan.

Hustle culture mendorong gaya hidup di mana bekerja tanpa jeda dianggap sebagai jalan utama menuju kesuksesan. Tak cukup kerja dari pukul 8 pagi hingga 5 sore, banyak diantara mereka yang merasa harus lembur, mengambil pekerjaan sampingan, bahkan mengorbankan waktu tidur demi mencapai target pribadi. Kemajuan teknologi turut mempercepat fenomena ini, di mana media sosial menjadi panggung utama untuk memamerkan produktivitas sebagai ukuran nilai diri. Di Indonesia, budaya ini berkembang pesat di kalangan anak muda yang didorong oleh tekanan dari lingkungan sosial dan ekspektasi karir yang tinggi.

BACA JUGA:  “Agak Laen”: Bahasa, Budaya, dan Identitas Batak dalam Ruang Komedi Populer

Mengutip laporan dari Merdeka.com, budaya ini berdampak langsung pada kesehatan mental generasi muda. Kecemasan, stres berkepanjangan, hingga burnout bukan hal asing bagi mereka yang selalu merasa harus “mengejar sesuatu” agar tak tertinggal. Individu yang terjebak dalam budaya ini sering kali merasa bersalah saat beristirahat, sehingga memaksakan diri untuk terus bekerja karena takut dianggap tidak produktif. Mereka cenderung berjuang untuk mencapai standar yang tidak realistis, yang pada akhirnya menyebabkan stres, kecemasan, dan kelelahan mental.

BACA JUGA:  Warisan Nusantara: Mengenal Lebih Dekat Budaya dan Tradisi di Indonesia

Fenomena hustle culture harus diatasi, generasi muda perlu ruang untuk menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang kerja tapi juga keseimbangan antara pekerjaan, hubungan sosial, dan kesehatan mental. Meski tampak menginspirasi, hustle culture berpotensi menjadi racun tersembunyi yang dapat menguras kualitas hidup. Oleh karena itu individu juga perlu menyadari pentingnya menetapkan batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi guna menjaga keseimbangan yang sehat dan mengedepankan keseimbangan hidup serta mendefinisikan ulang kesuksesan menjadi bukan “yang paling sibuk” tapi “yang paling seimbang” agar tidak terjebak dalam glorifikasi kerja tanpa henti.

Wiwi Adani
Mahasiswi Universitas Pamulang
Prodi S1 Akuntansi

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait