Sejarah Berdirinya Perguruan Tinggi Islam di Indonesia

Sejarah Berdirinya Perguruan Tinggi Islam di Indonesia

DEPOKPOS – Perkembangan Perguruan tinggi Islam di Indonesia telah berlangsung sejak dibukanya Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta pada bulan juli 1945 menjelang Indonesia merdeka. Sejak saat itu dinamika dan perkembangan perguruan tinggi Islam dimulai. Setelah terbentuknya, STI berubah menjadi UII (Universitas Islam Indonesia).

Perkembangan berikutnya fakultas agama UII dinefrikan menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri), kemudian fase berikutnya muncullah IAIN dan STAIN, selain itu muncul pula Pendidikan tinggi Islam swasta, baik berbentuk universitas, institut, maupun sekolah tinggi. Paradigma baru perguruan tinggi besar (greater autonomy) dalam pengelolaan atau otonomi. Kedua, akuntabilitas atau tanggung urai (greater accountability), bukan hanya dalam pemanfaatan sumber-sumber keuangan secara lebih bertanggungjawab, tetapi juga dalam pengembangan keilmuan, kandungan pendidikan dan program-program yang diselenggarakan. Ketiga, jaminan lebih besar terhadap kualitas (greater quality assurance) melalui evaluasi internal (internal evaluation), yang dilakukan secara kontinu dan berkesimbangun; dan evaluasi eksternal (eksternal evaluation) oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN).

Bacaan Lainnya

Perguruan tinggi Islam yang ada di Indonesia. khususnya dalam bidang agama merupakan salah satu pelopor dalam Islam. Kemajuan dan perkembangan mengembangkan ilmu pengetahuan perguruan tinggi Islam yang sangat berkembang pesat. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan daya saing perguruan tinggi Islam di Indonesia terhadap perguruan tinggi di luar Indonesia. Persaingan perguruan tinggi Islam sudah terlihat semenjak zaman penjajahan yang ditandai dengan banyaknya bermunculan perguruan-perguruan tinggi umum.

Selain hal di atas, disebutkan bahwa penyebab pesatnya pertumbuhan perguruan tinggi Islam diakibatkan semangat tokoh-tokoh elit ummat Islam dalam memplopori pendirian perguruan tinggi Islam untuk mengejar ketertinggalan pendidikan Islam. Semangat ini dapat dilihat dari hasil sidang tokoh-tokoh pendidikan Islam dalam membentuk Sekolah Tinggi Islam (STI).

Berdasarkan teori sejarah perkembangan perguruan tinggi Islam diatas, maka pada kesempatan ini akan dibahas sejarah berdirinya perguruan tinggi Islam dan perkembangan perguruan tinggi Islam di Indonesia.

Pendidikan adalah usaha agar kita sadar dan terencana untuk membangun manusia yang lebih baik lagi dan menjadi yang seutuhnya. Pendidikan adalah suatu proses pencarian pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok individu dari satu generasi ke generasi berikutnya. Modal sosial yang terbentuk seperti itu yang membangun fondasi dasar yang lebih kuat dan sesuai dengan persyarikatan Muhammadiyah.

Peranan Muhammadiyah yang berpartisipasi dalam pembinaan Generasi muda Islam, adalah suatu hal yang sangat penting. Terlebih karena pionirnya, K.H. Ahmad Dahlan merupakan seorang ulama muda yang menaruh perhatian begitu besar bagi perkembangan generasi muda Islam, Pada tahun 1909 ia memasuki sebuah organisasi kaum muda Budi Utomo dengan harapan ia dapat memulai karirnya sebagai pengajar agama di sekolah-sekolah pemerintah.

Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi dakwah yang memberikan pengaruh cukup besar dalam perkembangan Pendidikan islam di Indonesia. Setidaknya bisa kita temukan fakta yang membuktikan argumentasi itu yaitu banyaknya Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang bergerak dalam dunia Pendidikan.

Latar Belakang Lahirnya STI

Dalam perang dunia II, ternyata Jepang berhasil merebut Indonesia dari tangan Belanda pada tahun 1942. Sementara Indonesia terseret dalam kancah perperangan tersebut. Penguasa Jepang (Dai Nippon) dengan segera mengeluarkan larangan bagi kegiatan-kegiatan pergerakan negara Indonesia. Bahkan banyak pemimpin Indonesia yang di rekrut untuk membantu administrasi pemerintahan Jepang (pemeintah Jepang di Indonesia), antara lain adalah KHA Kahar Muzzakir dan KH. Imam Zarkasyi. Gerakan perjuangan umat Islam Indonesia tak terlepas dari Langkah Jepang untuk menutup Gerakan kebangsaaan.

Partai-partai politik Islam di bubarkan kecuali MIAI. MIAI merupakan tempat bermusyawarah untuk kepentingan agama Islam dan dimaksudkan juga untuk tempat berkenalan, saling bertemu dan menjalin persahabatan agar dengan demikian dapat terwujud persatuan lahir ddan batin di antara para alim ilama dan pemimpin Islam seluruh Indonesia.

MIAI ini pun pada tahun 1943 diubah Namanya menjadi Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia, berarti Majelis Pemusyawaratan Umat Islam Indonesia). Masyumi yang merupakan pengjelemaan baru dari MIAI itu merupakan federasi dari empat organisasi-organisasi Islam yang oleh Jepang diizinkan hidup terus (sebagai organisasi sosial dan dan dakwah), yakni ; Nadhatul Ulama (NU), didirikan di Surabaya, Muhammadiyah, didirikan di Yogjakarta, Persatuan Oemat Islam Indonesia (POI), didirikan di Majalengka, Persatuan Umat Islam di Indonesia (PUII) didirikan di Sukabumi.

Perguruan Tinggi Islam

Pendidikan merupakan keseluruhan dari pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya, atau dengan kata lain Pendidikan merupakan pembelajaran yang didapatkan semenjak dilahirkan sampai menerima kematian atau wafat. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa pendidikan merupakan sebuah proses pembelajaran yang dilakukan dengan kegiatan dan juga pembiasaan. Selanjutnya di jelaskan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia yang menyebutkan bahwa Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang tujuannya agar peserta didik dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya guna mendapatkan kekuatan dan ketajaman spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan juga mengembangkan keterampilan yang di perlukannya dalam kehidupan bermasyarakatbangs dan negara.

Dalam substansinya perguruan tinggi menyelenggarakan Pendidikan tinggi dan penelitian serta pengabdian kepada masyarakat. Hal ini sejalan denga napa yang di unggakapkan Sehat Sultoni dalam bukunya Konsep Pendidikan Sang Pembaharu yang Berpengaruh dikatakan bahwa bangunan Pendidikan Islam sebagaimana dirancang oleh para pakar oendidikan Islam berdiri diatas pondasi kemanusiaan, kemasyaakatan, ilmu pengetahuan, dan akhlak budi pekerti. Oleh sebab itu, maka substansi yang harus dimiliki oleh perguruan tinggi adalah mampu menciptakan kader-kader yang bepandangan luas tentang ilmu sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Hal inilah yang menyebabkan berdirinya perguruan tinggi di Indonesia. Sejalan dengan hal di atas, Lembaga Pendidikan tinggi pada awalnya sudah ada pada zaman penjajahan Belanda.

BACA JUGA:  UI Satu-satunya Universitas di Indonesia yang Raih 5 Star Plus pada HURS 2023

Pada saat penjajahan oleh Belanda perguruan tinggi yang pertama kali didirikan hanya membidangi masalah Kesehatan, Hukum, dan Teknik. Selanjutnya pada masa awal penjajahan Jepang sampai awal kemerdekaan hampir semua perguruan tinggi ditutup, kecuali perguruan tinggi kedokteran di Jakarta. Dan dua hari setelah kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesi mendirikan perguruan tinggi kedokteran (Balai Pergoeroan Tinggi Kedokteran).

Seiring berjalannya waktu dalam perkembangan perguruan tinggi di Indonesia muncullah para tokok-tokoh pembaru pendidikan Islam yang menginginkan berdirinya perguruan perguruan tinggi Islam dIndonesia. Ada dua factor yang mendasari berdirinya perguruan tinggi Islam di Indonesia, yaitu factor intern dan factor ekstren.

Faktor intern yang mendorong terwujudnya perguruan tinggi Islam di Indonesia sudah banyak berdiri perguruan tinggi umum antara lain Sekolah Tinggi Teknik di Bandung 1920, Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta pada tahun 1920, dan Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta pada tahun 1927. Kemudian factor ekstrennya yaitu respon atas kebutuhan masyarakat untuk merelasiasikan kehidupan beragama di tanah air dan masuknya pengaruh tokoh-tokoh pembaharu pemikiran Islam ke Indonesia sepeti Muhammad Abduh dan Sayyid Ahmad Khan.

Terciptanya perguruan tinggi Islam di Indonesia pada dasarnya merupakan perwujudan dan suatu cita-cita yang telah lama terkandung di hati sanubari umat Islam Indonesia. Hasrat untuk mendirikan Lembaga Pendidikan tinggi Islam itu bahkan sudah dirintis sejak zaman penjajahan. Kuatnya keinginan umat Islam untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi menemukan momentumnya Ketika hal tersebut di ajukan Satiman sebagai salah satu agenda Kongkres al-Islam II yang diadakan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1939.

STI Diubah Menjadi UII

Pada bulan November 1947, STI dikembangkan menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) mengasuh empat fakultas yaitu agama, hukum, Pendidikan dan ekonomi yang dibuka secara resmi pada tanggal 10 Maret 1948 bertepatan dengan 27 Rajab 1367 H. Perkembangan berikutnya adalah Fakultas Agama Universitas Islam Indonesia dinegerikan menjadi Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN).

Panitia perbaikan STI menjadi UII adalah KHR. Fatchurrahman Kafrawi, KH. Faried Ma’roef, KH. Malikus Suparto, Sulaiman, Mr. R. Sunandjo, DRS. A. Sigit, KHA. Kahar Muzakkir, Ustad Sulaiman, Ustad Huesein Jaja, dan Krto Sudarjo. Untuk memulai secara resmi mengubah STI menjadi UII pada bulan Maret 1948 diadakanlah acara upacara pembukaan pendahuluan yakni pembukaan kelas pendahuluan di Yogyakarta. Setelah tingkat pendahuluan resmi dibuka maka berarti segala sesuatu yang diperlukan telah dipersiapkan untuk segara meresmikan perubahan STI menjadi UII. Acara penting yang disajikan pada upacara pembukaan UII adalah pembacaan keputusan Dewan Pengurus tentang berdirinya UII, juga pidato oleh KHA. Kahar Muzakir, dan Dr. Mr. Kusumah Atmaja.

Dengan demikian STI bepusat di Yogyakarta sekarang adalah UII yang sekarang merupakan kelanjutan dan pengganti daro STI yang dibuka pertama kali di Jakarta tanggal 27 Rajab 1361 H atau 8 Juli 1945. Dengan perubahan STI menjadi UII ini, tujuan yang semula dimaksud untuk memberikan Pendidikan yang yang baik bagi calon ulama, akhirnya bergeser titik beratnya pada fakultas-fakultas non-agama yang bersifat sekuler meskipun tetap berlandaskan agama dan semangat keagamaan. Perubahan orientasi ini bukan tanpa alasan. Kehadiran sebuah perguruan tinggi swasta non-Islam di Yogyakarta yang didirikan pada bulan maret 1948 dan berkembang menjadi Universitas Gajah Mada (UGM) sejak tanggal 19 Desember 1949 memperoleh orak nasional, bukan tidak mungkin UGM ini menjadi saingan yang berat bagi UII.

Perubahan orientasi dalam UII ini berarti UII harus berkompetisi dengan Universitas lain yang secara ideologis berbeda. UII bercorak keislaman, sedangkan UGM bercorak nasionalis. Pembukaan fakultas-fakultas sekuler merupajan suatu keharusan (kebutuhan) zaman spesialis ilmu menjadi tak terhindar. Ilmu-ilmu dalam Islam jelass tidak hanya menyangkut ilmu-ilmu tetapi termasuk ilmu-ilmu umum. UII jelas dengan penuh kesadaran melakukan perubahan-perubahan ini. Perubahan itu tidak keluar dari tujuan pengembangan ilmu yang hendak dicapai STI, yaitu memadukan ilmu agama dan ilmu umum dalam suatu universitas yang mencakup ilmu-ilmu Islam.

Sampai tahun 1950, UII merupakan satu-satunya perguruan tinggi yang dimiliki umat Islam Indonesia dan cikal bakal lahirnya perguruan tinggi Islam di Indonesia pada tahun-tahun berikutnya. Dampak keikut hadiran UII ini secara keseimbangan mulai menggema pada tahun 1950-1960 yang ditandai dengan berdirinya PTIS (Perguruan Tinggi Swasta) di berbagai kota.

Perguruan Tinggi Agama Islam Negri (PTAIN)

PTAIN ini diresmikan pada tanggal 26 September 1951 dihadiri oleh Menteri Agam RI. A. Wahid Hasyi. Penyelenggaraan PTAIN selanjutnya diatur dengan peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri PP&K tertanggal 21 Oktober 1951 yang ditandatangani oleh A. Wahid Hasyim dan Mr. Wongsonegoro.

Sebagai peningkatan kualitas sumber daya manusia kemudian juga didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta pada tanggal 1 Juni 1957, dengan visi : “Guna mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri yang akan mencapai ijazah Pendidikan semi-akademi dan akademi untuk dijadikan ahli-didik agama ada pada sekolah-sekolah lanjutan, baik umum, maupun kejuruan dan agama.

Kelahiran IAIN

Perkembangan PTI tidak berkembang disitu, setelah memperhatikan situasi soasial kemasyarakatan waktu itu, PTAIN dan IDIA akhirnya dilebur menjadi satu lembaga PTI dengan nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang diresmikan pada tanggal 24 Agustus 1960 di Yogyakarta.

BACA JUGA:  Program Beasiswa BAZNAS Depok Hantarkan Tiga Mahasiswa STEI SEBI Juara Dua Tingkat Nasional

Setelah STI menjadi UII, maka ada sedikit pergeseran, jika semula penekanannya pada ilmu agama dan kemudian berubah penekanan pada ilmu umum. Setelah berdirinya PTAIN dan ADIA dan kemudian menjadi IAIN, maka Visi akademik lebih berfokus pada pengembangan ilmu agama. Bahkan secara tegas disebutkan bahwa perguruan tinggi itu berkiblat pada Universitas Al-Azar Mesir.

Melalui Visi Akademik ini jelas bahwa IAIN merupakan PTI yang berkonsentrasi dalam ilmu agama tetapi sudah mulai memberi perhatian pada ilmu umum yang dalam statute tersebut disebut dengan kalimat “ilmu lain yang terkait”. Kecenderungan ini bukan monopolu IAIN Suna Kalijaga tetapi juga menjadi visi akademik sejumlah IAIN lainnya.

Kemunculan Universitas Islam Negeri (UIN)

Perubahan relatif fundamental mulai muncul dengan lahirnya Universitas Islam Negeri (UIN). UIN ini merupakan hasil transformasi IAIN yang secara kelembagaan berupa Institus menjadi Universitas hingga kini telah terdapat 17 UIN dan 23 IAIN. Sebagai sebuah lembaga Universitas, UIN tidak hanya menekuni ilmu agama tetapi juga ilmu umum. Prodi-prodi ilmu agama berada di bawah nauangan Departemen Pendidikan Nasional.

Perkembangan ini menarik untuk dicemati, karena memberi gambaran semakin jelas pentingnya “pendididkan satu atap” yang sudah didengungkan sejak lama oleh sejumlah pakar penddikan di Indonesia. Apabila pemerintah sudah berhasil menjadikan “satu atap” Peradilan Agama dengan Peradilan Umum (juga peradilan lainnya), maka tinggal diteruskan kearah “pendidkan ssatu atap”. Sehingga dapat terhindar dari kebingungan biokrasi sebagaimana dialami selama ini. Perkembangan terakhir dari PTI yang berupa UIN tersebut bukan merupakan hasil dari pergulatan Panjang umat Islam di Indonesia.

Kota Jogja sebagai perjuanagn dan pusat Pemerintah Republik Indonesia diberi penghargaan dengan menetapkan kota Yogyakarta sebagai kota universitas. Berkenaan denganitulah didirikan di Yogyakarta Universitas Gajah Mada yang tertuang dalam peraturan Permerintah Nomor 37 tahun 1950 tertanggal 14 Agustus 1950 yang di tanda tangani oleh Assat sebagai pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia.

Sehubung dengan itu pula kepada umat islam diberikan pemerintan pula Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang di negerikan dari Fakultas Agama Universitas Islam Indonesia yang diatur dalam peraturan pemerintah Nomor 34 Tahun 1950. Sedangkan peraturan pelaksanaannya diatur dalam peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan No.KL/I/14641 tahun 1951 (Agama) dan NO. 28665/Kab.Tahun 1951 (Pendidikan teertanggal 1 September 1951).
Tujuan PTAIN adalah untuk memberi pengajaran tinggi dan menjadi pusat memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam. Tujuan Praktis dari PTAIN adalah untuk memenuhi dan mengatasi kekurangan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam.

PTAIN mulai beproses secara praktis pada atahun 1951. Dimulailah perkuliahan perdana pada tahun tersebut dengan jumlah mahasiswa 67 orang dan 28 orang siswa persiapan dengan pimpinan fakultasnya KH. Adnan PTAIN ini mempunyai jurusan Tarbiyah, Qadha, dan Dakwah. Mata pelajarannya didampingi oleh mata pelajaran umum terutama yang berkenaan dengan jurusannya. Contohnya, jurusan Tarbiyah memerlukan pengetahuan umum mengenai ilmu Pendidikan, begitu juga pada jurusan lainnya, diberikan pula pengetahuan umum yang sesuai dengan jurusannya.

Pengertian fakultas agama UII menjadi PTAIN dianggap sebagai membentuk penghargaan negara atas Islam. Tujuab dibentuknya PTAIN adalah untuk mengatasi kekurangan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam yang sangat dipelakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Tidak adanya lembaga Pendidikan tinggi bidang ilmu agama di Indonesia mengakibatkan para lulusan madrasah dan pesantren selama kurun waktu yang lama melanjutkan studinya ke lembaga-lembaga Pendidikan tinggi agama di Timur Tengah, Makkah maupun Kairo. PTAIN dalam sudut pandang ini diharapkan dapat menjadi pusat untuk mengembangkan dan memperdalam ilmu tersebut. Mempertinggi taraf Pendidikan dalam bidang agama dan ilmu pengetahuan berarti mempertinggi taraf kehidupan bangsa Indonesia dalam lapangan kerohanian (spiritualis) ,aupun intelektualisme.

Ditinjau dari kerangka yang lebih luas dai sudut pandang kaum muslimin, pengambil-alihan fakultas agama UII oleh pemerintah (Kementrian Agama) yang kemudian menjadi PTAIN dapat dipandang positif karena dengan car aini pemeintah dapat berbuat lebih banyak bagi kemajuan umat Islam dibandingkan denga napa yang dapat dilakukan oleh universitas swasta.

Sejarah Perguruan Tinggi Islam, Digagas Sebelum Indonesia Merdeka

Sekolah Tinggi Islam diresmikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Drs. Mohammad Hatta. Sambutan Mohammad Hatta dalam peresmian itu sangat menarik jika dicermati, karena dia membayangkan sekolah Islam yang sangat inklusif.

Bagi Mohammad Hatta, Sekolah Tinggi Islam bukan hanya mengajarkan materi agama, tapi juga materi-materi umum seperti filsafat, sosiologi, dan sejarah. Sekolah Tinggi Islam beberapa tahun kemudian bertransformasi menjadi Universitas Islam Indonesia pada 1948.

“Pada masa-masa awal setelah kemerdekaan, sebenarnya dukungan pemerintah terhadap perguruan tinggi Islam tidak pernah terlihat. Baru pada 1960 Indonesia memiliki Institut Agama Islam Negeri (IAIN),” jelas Mun’im.

Pada 1960, Mun’im menyebut baru ada dua IAIN di Indonesia. Tapi, hanya dalam kurun waktu 13 tahun, IAIN mengalami perkembangan yang begitu pesat. Dari dua IAIN menjadi 113 IAIN pada tahun 1973.

“Kala itu, baru saja terbentuk dua IAIN. Tapi yang menarik yaitu bahwa pertumbuhan IAIN, meski baru saja muncul pada 1960, menjamur begitu sangat cepat. Hanya dalam waktu 13 tahun hingga 1973, di Indonesia ada 113 IAIN,” ungkap Mun’im.

Perubahan relatif fundamental mulai bermunculan dengan lahirnya Universitas Islam Negeri (UIN). UIN merupakan hasil transformasi IAIN yang secara kelembagaan berupa Institut menjadi Universitas.

Sebagai sebuah lembaga universitas, UIN tidak lagi seperti IAIN. Universitas tidak hanya menekuni ilmu agama, tetapi juga ilmu umum. Prodi-prodi ilmu agama berada di bawah naungan Kementerian Agama, sementara prodi umum berada di bawah naungan Kemendikbud-Ristek.

BACA JUGA:  UI Beri Pelatihan Ketahanan Pangan Pariwisata di Pulau Untung Jawa

Perkembangan ini menarik dicermati, karena memberi gambaran begitu jelas tentang pentingnya ‘pendidikan satu atap’ yang sudah didengungkan sejak lama oleh pakar pendidikan di Indonesia. Perkembangan terakhir dari pihak PTI yang berupa UIN itu bukan perkembangan sesaat dan tiba-tiba. Tetapi, hasil dari pergulatan panjang umat Islam di Indonesia.

“Di bawah pimpinan Prof Abdul Mukti Ali, Kementerian Agama melakukan reorientasi sistem IAIN yang sudah berkembang di berbagai wilayah. Sekitar 1975, IAIN kemudian diminimalisir hanya menjadi 13 IAIN di Indonesia,” kata Mun’im.

Gagasan Mendirikan Perguruan Tinggi Islam

Gagasan dan seruan untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam didorong oleh munculnya kesadaran bahwa umat Islam Indonesia telah jauh tertinggal dalam bidang pendidikan. Ide-ide dan gagasan mendirikan perguruan tinggi mulai bermunculan. “Pada tahun 1938 Dr. Sukiman Wirjosandjojo, di Jawa Tengah pernah menyelenggarakan musyawarah antara beberapa ulama dan kaum cendekiawan untuk membicarakan usaha mendirikan perguruan tinggi Islam. Gagasan dan seruan untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam didorong oleh munculnya kesadaranbahwa umat Islam Indonesia telah jauh ketinggalan dalam bidang pendidikan. Ide-ide dan gagasan mendirikan perguruan tinggi mulai bermunculan. “Pada tahun 1938 Dr. Sukiman Wirjosandjojo, di Jawa Tengah pernah menyelenggarakan musyawarah antara beberapa ulama dan kaum cendekiawan untuk membicarakan usaha mendirikan perguruan tinggi Islam.

Kemudian, Dr. Sukiman, melakukan follow-up dari musyawarah tahun 1938 itu dengan menyampaikan ide mendirikan lembaga pendidikan tinggi Islam ke dalam forum Mu’tamar Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) tahun 1939. Maka, dari hasil mu’tamar ini kemudian didirikanlah Perguruan Tinggi Islam di Solo yang dimulai dari tingkat menengah atas dan diberi nama IMS (Islamische Midelbare School)”.

Tetapi, perguruan tinggi tersebut tidak bertahan lama, karena hanya dapat bertahan sampai pada tahun 1941 dan kemudian berhenti dan ditutup karena terjadi Perang Dunia II. Sekalipun, pada saat itu institusi tersebut didirikan tidak dimaksudkan untuk sementara, tetapi ternyata secara pelan-pelan instistusi-institusi tersebut dalam perkembangannya melemah dan sampai akhirnya terhenti sama sekali apabila dikaitkan dengan situasi dan kondisi politik yang berpengaruh pada saat itu. Perguruan Tinggi Islam yang didirikan itu dikatakan belum memiliki ruh atau jiwa persatuan, karena PTI yang ada dan berkembang sampai waktu itu umumnya didirikan oleh organisasi Islam setempat yang kegiatannya terpisah dari organisasi Islam lainnya, seperti PTI Muhammadiyah, PTI Santi Ashrama, dan lain sebagainya. Walaupun corak keterpisahan itu tidak pernah menimbulkan pertentangan antara satu dengan yang lainnya, tetapi jelas kekuatan pendukungnya tidak sekuat seandainya didirikan oleh berbagai organisasi Islam seperti STI yang didukung oleh sebagai lembaga Islam yang ada. Sedangkan Perguruan tinggi yang sudah bercorak persatuan dari umat Islam adalah perguruan yang didirikan berdasarkan hasil mu’tamar MIAI di Solo, namun tidak bertahan lama, karena pada tahun 1941 terpaksa berhenti disebabkan oleh situasi politik, yaitu pecahnya Perang Dunia II.

Panitia Perencanaan Berdirinya Perguruan Tinggi Islam

Keputusan mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu :

Pertama, kemerdekaan negera Indonesia kelak pasti meminta pengisian intelektual Islam, calon-calon pemimpin yang sanggup memimpin negara, menggantikan pemerintah kolonial penerus generasi yang akan datang.

Kedua, diperlukan satu perguruan tinggi yang dapat menghimpun keserasian antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum.

Ketiga, diperlukan satu perguruan tinggi yang dimiliki oleh seluruh umat Islam yang berlandaskan ajaran-ajaran Islam dan merupakan wadah persatuan seluruh umat Islam dalam usaha menanggulangi pengaruh kehidupan Barat yang dibawa oleh penjajah”

Keempat, pengaruh kebangkitan Nasional dan kebangkitan dunia Islam pada umumnya yang melahirkan gerakan-gerakan melawan penjajah dengan memakai sistem modern, yang dimulai dengan berdirinya Syarikat Dagang Islam (1904), Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (NU) (1926), Jamiyatul Washiliyah (1930), Persatoean Oemat (1915), Musyawarah Thalibin (1932), dan lain-lain.

Dari pemikiran, ide-ide, dan gagasan-gagasan di atas, maka sebagai followup dari keputusan untuk mendirikan STI. Maka pada bulan April 1945 Masyumi menyelenggarakan pertemuan di Jakarta dengan mengundang para ulama dari berbagai Perserikatan Islam serta para intelektual dan unsur pemerintah yaitu Kementerian Agama Pemerintah Dai Noppon Jepang.

Kemudian yang hadir dan ikut mengambil keputusan konkrit untuk mendirikan STI pada pertemuan tersebut, adalah :

  • Dari Pengurus Besar NU, KH.Abdul Wahab, KH. Bisri Syamsuri, KHA. Wachid Hasyim, KHA.Masykoer, dan K. Zainul Arifin.
  • Dari Pengurus Besar Muhammadiyah, Ki. Bagus Hadikusumo, KHA. Mas Mansyur, KHA. Hasyim, KH.Faried Ma’roef, KH. Abdul Mukti, KH.M. Junus Anis, dan Katosoedarmo.
  • Dari Pengurus Besar Persatoean Oemat Islam, KH.Abdul Halim dan Moh. Djuanaidi Mansur.
  • Dari Pengurus Besar Persatuan Ummat Islam Indonesia, KH. Ahmad Sanusi dan KH. Zarkasji Somaatmadja.
  • Dari Kalangan Intelektual dan para Ulama, Dr. Satiman Wirdjosandjojo, Dr. Soekiman Wirjosandjojo, Wondoamiseno, Abikusno Tjokrosujoso, Anwar Tjokroaminoto, Mr. Moh. Roem, Baginda H. Dahlan Abdullah, dan KH. Imam Ghazali.
  • Dari Departemen Agama Dai Nippon Jepang, KHA. Kahar Muzakkir, KHR. Moh. Adnan, dan Ustadz Imam Zarkasji.

Maka, apabila dilihat dari unsur-unsur organisasi yang hadir, forum musyawarah saat itu sudah cukup refresentatif untuk mewakili putusan-putusan yang dapat mencerminkan kehendak seluruh umat Islam Indonesia tanpa membedakan organisasi atau golongan.

Pendidikan tinggi Islam di Indonesia telah berlangsung sejak dibukannya Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta pada bulan juli 1945 menjelang Indonesia merdeka. Sejak saat itu dinamika dan perkembangan Pendidikan Tinggi Islam dimulai. Setelaj terbentuknya STI berubah menjadi UII (Universitas Islam Indonesia). Perkembangan berikutnya fakultas agama UII dinegerikan menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri), kemudian fase berikutnya muncullah IAIN dan STAIN, selain itu muncul pula Pendidikan tinggi Islam swasta, baik berbentukuniversitas, institut, maupun sekolah.

Ahmad Fakhri, Nur Intan, Isra Septy, Muhammad Iqbal Alfarizi
Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka

 

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait