DEPOKPOS – Normalisasi konsumsi alkohol menjadi faktor risiko peningkatan beban penyakit tidak menular, ekonomi negara, dan waktu hidup yang tidak produktif. Institusi pendidikan seharusnya merupakan tempat untuk membangun kesadaran dan mengarahkan peserta didiknya dalam perilaku yang positif.
Pendekatan awal yang dapat dilakukan adalah memahami latar belakang perilaku konsumsi alkohol pada mahasiswa guna menyesuaikan intervensi yang optimal.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan bahwa kelompok usia yang rentan mengonsumsi alkohol ada di angka 20–24 tahun. Validasi lainnya berasal dari National Survey on Drug Use and Health yang juga mengatakan hal serupa, bahwa sebanyak 49,3% mahasiswa mengonsumsi alkohol.
Dilihat dari transisi demografi dan epidemiologi, generasi tersebut adalah aset yang berharga untuk menopang produktivitas bangsa lewat masa bonus demografi. Namun, jika perilaku konsumsi ini kian marak terjadi, beban ekonomi dan kemerosotan kualitas hidup akan di depan mata.
Bisa dibayangkan seberapa banyak uang negara yang dialokasikan membiayai dampak penyakit akibat faktor resiko konsumsi alkohol. Maka dari itu, peribahasa “mencegah lebih baik daripada mengobati” perlu kita aplikasikan pada isu ini.
Institusi, dilihat dari terminologinya menyasar pada adanya aturan, mekanisme, dan penegakan untuk membentuk insan di dalamnya dengan nilai dan moral yang dikehendaki. Hal itu pula yang mendasari tujuan dari adanya universitas tempat mahasiswa menimba ilmu, katanya.
Urgensi permasalahan konsumsi alkohol jangan dipandang sebelah mata, merasa bukan kodrat universitas mengatasi hal tersebut, atau bahkan acuh dengan fenomena yang kerap ditemukan ini. Pendekatan yang diharapkan bukan yang membabi buta, menyengsarakan, atau bahkan langsung diambil alih oleh peradilan. Intervensi yang dekat dan hangat menjadi krusial bagi mahasiswa untuk diajarkan dan dididik terkait apa yang benar dan apa yang salah (dibaca: discretio).
Lalu mulai dari mana? Langkah pertama adalah mengetahui alasan mereka mengonsumsi alkohol. Intervensi yang baik adalah yang menjawab permasalahan dari akarnya, bukan dari asumsi pengambil kebijakan belaka.
Membahas mengenai teori perilaku, disebutkan oleh Ajzen (1991) adanya kerangka berpikir mengenai tiga faktor yang mempengaruhi planned behavior, yaitu: attitudes (dari dalam diri), subjective norm (dari lingkungan), dan behavior control (penghambat atau kontrol). Sebuah penelitian sederhana dari kami mengategorikan variabel tersebut menjadi sebuah kerangka yang tidak terlalu abstrak yaitu adanya pengaruh stres (dari diri), pergaulan dan media sosial (dari lingkungan), serta hubungan dari orang tua (sebagai kontrol perilaku).
Ternyata, asumsi dari penelitian ini untuk menengok variabel tersebut menuai hasil yang menarik. Demotivasi atau kondisi stres memang mengakibatkan mahasiswa mengkonsumsi alkohol, tetapi jika dikaji lebih dalam, penyebab demotivasi tersebut sangat beragam; mulai dari beban akademik, organisasi, kesibukan, dan lainnya.
Coping mechanism dari demotivasi ini perlu diteliti lebih lanjut, apakah memberikan pleasure sementara bagi mereka atau eksistensi diri apa yang didapatkan? Pergaulan meliputi ajakan teman karena telah tersedianya sarana sangat berpengaruh bagi konsumsi mereka. Tidak luput, ada sebagian orang yang menjadi inisiator (mengajak) teman-temannya dan jika kondisi serta materi memadai, jawaban ‘iya’ menjadi mudah diucapkan.
Perguruan tinggi kebanyakan juga menjadi titik awal bagi seseorang untuk merantau dan berpisah dari orang tua . Hal ini menimbulkan perubahan perilaku dari yang awalnya terkontrol, bisa berubah menjadi lebih ‘kendur’ karena minimnya proteksi keluarganya. Ditambah dengan masa life crisis dan pencarian jati diri mahasiswa yang menimbulkan desakan keingintahuan untuk mencoba.
Namun, satu hal yang menarik adalah pengaruh value dan budaya keluarga dalam perilaku konsumsi alkohol cukup berperan bagi mereka. Jawaban baik, buruk, benar, dan salah memang relatif dan normatif karena dibangun dari budaya di tempat tinggal. Penemuan adanya tradisi dan pengaruh kebiasaan orang tua juga berkorelasi dengan konsumsi mereka.
Variabel penghambat yang ditemukan ternyata tidak hanya bersumber dari arahan dan pengawasan orang tua, tetapi juga dari status sosial demografi mereka. Wanita terbukti lebih sadar akan dampak negatif konsumsi alkohol yang relatif lebih besar dibanding pria.
Demotivasi mahasiswa menjadi faktor yang berkontribusi untuk berujung pada konsumsi alkohol. Namun, diperlukan penelitian lebih mendalam dan mendetail mengenai gambaran pleasure/eksistensi diri yang didapatkan mahasiswa dengan mengonsumsi alkohol untuk mendukung temuan awal ini.
Konsumsi alkohol juga tidak luput dari faktor ajakan pergaulan serta adanya sarana yang mumpuni bagi mereka untuk menggelar kebiasaan tersebut. Orang tua sangat berpengaruh dalam memberi teladan dan mengontrol buah hati mereka. Untuk itu, intervensi pendekatan yang baik ke depannya harus melibatkan semua pihak dan mencoba memahami masalah dari kacamata yang holistik.
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Metodologi Penelitian Kualitatif Kesehatan 2023
Kelompok 5