Arus Mudik Lebaran 2025: Kontroversi Kenaikan vs Penurunan dan Faktor Ekonomi yang Membayangi

Arus Mudik Lebaran 2025: Kontroversi Kenaikan vs Penurunan dan Faktor Ekonomi yang Membayangi

DEPOKPOS – Menyusul berakhirnya periode mudik Lebaran 2025, data dan laporan mengenai jumlah pemudik menjadi bahan perdebatan. Di satu sisi, pemerintah dan kepolisian menyatakan terjadi kenaikan volume pemudik sebesar 0,6% dibanding 2024, sementara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan sejumlah pengamat justru mencatat penurunan signifikan hingga 24,4%. Perbedaan ini memicu analisis mendalam tentang faktor ekonomi, kebijakan pemerintah, dan perubahan perilaku masyarakat.

Data yang Bertolak Belakang

Berdasarkan laporan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, jumlah pemudik Lebaran 2025 meningkat 0,6% dari tahun sebelumnya, dengan penurunan angka kecelakaan sebesar 12%. Namun, Kemenhub memproyeksikan penurunan jumlah pemudik dari 193,6 juta (2024) menjadi 146,48 juta (2025), atau turun 24,4%. Data Jasa Marga juga menunjukkan penurunan kendaraan di jalur utama seperti Kota Cirebon, yang kehilangan 400.000 unit kendaraan dalam empat tahun terakhir.

Bacaan Lainnya
BACA JUGA:  60 Ribu Warga Mengungsi Akibat Konflik di Papua Tengah

Perbedaan ini muncul karena perbedaan metode penghitungan. Kemenhub dan lembaga riset seperti Badan Kebijakan Transportasi fokus pada total pergerakan multidaya transportasi sementara kepolisian mengacu pada volume kendaraan di titik tertentu Misalnya, meski kendaraan pribadi meningkat 6,85%, penggunaan transportasi umum seperti bus dan kapal justru turun 3,57%.

Penyebab Penurunan: Daya Beli, PHK, dan Efisiensi Anggaran

Mayoritas analis sepakat bahwa faktor ekonomi menjadi penyebab utama penurunan jumlah pemudik. Berikut rinciannya:

1. Daya Beli yang Melemah
Deflasi pada awal 2025, yang dianggap pemerintah sebagai keberhasilan pengendalian harga, justru diinterpretasikan ekonom sebagai tanda lemahnya konsumsi masyarakat . Survei BKT Kemenhub menunjukkan 62,6% responden mengurangi aktivitas mudik karena tekanan finansial, terutama untuk biaya transportasi dan kebutuhan sekolah anak .

2. Gelombang PHK dan Efisiensi Anggaran
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor industri, ritel, dan perhotelan mengurangi kemampuan karyawan untuk mudik. Efisiensi anggaran pemerintah melalui Inpres No.1/2025 juga memangkas pendapatan tambahan ASN dari dinas luar kota, memaksa mereka menghemat pengeluaran.

BACA JUGA:  60 Ribu Warga Mengungsi Akibat Konflik di Papua Tengah

3. Perubahan Pola Perjalanan
Kebijakan Work From Anywhere (WFA) mendorong pemudik berangkat lebih awal (sejak H-10), sehingga kepadatan tidak terkonsentrasi di puncak mudik (28-30 Maret) . Selain itu, masyarakat beralih ke jalur alternatif seperti Kuningan untuk menghindari kemacetan di jalur pantura Cirebon.

Klaim Pemerintah vs Kritik Publik

Pemerintah menekankan keberhasilan rekayasa lalu lintas, seperti penerapan contraflow dan one-way serta kebijakan WFA yang dianggap memperlancar arus . Kapolri menyebut penurunan kecelakaan sebagai indikator keberhasilan.

Namun, Habiburokhman (Ketua Komisi III DPR) menuai kritik setelah menyatakan mudik 2025 “paling lancar sejak 2000”. Ia membantah dengan argumen bahwa penurunan pemudik tidak signifikan, tetapi kemacetan berkurang drastis karena manajemen ASDP dan kepolisianq.

Di sisi lain, pengamat seperti Ki Darmaningtyas (Instran) menilai kliam pemerintah mengabaikan realitas ekonomi. “Masyarakat memilih tidak mudik karena takut tidak bisa memenuhi kebutuhan pasca-Lebaran, bukan karena kebijakan WFA,” tegasnya.

BACA JUGA:  60 Ribu Warga Mengungsi Akibat Konflik di Papua Tengah

Dampak Ekonomi: Perputaran Uang Menyusut

Penurunan pemudik berimplikasi pada perputaran uang selama Lebaran. Kadin Indonesia memperkirakan perputaran uang turun dari Rp157,3 triliun (2024) menjadi Rp137,9–145 triliun (2025) . Sektor ritel, kuliner, dan penginapan di daerah tujuan mudik seperti Yogyakarta dan Jawa Tengah melaporkan penurunan omzet hingga 30%.

Antara Kebijakan dan Realitas Sosial

Laporan mudik Lebaran 2025 mencerminkan ketegangan antara narasi pemerintah yang ingin menonjolkan keberhasilan logistik dan kenyataan ekonomi yang sulit diabaikan. Meski rekayasa lalu lintas berhasil mengurangi kemacetan, penurunan jumlah pemudik menjadi sinyal alarm bagi pemulihan daya beli dan stabilitas ketenagakerjaan. Seperti dikatakan Djoko Setijowarno (MTI), “Mudik adalah cermin ekonomi riil. Jika masyarakat memilih ‘ngirit’, artinya ada yang salah dalam kebijakan makro kita”.

Pandu Maulana Sukarno

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait