DEPOKPOS – Buya Hamka, merupakan Ulama besar yang berhasil menyatukan kepiawaian berdakwah dengan menyajikan keindahan Islam melalui karya-karya sastranya yang sangat memukau. Didalam dunia literasi Islam Indonesia, Ulama kelahiran tanah Minangkabau ini di kenal sebagai seorang satrawan ulung tanpa menghilangkan identitasnya sebagai tokoh pemuka agama Masyarakat. Keahlian berdakwahnya merupakan metode yang unik, dimana ia mampu menyentuh hati dan menjembatani makna spiritual melalui rangkaian kata didalam kisah-kisah romansanya.
Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya karya-karya sastra romansa beliau, seperti “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” yang mengisahkan perjalanan cinta antara Zainuddin dan Hayati yang terhalang adat Minangkabau. Zainuddin yang merupakan anak dari Pandekar Sultan yang berasal dari Minangkabau dan Daeng Habibah, seorang wanita Makassar dianggap sebagai pria tak bersuku dan terbuang karena dilahirkan dari wanita yang bukan orang Minang.
Ia kemudian kecewa dengan sambutan orang-orang sekampungnya, kala datang guna menutut ilmu selepas kepergian kedua orangtua. Ketika Zainuddin hendak memutuskan untuk pergi, ia kembali menemukan cahaya harapannnya melalui seorang gadis yang menarik hatinya bernama Hayati. Keduanya kemudian menyimpan perasaan yang sama. Sayangnya keinginan untuk menikah terhalang keluarga Hayati yang tidak mau memberikan restu, dikarenakan Zainuddin yang dianggap tidak jelas asal-usulnya itu tidak layak bersanding dengan Hayati yang berasal dari keluarga terpandang.
Hayati kemudian menikahi pria yang dijodohkan dengannya, Aziz, seorang pria terpandang asli Minangkabau. Mulanya pernikahan keduanya tampak baik-baik saja tetapi seiring berjalannya waktu, karakter Aziz yang asli terbuka, ia kerapkali berfoya-foya dan menindas istrinya. Sementara itu Zainuddin yang memilih pergi dan melupakan Hayati, menetap ke Pulau Jawa dan memulai kariernya sebagai penulis.
Ada juga karya beliau yang berjudul “Di Bawah lindungan ka’bah”. Novel ini mengisahkan perjalanan romansa Hamid dan Zainab yang terhalang perbedaan latar belakang dan status sosial ekonomi. Hamid mulanya berasal dari keluarga kaya raya dan dihormati Masyarakat. Namun, takdir membuatnya jatuh dalam kemiskinan.
Sepeninggalan ayahnya, Hamid memutuskan untuk membantu ibunya dalam mencari nafkah dengan berjualan kue keliling. Pada momen itulah Hamid bertemu dengan Mak Asiah dan H. jafar, orangtua dari Zainab. Pada usia 6 tahun Hamid di sekolahkan bersama Zainab oleh H. Jafar. Seiring berjalannya waktu keduanya menjadi sangat akrab dan tumbuhlah benih-benih cinta meskipun perasaan itu terpendam rapih di hati keduanya.
Hamid dan zainab kemudian berpisah, dikarenakan Hamid pindah ke padang Panjang, guna melanjutkan pendidikannya. Hingga pada suatu pertemuan, mak Asiah meminta Hamid untuk membujuk Zainab agar mau menikah dengan lelaki pilihan keluarganya, hal itu sontak membuat perasaan Hamid hancur. Hamid yang patah hati kemudian memutuskan untuk pergi meninggalkan tanah Minangkabau menuju Mekkah. Lama menetap di Mekkah, Hamid bertemu dengan Saleh.
Rosna istri dari Saleh merupakan teman dekat Zainab. Ia mengabarkan kepada Hamid bahwasannya Zainab mencintai dirinya, ia masih menunggu dan tidak jadi menikahi lelaki pilihan keluarganya. Mendengar itu, Hamid berniat untuk kembali dan pergi menemui Zainab. Namun, takdir berkata lain, belum sempat Hamid kembali ke tanah air, ia mendapat kabar bahwa Zainab telah berpulang, meninggalkan dunia yang fana. Dalam kehancuran hatinya, takdir kembali berkehendak, Hamid pergi menyusul Zainab dihadapan ka’bah.
“Si Sabariah” merupakan novel pertama Buya Hamka yang kemudian menjadi modal untuk pernikahannya. Novel ini mengisahkan seorang istri dengan keteguhan dan ketulusan cintanya kepada sang suami bernama Sabariah. Kesetiaan juga keteguhan cintanya, menguatkan Sabariah dalam menolak permintaan sang bunda, Sariaman yang berusaha memisahkan anaknya dengan suaminya, Pulai.
Di tengah kesukaran dan kelaparan yang dialaminya, Sabariah senantiasa menunggu kepulangan Pulai dari perantauan. Ia menyambut hangat kepulangan suaminya meski takdir buruk menghampirinya, Pulai pulang dengan tangan kosong. Hal tersebut tentu membunuh harapan Sariaman, sang bunda. Kehadiran sosok pemuda kaya raya Bernama Suman membakar nafsu Sariaman, ia mendesak Sabariah untuk meninggalkan Pulai dan menikahi pemuda kaya tersebut.
Hingga puncak cerita, keduanya memilih jalan cinta semati setelah mendapat intervensi dari Sariaman. Pulai, suami yang sangat mencintai istrinya Sabariah, tega membunuhnya kala ia merasa tidak dapat bersama lagi akibat pertentangan dari mertuanya. Usai membunuh Sabariah istrinya, Pulai kemudian mengakhiri hidupnya sendiri menyusul sang istri.
Melalui novel-novel romantisnya itu, dapat kita lihat Buya Hamka berusaha menyampaikan berbagai pesan dan nilai kehidupan yang mencerminkan kebijakan hati dan kearifan Islam didalamnya.
Seperti di dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” Buya Hamka seolah hendak menyampaikan bahwasannya tidak baik menilai seseorang hanya dari status suku, harta ataupun sosialnya. Apalagi bersikap rasis dan mendeskriminasi seseorang hanya karna berasal dari etnis yang berbeda dari kita. Kisah ini menggambarkan bagaimana seseorang yang dianggap terbuang, tidak jelas asal-usulnya kemudian mampu membuktikan akan velue, kualitas dirinya dan menjadi sukses.
Lalu di dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, dapat kita petik sebuah hikmah yang mendalam, dimana manusia tidak berdaya di bawah takdir kehendak Tuhan. Begitu juga dari gagasan sosial, saya melihat bagaimana Buya Hamka menggambarkan status sosial yang berubah menjadi kalkulator penentu baik buruknya seseorang. Sehingga masyarakat tidak lagi menilai seseorang dari akhlak atau agamanya melainkan dari harta dan status sosialnya, hal itu kemudian mengorbankan orang-orang dengan cinta yang suci dan tulus layaknya Hamid dan Zainab.
Juga di dalam kisah “Si Sabariah” menggambarkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi didalam adat istiadat Minangkabau. Apabila para wanita Minang mulai di rasuki sifat matrelisme dan kapitalisme seperti Sariaman yang kemudian dengan nafsu keserakahannya mendesak anaknya untuk bercerai karna uang maka hancurlah rumah tangga yang suci itu. Di simpulkan juga kisah ini seolah menyampaikan bahwasanya lelaki, sebagai pemimpin dan imam keluarga, haruslah memahami dan memegang teguh ajaran agama sehingga ia dapat membina dan menjaga keluarganya dari kebinasaan.
Buya Hamka lahir pada masa transisi, pembaruan Islam di tanah minang. Tentu hal ini dapat melatar belakangi bagaimana struktur dan isi karya-karyanya. Dapat kita lihat bagaimana banyak dari karya-karya Hamka tersebut yang mengangkat masalah-masalah yang mungkin saja terjadi didalam adat istiadat masyarakat Minang. Ia seolah menyerukan bahwasannya kita harus kembali kepada pegangan adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah.
Maka dari sini dapat kita simpulkan bagaimana metode dakwah yang dilakukan Buya Hamka ini memiliki banyak keunggulan yang membawanya kepada kesuksesan.
Kemampuan Menyusup ke Jiwa Pembaca
Berdakwah melalui karya sastra sangat memungkinkan pesan-pesan Islam yang diselipkan itu dapat menyusup ke dalam jiwa pembaca dengan cara yang lembut dan mendalam. Buya Hamka dengan mahir dapat memadukan keindahan bahasa sastra dengan esensi agama, membuka pintu hati pembaca untuk meresapi ajaran Islam.
Kesesuaian dengan Budaya Lokal
Karya sastra Buya Hamka tidak hanya merangkul nilai-nilai Islam, tetapi ia juga menyesuaikan dengan budaya lokal yang ada. Penempatan cerita dalam konteks kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia menjadikan dakwahnya lebih dekat dan relevan bagi pembaca.
Pembentukan Karakter Positif
Buya Hamka menghumanisasikan ajaran Islam melalui karakter-karakter didalam karyanya. Ia membuat tokoh-tokoh yang realistis dan memiliki kehidupan yang mirip dengan pembaca sehingga pesan-pesan agama lebih mudah dicerna dan diidentifikasi. Di sisi lain, Buya Hamka juga membentuk karakter positif bagi pembaca. Karakter-karakternya yang penuh dengan nilai moral dan etika Islam menjadi inspirasi bagi pembaca dalam mengembangkan kepribadian yang baik dan berbudi luhur.
Dakwah Tanpa Memaksa
Berdakwah melalui karya sastra memberikan ruang bagi Buya Hamka untuk menyampaikan pesan-pesan keislaman yang mendalam. Karya-karya tersebut menjadi sarana untuk kemudian merangsang pemikiran kritis dan memahami Islam dengan lebih mendalam. Hal ini kemudian menghasilkan suatu metode dakwah tanpa memaksa, dimana para pembaca tidak merasa dihujat atau ditekan melainkan diajak untuk merenung, memahami makna yang lebih dalam, dan menciptakan ruang untuk refleksi tanpa merasa terpaksa.
Keseimbangan Antara Seni dan Dakwah
Melalui metode ini, Buya Hamka berhasil menciptakan keseimbangan harmonis antara unsur seni sastra dan dakwah. Karyanya tidak hanya memikat hati melalui keindahan bahasa dan plot cerita tetapi juga memberikan pengajaran dan pencerahan spiritual.
Kita dapat melihat bagaimana sosok Buya Hamka kemudian berhasil memberikan kontribusi berharga dalam dunia dakwah melalui karya sastra yang indah dan mendalam. Keunggulan berdakwah melalui karya sastra ala Buya Hamka tidak hanya menciptakan pengalaman membaca yang menghibur, tetapi juga meresapi hati dengan keindahan dan kedalaman nilai-nilai Islam. Dakwah melalui sastra menjadi jalan yang penuh kelembutan dan kearifan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sang maestro sastra Islam Indonesia ini.
Athiya Nasywa Rabbani
Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung