Pakar UGM Ajak Pemerintah dan Masyarakat Lakukan Mitigasi Kekeringan

Pakar UGM Ajak Pemerintah dan Masyarakat Lakukan Mitigasi Kekeringan

DEPOKPOS – Kekeringan merupakan kondisi alam yang tidak dapat dihindari oleh negara tropis seperti Indonesia.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa kekeringan akan terjadi lebih panjang pada tahun 2024 yang diperkirakan terjadi mulai Mei sampai Oktober.

Bacaan Lainnya

Kondisi iklim Indonesia juga menunjukkan gejala la nina yang lemah. Artinya, curah hujan akan menurun dan masyarakat hanya bisa mengandalkan sumber air tanah beberapa bulan ke depan.

Pakar Mitigasi Bencana dari Fakultas Geografi UGM, Dr. Djati Mardiatno, S.Si., M.Si., menuturkan bahwa prediksi BMKG tersebut tidak sepenuhnya meleset. Gejala iklim yang berubah-ubah, baik di rumpun regional maupun rumpun global, memiliki dampak yang sangat besar terhadap perubahan musim di Indonesia.

Menurutnya, di tengah-tengah musim kemarau yang berlangsung mulai Mei sampai Oktober, gejala el nino dinilai tidak terlalu parah.

“Tingkat keparahannya itu tidak seperti yang diprediksikan sebelumnya,” ujar Djati, Jumat (20/9).

Perubahan iklim yang dinamis ini disebabkan oleh kondisi geografi dan hidrogeologi Indonesia yang beragam, menurut Djati menyebabkan beberapa tempat mengalami kekeringan, sedangkan tempat lain belum dapat dikategorikan sebagai bencana kekeringan.

BACA JUGA:  Universitas Muhammadiyah Kupang dan Bank Muamalat Sinergi Layanan Perbankan Syariah

Ia memberikan contoh daerah Gunung Kidul dan Nusa Tenggara Timur yang menjadi daerah yang dikenal sulit mendapatkan sumber air apalagi di saat musim kemarau melanda.

Bahkan di daerah tersebut, musim kemarau berlangsung lebih panjang dibanding daripada wilayah lain.

Untuk dapat menilai suatu daerah memiliki potensi kekeringan atau tidak, harus memperhatikan tipe dan zona iklim regional, material penyusun geologis, serta sistem alam yang terdapat di suatu daerah tersebut.

Selain itu, perubahan iklim ini juga mempengaruhi curah hujan yang turun di beberapa daerah di Indonesia.

Perkiraan iklim sebelumnya menyatakan bahwa puncak musim kemarau akan berlangsung pada bulan Agustus hingga September.

Menurut Djati, bulan September adalah bulannya sumber mata air cenderung menjadi asat. Adanya perubahan iklim, itu tidak menutup kemungkinan akan turunnya hujan di bulan Agustus-September meskipun sedikit.

Salah satu sektor penting yang dirugikan dari perubahan iklim adalah sektor pertanian. Sebab saluran irigasi merupakan unsur penting yang menggerakkan sektor ini.

Tanpa pengairan yang cukup, tanaman tidak akan bisa tumbuh dan sawah akan mengering.

Hal ini akan berimbas pada kelangkaan stok bahan pangan dan kenaikan harga sembako.

“Kemarau panjang itu tidak terlalu ekstrim sehingga kemungkinan gagal panen itu rendah,” ujarnya.

BACA JUGA:  Prabowo Panggil para Calon Menterinya ke Kertanegara

Meskipun begitu, pemerintah dan masyarakat tetap diimbau untuk mengantisipasi datangnya kemarau panjang. Untuk menghadapi musim kemarau, pengairan sawah diusahakan tidak bergantung hanya kepada air hujan.

Pemerintah dapat membangun sistem irigasi yang berasal dari sungai, danau, atau embung. Di sisi lain, apabila kondisi geologis suatu wilayah tidak terdapat sumber air alami, Djati mengatakan bahwa antisipasi dapat dilakukan dengan penanaman komoditas yang tidak membutuhkan banyak air.

Untuk menghadapi ancaman kekeringan, cara yang paling mudah untuk dilakukan adalah penyediaan air oleh pemerintah setempat. Setiap tahunnya, ratusan ribu bahkan jutaan liter air bersih telah dikerahkan untuk menangani bencana kekeringan.

Terdapat juga cara lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah selama musim kemarau berlangsung dengan pengadaan pemompaan air tanah. Menurut Djati, Gunung Kidul misalnya memiliki potensi air tanah yang dapat dimanfaatkan.

Secara geologis, tanah di Gunung Kidul memiliki material batan yang mudah larut. Material ini membuat air hujan yang masuk ke dalam tanah dapat disimpan dalam waktu yang lama.

Air disimpan di sungai-sungai bawah tanah dan gua-gua yang memiliki kedalaman mencapai 100 meter.

“Itu paling dangkal saja sekitar 50 meter, jadi sungainya itu dalam sekali,” kata Djati.

BACA JUGA:  Cak Imin Ikut Dipanggil Prabowo ke Kertanegara, Dapat Jatah Menteri?

Pemompaan air dari sungai-sungai bawah tanah ini membutuhkan biaya yang tinggi sebab air tidak dapat naik dengan mesin pompa biasa. Mekanisme pemompaan airnya pun tidak biasa.

Dibutuhkan tempat yang posisinya relatif paling tinggi di suatu kawasan agar secara gravitasional, air dapat didistribusikan ke sekitarnya.

Alternatif lain yang dapat dilakukan untuk menghadapi kekeringan adalah membuat sumber air buatan, seperti embung atau bendungan.

Cara ini sering digunakan di daerah Nusa Tenggara Timur sebagai persiapan musim kemarau dan bencana kekeringan.

“Embung-embung itu untuk menampung air saat musim hujan, untuk kemudian bisa dimanfaatkan pada musim kemarau,” ujar Djati.

Upaya mitigasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, imbuh Djati, masyarakat juga dapat memenuhi kebutuhan air di musim kemarau secara mandiri.

Cara yang paling mudah adalah dengan membuat sistem penampungan air hujan di tandon-tandon air. Air tersebut dapat digunakan untuk kebutuhan irigasi dan domestik seperti MCK dan masak apabila sudah dijernihkan.

“Tidak selalu harus menunggu dari pemerintah, sebetulnya secara mandiri masyarakat bisa dilibatkan,” tutur Djati.

Penulis : Tiefany
Editor : Gusti Grehenson

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui WhatsApp di 081281731818

Pos terkait