Awas, terjadinya Sick Building Syndrome saat WFH!

Hingga 3 Januari 2021, Indonesia memiliki sekitar 765 ribu kasus terkonfirmasi positif dan 22.734 orang meninggal karena COVID-19, dan diprediksi akan terus bertambah jika tidak dilakukan tindakan pencegahan yang efektif. Untuk itu pemerintah mengeluarkan pedoman – pedoman teknis untuk melawan pandemi covid ini , diantaranya adalah mengisolasi diri di dalam rumah dan bekerja dari rumah (work from home/WFH). Kehadiran seperangkat kebijakan ini berdampak pada kondisi sosial, maupun fisik dan psikologis.

Pada pertengahan bulan Maret 2020—di mana outbreak COVID-19 pertama kali di Indonesia—pemerintah mengumumkan peraturan yang mewajibkan masyarakat tidak keluar rumah dan bekerja dari rumah (work from home). Semua pekerja didorong untuk bekerja dari rumah, kecuali mereka yang harus berada di luar dengan alasan yang masuk akal. Sayangnya, tidak semua pekerja dapat menciptakan ruang kerja yang fungsional dan nyaman di rumahnya. Hal tersebut memungkinkan munculnya masalah produktivitas karena terdapatnya hubungan antara desain bangunan terhadap kesehatan dan kesejahteraan fisik maupun psikologis.

Tidak banyak desain bangunan rumah di Indonesia yang memperhatikan dampak Sick Building Syndrome (SBS) pada kesejahteraan, kesehatan, dan produktivitas penghuninya. SBS digunakan untuk menggambarkan situasi yang mana penghuni gedung mengalami efek kesehatan dan ketidaknyamanan akut yang terkait dengan waktu yang dihabiskan. Walaupun gejala SBS bervariasi, beberapa gejala umum dapat ditemukan seperti serak, mual, pusing, iritasi kulit, malaise, gangguan pernapasan, hingga kelelahan secara psikologis. Gejala-gejala inilah yang dapat mempengaruhi kesejahteraan penghuni, atau menurunkan tingkat produktivitas mereka setelah mereka bekerja.

Kondisi bangunan yang dapat memicu munculya faktor-faktor SBS bervariasi yang dikemukakan oleh ilmuwan yang berbeda-beda juga. Akan tetapi, beberapa faktor umum dapat ditemukan, seperti: ventilasi yang tidak memadai, kurangnya sirkulasi udara, kelembaban yang tidak stabil, polusi udara, pencahayaan yang buruk, hingga faktor ergonomi lainnya. Beberapa kondisi tersebut dapat memicu hadirnya jamur dan bakteria, serta zat-zat/partikel kimia berbahaya yang tentu saja berpengaruh terhadap kondisi fisik hingga psikologis pekerja.

BACA JUGA:  Mengenal Amicus Curiae dalam Sengketa Hasil Pilpres 2024

Selain itu, SBS juga dapat menimbulkan ancaman serius pada status psikososial pekerja dengan membuat mereka merasa cemas, depresi, ketidaknyamanan lingkungan, ketegangan pekerjaan, dan mengurangi kinerja. Salah satu faktor psikososial yang diyakini efektif memicu munculnya SBS adalah lingkungan kerja yang monoton dan kondisi stress. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan tingkat produktivitas karyawan karena mereka mungkin terlepas secara mental dengan pekerjaan mereka.

Keterbatasan mobilitas masyarakat selama COVID-19 berpotensi memicu kecemasan, depresi, dan stres di masyarakat. SBS sendiri telah menarik perhatian banyak pihak karena banyak menimbulkan masalah seperti overheating, ventilasi dan kualitas udara ruangan yang buruk, hingga meningkatnya kekhawatiran atas ruangan yang ramah lingkungan. Kebijakan WFH yang mengharuskan pekerja bekerja dari rumah mengalami keadaan yang tidak nyaman karena kondisi ruangan mereka jauh berbeda dengan kantornya.

Dengan berpindahnya aktivitas kerja ke dalam rumah, kondisi rumah yang mungkin saja lembab dapat memicu munculnya penyakit pernafasan seperti asma. Tidak hanya itu, dukungan sosial dan supervisi yang rendah di dalam rumah berkontribusi pada munculnya gejala SBS. Pada aktivitas WFH, pastinya terdapat kebutuhan untuk memperbaiki lingkungan fisik dan psikososial karena konsekuensi dari situasi kerja psikososial yang buruk dapat memiliki efek yang berkepanjangan.

Tidak diragukan lagi bahwa lingkungan kerja yang nyaman berkontribusi pada kesehatan mental dan fisik para pekerja dan dalam peningkatan produktivitas. Jika pada saat kondisi normal, perusahaan ataupun negara dapat memastikan apakah ada faktor-faktor yang menyebabkan atau terkait dengan SBS, dengan memperhatikan kondisi fisik bangunannya. Akan tetapi, di masa pandemi ini, perusahaan dan negara tidak dapat hadir untuk memastikan bahwa kondisi bangunan rumah tiap-tiap pekerja terbebas dari hal tersebut.

BACA JUGA:  Majlis Ta’lim dan Jejaring Keilmuan Masyarakat Betawi

Penelitian mengenai SBS sudah banyak dilakukan, dan beberapa diantaranya menggambarkan tingkat gejala SBS yang terjadi. Gejala SBS lebih sering terjadi pada perempuan daripada pria, dan malaise adalah gejala yang paling umum dengan persentase 71,4 – 84,8%. Selain itu, menurut Rohles (1989), terdapat ≥ 20% pekerja mengalami gejala yang lega saat pulang kerja ataupun keluar dari gedung tempatnya bekerja. Selain itu, prevalensi SBS yang diteliti di beberapa negara di Asia-Pasifik menunjukkan angka yang berbeda-beda, dengan 41% di Hong Kong, 26% di Taiwan, dan 25% di Jepang.

Ketika pekerja didiagnosis dengan gejala SBS, maka diperlukan tindakan dan inisiatif tertentu yang akan menghadapi situasi tersebut. Pada masa pandemi serta kondisi kesulitan finansial saat ini, agaknya sulit jika masing-masing pekerja mendesain ulang rumahnya dengan maksud meminimalisir SBS. Tetapi, hal tersebut setidaknya masih dapat diatasi dengan cara menghirup udara depan rumah secara teratur di tengah-tengah bekerja, dan mengambil sedikit break untuk menenangkan fisik dan mental. Secara umum SBS dapat diatasi dengan pendekatan yang lebih sistematis, antara lain : menghilangkan atau memodifikasi sumber polutan, meningkatkan laju ventilasi dan dsitribusi udara, penggunaan filter udara, desain tempat kerjayang baik, dan edukasi terkait SBS kepada pekerja.

Kesimpulannya, WFH merupakan solusi sementara untuk menekan laju persebaran COVID-19, dan bukan menjadi solusi permanen bagi seluruh pekerjaan. Eksposur pekerja terhadap lingkungan dalam ruangan yang tidak sehat berpotensi memicu munculnya gejala SBS. Solusi yang bijak jika pemerintah Indonesia—atau bahkan pemerintah di negara lain—mulai menerapkan sistem kerja hybrid antara WFH dan WFO (work from office).

Oleh: Rahadian Muhammad Shadik, FKM UI.

 

Referensi
Satgas Penanganan COVID-19. (03 01 2021). Peta Sebaran. Retrieved from covid19.go.id: https://covid19.go.id/peta-sebaran
Kamin, D. (2020, June 2). Relaxing Th Rules of Social Distancing. Retrieved from The New York Times: https://www.nytimes.com/2020/06/02/realestate/virus-social-distancing-etiquette-rules.html
Kent, J. (2020, June 2). COVID-19 Data Shows How Social Distancing Impacts Virus Spread. Retrieved from Health IT Analytics: https://healthitanalytics.com/news/covid-19-data-shows-how-social-distancing-impacts-virus-spread
Williams, Z. (2020, June 2). Don’t Stand So Close To Me! England’s New Rules Of Social Distancing. Retrieved from The Guardian: https://www.theguardian.com/lifeandstyle/2020/jun/02/dont-stand-so-close-to-me-the-new-rules-of-social-distancing
United States Environmental Protection Agency. (1991). Indoor Air Facts No. 4 (Revised) Sick Building Syndrome. Washington D.C: United States Environmental Protection Agency.
Sarafis, P., Sotiriadou, K., Dallas, D., & Stavrakakis, P. (2010). Sick-Building Syndrome. Journal of Environmental Protection and Ecology, 11(2), 515-522.
Ghaffarianhoseini, A., AlWaer, H., Omrany, H., Ghaffarianhoseini, A., Alalouch, C., Clements-Croome, D., & Tookey, J. (2018). Sick Building Syndrome: Are We Doing Enough? Architectural Science Review, 61(3), 99-121.
Runeson-Broberg, R., & Norbäck, D. (2013). Sick Building Syndrome (SBS) and Sick House Syndrome (SHS) In Relation To Psychosocial Stress At Work In The Swedish Workforce. International Archives Of Occupational and Environmental Health, 86(8), 915-922.
Jafari, M. J., Khajevandi, A. A., Najarkola, S. A., Yekaninejad, M. S., Pourhoseingholi, M. A., Omidi, L., & Kalantary, S. (2015). Association Of Sick Building Syndrome With Indoor Air Parameters. Tanaffos, 14(1), 55.
Rohles, F. H., Woods, J. E., & Morey, P. R. (1989). Indoor Environment Acceptability: The Development Of A Rating Scale. ASHRAE Transactions, 95(1), 23-27.
Thach, T.-Q., Mahirah, D., Dunleavy, G., Nazeha, N., Zhang, Y., Tan, C. E., . . . Car, J. (2019). Prevalence Of Sick Building Syndrome and Its Association With Perceived Indoor Environmental Quality In An Asian Multi-Ethnic Working Population. Building and Environment. 1(166), 1-8.
EPA. 1991. Indor Air Facts No.4 Sick Building Syndrome. United States : Environmental Protection Agency,