DEPOKPOS – Dalam jajak pendapat terakhir, Kamala Harris unggul dari Donald Trump meski dengan selisih tipis hanya 2 persen. Harris memperoleh dukungan 48 persen dan Trump 46 hanya persen. Lalu mengapa di Pilpres, Harris justru KO dari Trump?
Dalam perhitungan New York Times, Harris meraih 226 suara elektoral, dan 47 persen atau 67 juta popular vote. Sementara itu, lawan dia Donald Trump mengantongi 50,9 persen atau 72 juta suara popular vote dan 295 suara elektoral.
Pendukung Harris kecewa soal dukungan ke Israel
Di bawah pemerintahan Joe Biden, dan tentu Harris, AS mengucurkan bantuan ke Israel dan bersikap lembut ke mereka.
Israel mendapatkan gelontoran dana bantuan militer hingga $ 17,9 miliar atau sekitar Rp 282 triliun oleh Amerika Serikat (AS) sejak perang pecah di Gaza pada 7 Oktober 2023 lalu.
Israel padahal terus menggempur habis-habisan warga Palestina dan menyebabkan lebih dari 43 ribu orang di Gaza dan Tepi Barat tewas.
Melansir Al Jazeera, Israel adalah penerima bantuan luar negeri AS yang paling signifikan. Israel dilaporkan telah menerima sekitar US$263 miliar atau setara Rp 4.171,70 triliun sejak 1946 hingga 2023.
Bantuan AS ke Israel tersebut medapat kritikan pedas dari warga AS sendiri mengingat AS sedang dilanda beragam bencana alam yang membutuhkan dana besar untuk restrukturisasi maupun bantuan untuk rakyat AS yang terdampak bencana secara langsung.
Yang terbaru adalah badai milton yang memporak-porandakan Florida, California
Sentimen gender dan ras
Kekalahan Harris mengingatkan pertarungan pemilu pada 2016, saat Trump melawan Hillary Clinton. Sejumlah pengamat politik menilai kekalahan ini tak lepas dari pengaruh ras dan gender.
Harris merupakan perempuan keturunan Afrika-Asia dan berasal dari keluarga imigran.
“Dinamika mendasar terbesar dalam politik Amerika saat ini adalah pandangan soal ras, pandangan soal gender,” kata peneliti yang fokus isu gender Tresa Undem, dikutip Al Jazeera, Rabu (7/11).
Undem juga mewanti-wanti Demokrat dan Harris akan menghadapi kemarahan publik usai kekalahan dalam Pemilu.
Profesor di Universitas Boston Tammy Vigil yang fokus soal perempuan dalam politik mengatakan AS saat ini punya pekerjaan yang harus diselesaikan.
“Kehilangan ini menunjukkan kita masih punya banyak PR yang harus dilakukan di AS soal seksualitas dan ras,” ujar Vigil.
Ilmuwan politik di Universitas Emory di Atlanta Andra Gillespie juga mengatakan rintangan yang dihadapi Harris adalah “seksisme bercorak rasial.” Persoalan gender dan ras menjadi kian sulit bagi perempuan keturunan India ini.
Sementara itu, Direktur program studi perempuan dan gender di Universitas Georgetown, Nadia Brown, mengatakan Harris adalah kandidat yang pantas menjabat sebagai presiden. Namun, rasisme dan ideologi patriarki yang meluas di AS menyumbang kekalahan bagi Harris.
“Kekalahan ini hanya menggarisbawahi rasisme, supremasi kulit putih, dan patriarki yang mengakar di negara ini,” ujar Brown.
Brown juga menyinggung cara Trump merendahkan Harris memunculkan sisi terburuk para pendukungnya.
Trump sebagai figur yang disorot publik tak segan mengatakan Harris memiliki IQ rendah dan sebagai orang paling bodoh dalam sejarah AS.
Retorika semacam itu, kata Brown, membuat para pendukung Trump ‘mendapat izin’ untuk merendahkan dan mengejek Harris.