Resensi Novel “Perjamuan Arwah”: Makan Bersama Para Arwah

Resensi Novel “Perjamuan Arwah”: Makan Bersama Para Arwah

Baihaqi Hakim Mursalin dan Kinanti Syabitha Azni

Info buku
Judul: Perjamuan Arwah
Penulis: Wicak Hidayat
Bahasa: Indonesia
Tahun terbit: 15 November 2023
Penerbit: Elex Media Komputindo
Jumlah halaman: 134

Bacaan Lainnya

“Dunia ini cukup untuk tujuh generasi, tetapi tidaklah cukup untuk tujuh orang serakah.” —Mahatma Gandhi

Menelusuri toko, di antara rak-rak penuh dengan bundel-bundel berisi ribuan huruf dan terbungkus rapi dengan plastik, mencuat sebuah buku dengan warna yang cukup memikat puluhan mata pengunjung. Tergenggam oleh tangan, buku itu pun semakin menarik gairah pembaca ketika warna merah sampulnya tercetak sejumlah tentakel gurita dengan seorang gadis yang hendak melarikan diri dari kumalan sang hewan. Jemari pun mulai membalikkan buku, membaca kumpulan huruf dan kata yang ada di bagian belakang. Rangkaian itu pun mulai menarik perhatian mata; mereka berdua pun mendekat, mulai membaca…

Terjebak tagihan pinjol yang menumpuk, Mira mencari bantuan Jay, adiknya yang memiliki pekerjaan yang lebih stabil. Namun, sang adik tiba-tiba menghilang. Membawa Mira pada upaya pencarian yang malah membuatnya terjebak dalam ritual gelap terkait kejahatan masa lalu. Di meja perjamuan dalam ritual tersebut, setiap orang punya keinginan terpendam yang harus diwujudkan. Untuk memenuhinya, ada harga yang harus dibayar. Sanggupkah Mira menanggung konsekuensi demi bisa kembali menemukan sang adik?

Paragraf di atas merupakan sinopsi dari buku berjudul Perjamuan Merah karya Wicaksono Surya Hidayat, seorang penulis yang tinggal Depok, Jawa Barat. Ia mengawali karirnya dalam dunia jurnalistik pada 2003, kemudian buku pertamanya hadir pada 2005. Beberapa karyanya masuk ke dalam Lok Tong (kumpulan cerpen sayembara menulis Kementerian Negara pemuda dan Olahraga, Creative writing Institute, 2006) dan antologi Bunga Matahari (antologi puisi, Avatar ress, 2005). Pada 2021, ceritanya yang bertajuk Buku Merah telah dijadikan sebuah film pendek untuk tayang di festival film di Malaysia. Salah satu cerpennya, Merah Pedas, telah terbit di harian Kompas dan masuk dalam antologi Hujan Klise (penerbit Buku Kompas, 2018).

Dalam memilih “pakem” bagi novel ini, penulis menggunakan tema horor yang sering terdengar oleh masyarakat Indonesia, bahkan juga oleh anak-anak dalam pergaulan mereka, yaitu tentang hubungan budaya Jawa dengan Belanda, seperti yang termaktub dalam novel ini dengan kehadiran seorang ndoro yang bisa berbahasa Belanda. Di dalam novel juga disisipkan kata-kata pendek Belanda, tetapi kurang cukup dipahami oleh pembaca meskipun telah dijelaskan secara tersirat.

Penggunaan istilah ndoro juga menjadi sorotan. Istilah ini didefinisikan oleh KBBI sebagai ‘kata sapaan kepada orang bangsawan atau majikan’ atau ‘majikan’. Namun, istilah ini bisa dibilang arkais dan sudah tak lazim lagi dituturkan, meskipun dalam konteks tertentu dapat ditemui pada masyarakat Jawa, terutama di lingkungan yang masih memegang kuat nilai-nilai tradisional. Namun, penting untuk diperhatikan bahwa penggunaan sapaan ini mungkin tidak seumum dulu dan dapat mempunyai keberagaman tergantung pada wilayah, lapisan masyarakat, dan konteks budaya. Dalam novel, penulis memakai istilah ini pada salah satu tokoh antagonisnya yang menunjukkan kedudukan dan ilmu gaibnya yang tinggi dan penuh kuasa yang menentukan jalannya cerita pada novel ini.

Membandingkan dengan karyanya yang lain yaitu Merah Pedas, novel ini juga mengangkat unsur emosional. Jika Merah Pedas mengenai kisah kekeluargaan dan cinta, maka Perjamuan Arwah mengenai kebutuhan tak terbatas yang berlebihan akan segala hal yang diidamkan oleh para tokoh dalam perjamuan. Dalam perjamuan semua keinginan mereka dapat dikabulkan dengan syarat sepadan, tentunya dengan plot twist yang mengundang keterkejutan dari diri pembaca.

Kedua karya Wicak ini mengandung kisah tentang keluarga yang harmonis dan dalam novel Perjamuan Arwah diceritakan dengan alur mundur. Contohnya ketika orang tua Mira pergi untuk menghabiskan waktunya berdua. Dimana hal tersebut adalah hal yang biasa mereka lakukan. Namun sayangnya pada suatu hari kedua orang tua Mira mengalami kecelakan yang mengakibatkan mereka kehilangan nyawanya. Semua masalah Mira dan saudaranya dimulai dari sini.

Dalam kedua buku, perangkaian kata-kata sangat cukup terperinci, jelas, dan imajinatif sehingga pembaca akan jauh lebih mudah menilai suasana dalam cerita tersebut seolah-olah merasakan kejadian tersebut. Contohnya dalam sebuah petikan, “ketika Mira menuangkan isi poci itu ke cangkir. Cairan berwarna kuning agak jingga mengalir memenuhi cangkir. Aroma jamu yang pekat menyeruak, dibarengi aroma manis dengan sedikit pedas dan asam jawa.”

Dari novel perjamuan arwah ini kita mendapatkan pesan moral bahwa dalam kehidupan ini keluarga adalah harta yang paling berharga, kekayan dan keserakahan tidak akan dapat menggantikan hubungan persaudaraan dan kekeluargaan. Selain itu kita juga belajar bahwa segala sesuatu pasti ada imbalannya, yang sering kita sebut timbal balik. Jangan sampai hanya karena kepuasan duniawi kita mengorbankan hal yang paling berharga yang kita miliki.

Baihaqi Hakim Mursalin dan Kinanti Syabitha Azni

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait