“Peristiwa ini sama dengan era sebelum menjelang jatuhnya Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto.”
JAKARTA – Pengamat politik Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting mengungkapkan, sikap keprihatinan kalangan akademisi terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) mirip dengan era Presiden Sukarno pada 1966 dan Presiden Soeharto pada 1998.
“Sikap kerihatinan kaum akademisi terhadap Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto, ujungnya adalah lengsernya kedua presiden tersebut secara mengenaskan,” kata Selamat Ginting di Jakarta, Kamis (8/2/2024).
Menurutnya, sikap keprihatinan kaum akademisi terhadap Presiden Jokowi merupakan koreksi total sekaligus bentuk kepedulian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjelang Pemilu 2024. Alasan kaum akademisi, karena pemerintahan Presiden Jokowi dinilai telah menyelewengkan kekuasaan, hukum dan demokrasi di Indonesia menjelang pelaksanaan Pemilu 2024.
“Peristiwa ini sama dengan era sebelum menjelang jatuhnya Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto. Saat itu kaum akademisi juga melakukan sikap keprihatinan, karena Sukarno dan Soeharto dianggap tidak sesuai lagi dengan Pancasila dan UUD 1945,” ungkap Selamat Ginting, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas.
Saat itu, lanjut Ginting, muncul gerakan pembaharuan pada 1966, karena Presiden Sukarno dianggap tidak menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen. Sikap keprihatinan para akademisi itu kemudian diikuti dengan aksi demonstrasi mahasiswa, pemuda, pelajar, dan sejumlah komponen bangsa terhadap Presiden Sukarno. Aksi demonstrasi yang berkepanjangan itu membuat jalannya pemerintahan menjadi terganggu. Istana menjadi sasaran aksi demonstrasi, sehingga rapat-rapat kabinet tidak bisa dilaksanakan secara baik.
“Kondisi itu merupakan salah satu dampak dari peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965 dan ujungnya pertanggungjawaban Presiden Sukarno ditolak MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) pada Maret 1967. Hal ini menandai jatuhnya kekuasaan Presiden Sukarno,” ujar Ginting.
Akhirnya, lanjut Ginting, rezim demokrasi terpimpin atau Orde Lama Sukarno digantikan Orde Baru yang dipimpin Jenderal Soeharto. Awal pemerintahannya, Soeharto berjanji akan menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun akhirnya malah menjadi pemerintahan otoritarian dan mengesampingkan demokrasi, hingga tudingan melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Diungkapkan, hal serupa, terjadi pula pada 1998 menjelang lengsernya Presiden Soeharto. Sikap keprihatinan dan koreksi total kalangan akademisi diikuti aksi demonstrasi mahasiswa berhari-hari yang akhirnya menguasai Gedung DPR/MPR dan sejumlah menteri menyatakan mundur tidak bisa lagi berada dalam cabinet Presiden Soeharto.
“Presiden Soeharto seperti juga Sukarno gagal membentuk kabinet baru di ujung akhir kekuasaannya. Sehingga Soeharto menyatakan mundur sebagai presiden dan digantikan Wakil Presiden BJ Habibie, sekaligus mengawali era reformasi 1998,” papar Ginting.
Menurutnya, petisi kaum akademisi menjelang Pemilu 2024 ini, atau diakhir Pemerintahan Presiden Jokowi harus ditujukan untuk kepentingan nasional, bangsa dan negara di atas kepentingan golongan. Petisi keprihatinan itu harus diluruskan agar pemerintahan ke depan juga tidak melakukan penyimpangan terhadap jalannya kehidupan bernegara di segala bidang agar tidak menyeleweng dari kelima dasar negara, yakni Pancasila sebagaimana cita-cita luhur para pendiri bangsa.
“Ingat, para pendiri bangsa sepakat agar dalam negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, tidak ada yang berkuasa absulut,” kata ilmuwan politik itu.
Bagi Ginting, sikap keprihatianan kaum akademisi merupakan salah satu benteng pertahanan terakhir bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah terpatri dalam konstitusi UUD 1945. Semua kehidupan berbangsa dan bernegara di semua lini harus senantiasa berdasarkan Pancasila.