DEPOKPOS – Di balik senyum yang ditampilkan di media sosial, banyak mahasiswasebenarnya menyimpan beban mental yang berat. Tugas yang menumpuk, ekspektasi keluarga, tekanan sosial, dan ketidakpastian masa depan menjadi sumber kecemasan yang terus menghantui. Overthinking bukan lagi istilahasing—ia menjadi bagian dari keseharian banyak mahasiswa, meskipun seringdianggap sepele.
Fenomena overthinking berkaitan erat dengan tekanan sosial yang tidak terlihat. Lingkungan yang kompetitif memaksa mahasiswa untuk selalu tampil kuat, sibuk, dan sukses. Padahal, tidak semua orang memiliki daya tahan mental yangsama. Standar kesuksesan yang terus dibentuk oleh media sosial, seperti pencapaianakademik, prestasi organisasi, atau bahkan gaya hidup, semakin memperkuat rasa tidak aman.
Masalahnya, banyak dari kita justru saling membandingkan, bukan salingmendukung. Ketika melihat teman terlihat lebih ‘berhasil’, muncul perasaantertinggal yang memicu pikiran negatif.
Inilah luka tak terlihat yang perlahanmengikis kepercayaan diri. Sayangnya, isu kesehatan mental di lingkungan kampus masih sering dianggaptabu. Mahasiswa yang merasa stres atau cemas kerap takut dianggaplemahatau tidak mampu.
Padahal, perasaan tersebut valid dan perlu ditanggapi secaraserius. Sudah saatnya kampus dan lingkungan sekitar menjadi ruang amanyangmendorong keterbukaan dan empati. Konseling kampus harus lebih mudahdiakses, dan mahasiswa perlu diberi ruang untuk berbicara tanpa takut dihakimi. Kita harus mulai menyadari bahwa menjadi kuat bukan berarti memendam, tapi berani mengakui ketika butuh bantuan.
Mahasiswa bukan mesin pencetak prestasi. Kita manusia yang punya batas, punya rasa lelah, dan kadang butuh jeda. Jadi, yuk saling jaga dan validasi perasaan satu sama lain. Karena di balik overthinking yang diam-diam, adabanyak cerita yang sebenarnya butuh didengar.
Vira Afifah.