Daftar Isi
Apa itu Beauty Privilege?
Beauty Privilege adalah artinya mereka yang dianggap menarik menurut standar kecantikan yang ada di masyarakat diberi keuntungan, dan diberi banyak kesempatan yang tidak dimiliki oleh masyarakat umum yang dianggap tidak menarik secara sosial.
Kita semua menyadari hak istimewa ini, dan menurut beberapa penelitian serta investigasi ilmiah telah menunjukkan bahwa lingkaran sosial atau profesional telah membuktikan bahwa penampilan fisik mempengaruhi kehidupan sosial.
Jadi tidak heran jika kita semua pasti pernah menyaksikan dari waktu ke waktu bahwa sering menemukan seseorang yang lebih menawan, sering diperlakukan jauh lebih baik dalam ruang lingkup sosialnya.
Seperti peningkatan popularitas, nilai yang lebih tinggi, pengakuan pekerjaan yang lebih tinggi, dan kemajuan karir. Selain itu, saat ini di job portal yang sering dijumpai pada halaman Internet, sudah banyak yang menulis ‘good-looking’ dalam poster lowongan pekerjaan mereka.
Meskipun begitu, beauty privilege ini bervariasi di berbagai belahan dunia. Namun, di Indonesia, standar kecantikan seringkali didasarkan pada stereotip fisik orang Eropa seperti memiliki kulit putih, tubuh langsing, dan hidung mancung.
Tetapi mengetahui bahwa ini adalah hak istimewa bagi mereka yang sesuai dengan standar kecantikan masyarakat, kita harus mengakui bahwa perlu membongkar cara kerja dunia.
Ini semua tentang kompetensi, dan profesionalisme. Karena setiap orang berhak atas perlakuan, dan peluang yang sama serta dukungan karena mereka harus dinilai dari banyak aspek, salah satunya sikap dan keahlian.
Atau juga sama hal nya hak istimewa berupa tampilan fisik yang menawan, entah bawaan dari lahir, perawatan rutin seperti pemakaian skin care, hingga bantuan operasi dokter.
Banyak yang berpikir bahwa mereka yang dianggap lebih menarik (menurut standar kecantikan yang diterima masyarakat) memiliki kelebihan di dunia, dan diberi banyak kesempatan yang tidak dimiliki orang biasa.
Namun demikian, berbagai penelitian dan survei ilmiah menunjukkan bahwa penampilan fisik kita berhubungan langsung dengan seberapa baik kita diterima secara sosial dan profesional oleh orang lain.
Beauty privilege dapat menentukan kualitas hidup kita, terlepas dari kepribadian, keterampilan, dan bakat yang dimiliki. Selain itu, lebih mudah untuk dikenal sebagai lookism, biasa didefinisikan sebagai prasangka atau diskriminasi berdasarkan penampilan fisik dan terjadi dalam berbagai pengaturan, termasuk kencan, sosial, dan tempat kerja.
Dan ketika datang ke orang-orang istimewa yang cantik, mereka umumnya diperlakukan lebih baik daripada yang lain karena memiliki fisik yang menawan.
Mitos atau Fakta?
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa realitanya kualifikasi pada lowongan kerja di zaman sekarang mengacu pada tampilan fisik yang menawan. Akan tetapi, maksudnya adalah penampilan yang rapi dari segi ketepatan memilih warna pakaian, tatanan rambut, dan lain-lain.
Good-looking yang dimaksud bukan mengacu pada kulit yang harus berwarna cerah, memiliki bola mata coklat dan berhidung mancung, serta kriteria fisik lainnya yang sering dipikirkan banyak orang.
Namun, biasanya perusahaan yang membutuhkan karyawan dengan penampilan fisik dengan embel-embel ‘good-looking’ merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan langsung kepada masyarakat.
Contohnya sales promotion girl atau yang dikenal sebagai SPG, barista, dan pekerjaan sejenisnya. Karena faktanya juga, masih banyak perusahaan dan jenis pekerjaan yang tidak memperdulikan hal itu.
Seperti copywriter, data analis, dan pekerjaan sejenisnya yang tidak ada hubungannya langsung dengan customer atau di depan kamera. Jadi, beauty privilege tidak 100% benar bahwa itu merupakan aspek untuk segera mendapatkan pekerjaan impian.
Karena dalam dunia kerja sesungguhnya, skill dan sikap yang lebih utama. Bagaimana kamu paham dengan posisi yang kamu lamar, pemecahan masalah, manajemen waktu, dan sebagainya. sebagainya.
Apa yang bisa dilakukan?
Beauty privilege tampaknya sudah tertanam dalam masyarakat kita, para peneliti menyarankan bahwa cara utama untuk melawan beauty privilege dengan menerima diri sendiri secara utuh. Berikut 3 hal yang bisa kamu lakukan, yaitu:
1. Mulai belajar menerima diri sendiri
Kamu mungkin merasa bahwa tidak sesuai dengan beauty privilege menurut ruang lingkup sosial, tapi cobalah untuk perhatikan dirimu baik-baik karena pasti akan ada minimal satu yang kamu sukai.
Mungkin kamu merasa punya mata yang cantik, rambu sehat, dan sudut bagian tubuh lainnya. Selain itu, kamu bisa menerapkan metode law of attraction setiap malam untuk mengembangkan rasa percaya diri. Berbisik pada dirimu sendiri, bahwa kamu berharga.
2. Pola hidup sehat
Kamu bisa mulai dengan perawatan wajah dengan rutin, memilih kandungan skincare yang cocok dengan tipe kulitmu, dan menggunakan tabir surya. Jangan lupa untuk konsumsi makanan sehat, seperti kaya akan protein dan vitamin.
Untuk membentuk tubuh yang ideal gak harus ke gym kok, cukup olahraga di rumah aja dengan minimal 2 kali dalam seminggu jika waktu kosongmu sedikit. Kamu juga bisa pilah-pilih baju model apa yang cocok dengan bentuk tubuhmu.
Dengan pola hidup yang seperti itu, tidak hanya membuatmu lebih menarik tapi juga bermanfaat untuk kualitas hidup beberapa tahun ke depan.
3. Bahasa tubuh
Bahasa tubuh atau yang biasa disebut dengan body language merupakan cara penyampaian kamu dalam ruang lingkup publik, semakin kamu bagus dalam menunjukan body language maka semakin terlihat jauh lebih menarik.
Ini juga mempengaruhi saat kamu interview offline, pada saat kamu masuk ke dalam ruangan, dan cara menyampaikan informasi mengenai diri sendiri kepada HRD akan menjadi tambahan nilai jika semua yang kamu tunjukan dengan rasa percaya diri.
Percaya diri di sini bukan berarti kamu menjawab dengan asal pertanyaan yang mungkin tidak kamu ketahui. Kamu bisa mulai dengan berdiri tegak pada saat berjalan, maupun duduk serta perbanyak senyum.
Beauty Privilege Mirip Nepotisme
Adanya perlakuan khusus bagi perempuan yang berwajah rupawan dapat ditemukan dalam contoh nyata di dalam suatu tempat pelayanan publik. Hal seperti ini sebenarnya hampir sama dengan nepotisme, yaitu memberikan keistimewaan, keuntungan, dan diutamakan dalam pelayanan, bedanya, jika nepotisme dilakukan atas dasar saling mengenal dekat atau bahkan masih ada hubungan kekerabatan.
Sedangkan umumnya beauty privilege terjadi pada orang-orang yang tidak saling mengenal secara pribadi, dan mayoritas dilakukan oleh lawan jenis. Misalnya perlakuan istimewa yang diberlakukan satpam bank terhadap perempuan cantik, entah dengan tujuan untuk menyenangkannya, ataupun mendapatkan atensi.
Karena, secara psikologis, seseorang akan cenderung berbuat baik ketika hatinya sedang berbahagia, salah satu hal yang dapat membuat hati bahagia atau menaikkan mood yaitu kebahagiaan yang lahir secara visual, yaitu melihat paras lawan jenis yang rupawan.
Dalam instansi pendidikan, stigma “beauty privilege” juga marak terjadi, dapat disandang oleh tenaga pendidik maupun siswi yang cantik. Berdasarkan Jurnal Blinded by Beauty: Attractiveness Bias and Accurate Perceptions of Academic Performance.
Para ilmuwan menemukan bahwa kebanyakan orang yang berpenampilan menawan mempunyai prestasi yang lebih banyak dibandingkan siswa-siswa yang punya penampilan kurang menarik.
Dari situ, mayoritas guru yang masuk dalam sampling di riset ini selalu memperlakukan muridnya yang lebih menarik perumpamaan “anak emas”, karena mereka selalu berharap muridnya itu bisa membawa prestasi lebih.
Beauty Privilege di Lingkungan Pendidikan
Namun, tidak sedikit munculnya tindak pelecehan dalam instansi pendidikan yang dilakukan guru terhadap murid yang berawal dari perlakuan istimewa tersebut.
Kasus yang banyak terjadi yaitu adanya ketertarikan guru terhadap murid yang disertai keuntungan serta ancaman dibaliknya, yaitu penawaran diberikannya nilai yang bagus.
Namun, harus menuruti kemauan guru yang berupa ajakan untuk melakukan hal-hal yang bersifat sensual yang tidak seharusnya dilakukan tenaga pendidik terhadap siswa.
Dari kasus ini dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak selamanya menjadi cantik dan mendapatkan “beauty privilege” itu menyenangkan.
Namun, ada sisi gelap yang dapat membahayakan jika tidak memiliki keyakinan dan benteng diri yang teguh, serta kurangnya pendidikan seks usia dini.
Contoh lainnya yaitu dalam dunia kerja, adanya kualifikasi diutamakan penampilan yang menarik menujukkan adanya tuntutan pada pelamar untuk berpenampilan sebaik mungkin.
Terlebih jika memiliki paras asli yang cantik. Otomatis hal tersebut akan menyebabkan pelamar yang berwajah biasa saja akan lebih mudah tersingkir.
Berkemungkinan kecil untuk diterima, bahkan tanpa mempertimbangkan CV dan persyaratan yang lain.
Kenyataan tersebut yang membuat masyarakat menciptakan stigma baru yaitu “Dunia kerja memang keras”, selain dari persaingan yang ketat, tidak adanya rasa kemanusiaan, individualisme, dan perlakuan istimewa pada yang good looking, serta perlakuan tidak mengenakkan yang sering diterima oleh karyawan lain yang tidak memiliki beauty privilege.
Dalam perekrutan pegawai, meskipun sebuah perusahaan lebih mengutamakan kecerdasan dan attitude. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa daya tarik fisik memang memiliki kontribusi dalam membuat karir seseorang menjadi lancar.
Keuntungan dan Kerugian Beauty Privilege
Sebab, berdasarkan riset, jika seseorang memiliki keunggulan dalam fisiknya, itu cenderung menunjukkan bahwa dia adalah orang yang sehat, cerdas, dan memiliki kepribadian yang baik. Maka dari itulah banyak perusahaan yang memberikan harapan besar pada mereka untuk memiliki etos kerja yang baik.
Dari sini pun dapat ditarik kesimpulan adanya beban tersendiri untuk mereka yang memiliki beauty privilege.
Yaitu mereka memiliki beban pikiran untuk memenuhi harapan dan tuntutan perusahaan. Di mana hal ini dapat menyiksa dirinya apabila dia tidak benar-benar memiliki cara kerja yang baik dan ide yang cemerlang.
Adanya stigma penyandangan “beauty privilege” untuk seseorang, tentunya memiliki dampak, yaitu dampak positif maupun negatif. Bahwasanya segala sesuatu yang ada dalam kehidupan selalu ada sisi gelap dan terangnya.
Sisi positifnya yaitu orang lain akan termotivasi untuk terus merawat diri, memperhatikan penampilan. Mereka sadar bahwa hal tersebut merupakan wujud seseorang dalam menghargai dirinya, dan memudahkan segala urusan hidup.
Positif dan Negatif
Tentunya hal positif sangat dirasakan bagi mereka yang menyandangnya, yaitu orang-orang dengan paras rupawan. Selain itu, adanya stigma-stigma lain yang terus bermunculan di masyarakat bahwa mengandalkan tampang saja tidak cukup.
Maka mereka akan termotivasi untuk mengasah soft skill dan hard skill serta etika. Sehingga akan terbentuk satu jiwa manusia yang berkualitas baik dari penampilan luar, berintegritas, dan beretika yang baik.
Dampak negatifnya yaitu berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, bahwa dengan adanya stigma tersebut sangat merugikan orang yang berpenampilan biasa, atau bahkan jauh dari kata menarik.
Padahal belum tentu mereka tidak memiliki bakat dan pemikiran yang cemerlang, walaupun fisiknya kurang memenuhi standar kecantikan di mata masyarakat.
Adanya beauty privilege, masyarakat tidak sadar telah menyelewengkan Hak Asasi Manusia untuk mendapatkan perlakuan yang sama, baik di mata hukum, maupun dalam mendapatkan pelayanan publik.
Hal itu juga sangat tidak sesuai dengan sila ke 5 dalam pancasila yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan adanya kenyataan hidup yang begitu keras dalam masyarakat.
Sehingga banyak orang yang memplesetkan bunyi sila tersebut menjadi “Keadilan sosial bagi rakyat yang good looking”.
Terdengar sangat menggelitik, namun sesuai dengan fakta yang terjadi dalam lingkup masyarakat luas.
Ujianti Eprilia Putri