Resensi Novel “Namaku Alam”: Hubungan Interpersonal, Asmara, Bromance, dan Keluarga

Resensi Novel “Namaku Alam”: Hubungan Interpersonal, Asmara, Bromance, dan Keluarga

Judul Buku : Namaku Alam
Penulis : Leila S. Chudori
Terbit : 20 September 2023
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Jumlah Hal : 424
Peresensi : Alfiyyah Fadiyah, Hilma Aufiana

DEPOKPOS – Bisakah sebuah novel mengungkap sejarah terpendam tentang tragedi besar suatu negeri sekaligus mengangkat kisah relasi personal sang tokoh utama?

Bacaan Lainnya

Namaku Alam 1 merupakan spin off dari buku berjudul Pulang karya Leila S. Chudori. Leila mulai menulis novel “Pulang” pada tahun 2006 dan menyelesaikannya pada tahun 2012. Seno Gumira Ajidarma menilai “Pulang” sebagai novel dengan teknik seamless realism, menciptakan pengalaman membaca yang menyatu dengan situasi dalam novel. Leila S. Chudori mengangkat tema kejujuran, keyakinan, tekad, prinsip, dan pengorbanan dalam gaya bercerita yang intelektual dan puitis. Terinspirasi oleh penulis dunia seperti Kafka, Dostoyevski, Lawrence, dan Joyce, Leila juga memadukan pengaruh Baratayuda dan Ramayana dalam tulisannya.

Melalui novel Namaku Alam, Leila menceritakan tentang tokoh utama yang bernama Alam dalam menjalani kehidupannya sebagai anak simpatisan Gerakan 30 September 1965 atau G30S PKI. Cap “anak pengkhianat negara” melekat pada identitasnya dan menghantui hidupnya. Latar belakang keluarga Alam ini lah yang menempa kehidupan pertemanan, hubungan dengan keluarga, hingga kisah percintaannya.

Alam memiliki kemampuan photographic memory yang membuatnya tidak bisa melupakan semua hal dalam kehidupannya, baik itu memori baik ataupun buruk. Kejadian pertama yang dia ingat adalah ketika sekelompok orang menggeledah rumahnya untuk mencari keberadaan bapaknya. Alam yang saat itu masih berumur 3 tahun bersembunyi di bawah meja dan mendengarkan semua keributan itu. Alam juga ingat ketika ia bersama Ibunya, Kenanga, dan Bulan diperintahkan untuk ke Budi Kemuliaan untuk menemani ibunya diinterogasi.

BACA JUGA:  Tata Kelola: Komparasi Audit Konvensional dan Syariah

Persamaan latar belakang keluarga membuat Alam menjalin persahabatan dengan Bimo. Bimo adalah anak seorang simpatisan PKI yang tidak bisa pulang ke Indonesia akibat kebijakan Soeharto yang melarang para simpatisan PKI di luar negeri untuk kembali ke Indonesia jika tidak mengakui kekuasaannya. Dengan kisah masa lalu dan bayang-bayang kedua bapak mereka yang menghantui keseharian mereka, Alam dan Bimo saling menguatkan dan berbagi cerita. Hubungan persahabatan antara Alam dan Bimo secara tidak langsung menyinggung toxic masculinity yang ada dalam konstruksi masyarakat. Bahwa laki-laki tidak menunjukkan afeksi kepada teman laki-laki lainnya dan bahwa persahabatan antara laki-laki bukanlah hal yang dapat diromantisasi.

SEANDAINYA KAMI binatang, aku adalah anjing pelacak dan Bimo adalah kelinci putih yang manis, jinak tanpa curiga. Jika kami di dunia tumbuhan, aku adalah kaktus berduri yang cenderung menikam jika merasa terancam, sementara Bimo adalah dedaunan adiantum (Yu Kenanga menyebutnya suplir) yang halus, berbatang bak benang tipis yang anggun. Jika kami ada di dalam benak John Lennon, maka aku adalah bagian dari partitur “Come Together” sedangkan Bimo hidup dalam lagu “O, My Love” yang lembut mengelus bak suara buluh perindu. Jika kami hidup di jagat Mahabharata, sudah jelas aku adalah Bima, dan dia yang bernama Bimo justru mewakili seorang Yudhistira. Di dunia seni, Bimo yang berbakat melukis itu diam-diam ingin menjadi seorang Sudjojono, sedangkan aku di masa SMA tergila-gila pada Guernica karya Pablo Picasso.

Melalui analogi yang dideskripsikan oleh karakter Alam, menunjukkan kuatnya persahabatan laki-laki antara Bimo dan Alam yang mungkin jarang kita temukan di novel-novel fiksi lainnya. Dari potongan cerita di atas juga menunjukkan kemampuan Leila dalam memanfaatkan imajinasi dan kreativitasnya untuk menyampaikan karakter dan jalinan di antara mereka menggunakan personifikasi lewat binatang, tumbuhan, musik, kisah mahabarata, hingga sebuah karya seni. Dekripsi ini tidak hanya memperdalam tiap karakter yang ada dalam cerita, namun juga dapat menghadirkan daya tarik emosional sendiri terhadap tiap karakter kepada pembaca.

BACA JUGA:  Tata Kelola: Komparasi Audit Konvensional dan Syariah

Teknik penulisan Leila S. Chudori tidak bisa diragukan lagi dalam pemilihan diksi untuk menceritakan Alam dan kehidupannya. Leila mengakui bahwa ketika ia menulis terdapat pengaruh penulis seperti N.H. Dini, Virginia Woolf, Susan Sontag, Sylvia Plath, Anne Sexton, dan Simone de Beauvoir. Ia menghargai kejujuran dan orisinalitas dalam tulisan N.H. Dini serta kemandiriannya dalam membangun karya tanpa bergantung pada entourage. Bagi Leila, kemampuan menaklukkan bahasa adalah kunci utama dalam menulis fiksi, mengantar pembaca ke dalam dunia alternatif yang diciptakan oleh pengarang. Hal inilah yang menjadikan karya-karya Leila termasuk Namaku Alam memiliki cerita yang mengalir dan menghanyutkan pembaca. Teknik Leila dalam mengakhiri setiap bab dan memilih kalimat-kalimat yang mengundang rasa penasaran di awal bab dapat membuat pembaca tidak mudah menghentikan proses pembacaan.

Leila juga berhasil menjadikan Alam sebagai idola baru bagi para pembaca buku. Selain sosoknya yang cerdas karena kemampuan photographic memory, sejak kecil Alam hidup dikelilingi oleh perempuan mandiri dan berdaya seperti Ibu, Kenanga, dan Bulan. Hal tersebutlah yang membuat Alam mengerti tentang perjuangan seorang ibu dan wanita tanpa kehadiran laki-laki. Percikan feminisme ini juga dapat kita lihat dari bagaimana Alam tidak setuju apabila ibunya disebut sebagai janda, melainkan orang tua tunggal.

Buku ini berhasil mengangkat kembali isu 1965 yang kurang banyak dibahas, yaitu dari segi keluarga dari simpatisan PKI. Media ataupun sejarah lebih banyak membahas mengenai kronologi peristiwa, perdebatan dalang dari tragedi besar G30S PKI, ataupun tokoh-tokohnya. Tidak banyak yang menyinggung keluarga korban, trauma, dan stigma yang membayangi mereka seumur hidup. Selain isu penting peristiwa G30S PKI, Leila juga menghadirkan romansa masa SMA di dalamnya. Kisah Alam dan Dara di buku ini terhalang oleh latar belakang keluarga yang berbeda, Alam dengan keluarga yang lebih sederhana dan Dara dengan keluarga dan gaya hidup yang elit. Di sisi lain, Tommy kakak dari Dara sangat anti terhadap latar belakang Alam yang merupakan anak dari simpatisan PKI bahkan menghina Alam di acara keluarga Dara.

BACA JUGA:  Tata Kelola: Komparasi Audit Konvensional dan Syariah

Meskipun buku ini mengangkat isu dan tema yang memantik diskusi berbagai akademisi atau pun kalangan pembaca buku, buku ini tidak memiliki konflik besar seperti novel Pulang. Konflik dalam buku ini lebih terfokus pada diri Alam dan konflik identitas yang ia hadapi sebagai korban tidak langsung dari peristiwa G30S PKI. Selain itu, pada beberapa bab terdapat ketidaksinambungan yang membuat bab-bab tersebut seolah-olah berdiri sendiri, tanpa bersambung dengan bab sebelum maupun sesudahnya.

Melalui Namaku Alam, Leila S Chudori berhasil menggambarkan hubungan kuat antara para karakter yang berada dalam bayang-bayang tragedi sejarah yang kelam. Meskipun tidak ada konflik yang berarti terkait sejarah itu sendiri, Leila menghadirkan lapisan menarik lainnya yang dapat dieksplorasi oleh pembaca, yakni penggalian emosional setiap karakter yang merupakan korban dari sebuah tragedi, melalui hubungan interpersonal yang ada dalam cerita.

Alfiyyah Fadiyah
Hilma Aufiana

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui WhatsApp di 081281731818

Pos terkait