Tantangan dan Harapan pada Sistem Pengawasan Perbankan Syariah di Indonesia

Tantangan dan Harapan pada Sistem Pengawasan Perbankan Syariah di Indonesia

DEPOKPOS – Perbankan syariah nasional mencatatkan kinerja yang positif pada akhir tahun 2024. Dalam siaran pers Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa market share naik menjadi 7,44%. Perbankan syariah terus menunjukkan pertumbuhan positif, meskipun kontribusinya terhadap total aset perbankan secara nasional masih relatif kecil jika dibandingkan dengan pangsa pasar perbankan konvensional. Kompetisi ini seringkali menimbulkan tekanan bagi bank syariah untuk terus berinovasi dalam produk dan layanan mereka. Selain itu, keterbatasan sumber daya dan infrastruktur seringkali menjadi kendala bagi bank syariah dalam menghadapi tantangan ini.

Sejalan dengan tantangan yang dihadapi, risiko kepatuhan juga menjadi isu krusial dalam operasional bank syariah karena setiap produk dan layanan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah dapat menimbulkan dampak serius terhadap kepercayaan nasabah. Dalam hal ini, Dewan Pengawas Syariah (DPS) memiliki peran yang sangat penting yakni bertugas memastikan bahwa seluruh aktivitas bank sesuai dengan fatwa dan regulasi syariah yang berlaku.

Indonesia sendiri menerapkan sistem perbankan ganda (dual banking system) di mana bank syariah dan bank konvensional beroperasi berdampingan di bawah kerangka regulasi yang sama dibawah Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (Alhalimi & Andrini, 2024). BI dan OJK memiliki peran regulator terhadap perbankan syariah. Namun, secara khusus bank syariah juga diawasi oleh DPS melalui fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). DPS mempunyai wewenang untuk melakukan pengawasan aspek syariah dari operasional bank syariah serta memastikan produk-produk lembaga keuangan syariah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

BACA JUGA:  Perubahan Pola Asuh Orang Tua di Era Digital: Antara Gadget, Pendidikan dan Kedekatan Emosional

Namun, terdapat tantangan dalam proses pengawasan yang dilakukan oleh DSN-MUI, terutama terkait kapasitas sumber daya manusia yang memahami aspek-aspek teknis perbankan dan Syariah secara menyeluruh. Saat ini, kebutuhan akan tenaga pengawas yang memiliki pemahaman mendalam mengenai prinsip-prinsip Syariah dan praktik perbankan modern semakin mendesak. Kurangnya SDM yang terampil ini berpotensi memengaruhi kualitas pengawasan, terutama di tengah dinamika produk syariah yang terus berkembang.

Pada praktiknya dalam menunjang kinerja Perbankan Syariah, Dewan Pengawas Syariah (DPS) memiliki peran lainnya yaitu audit syariah. Padahal belum tentu DPS itu paham proses auditing syariah, akuntansi syariah dan operasional perbankan syariah. Audit syariah adalah suatu proses dalam memastikan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh lembaga keuangan tidak melanggar syariah atau pengujian kepatuhan syariah terhadap aktivitas bank syariah secara menyeluruh. Tujuan audit syariah adalah memastikan kesesuaian seluruh operasional bank dengan prinsip dan aturan syariah yang digunakan sebagai pedoman bagi manajemen dalam mengoperasikan bank syariah. (Minarni, 2013).

BACA JUGA:  Terjebak di Pelukan Luka: Dilema Bertahan dalam Hubungan Toxic

Menurut Jusri & Maulidha (2020) ada 3 (tiga) kompetensi untuk memaksimalkan peran dan kompetensi auditor syariah untuk menunjang kinerja perbankan syariah, yaitu: (1) Penguasaan terhadap ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perbankan syariah, seperti fiqh muamalah, perbankan konvensional, matematika, akuntansi bisnis, pemetaan risiko, teori audit, internal kontrol, manajemen risiko, akuntansi bisnis, dan hukum-hukum terkait. Kemudian, menguasai pengetahuan spesifik, seperti penguasaan standar audit syariah, pengetahuan audit, fraud awareness, memahami jenis industri atau perusahaan, dan etika profesional. (2) Mempunyai keterampilan akuntansi dan audit, seperti memahami standar akuntansi internasional yang diadopsi dengan standar akuntansi dan audit di dalam wilayah nasional, memahami teori dan praktik manajemen, mempunyai kemampuan pemahaman yang baik dalam bidang keuangan dan bisnis, dan lainnya. (3) Sebagai auditor perbankan syariah harus memiliki karakter keislaman sehingga auditor akan melakukan pekerjaan demi Allah dan tidak akan mengerjakan larangan Allah.

Pada akhirnya untuk memaksimalkan peran auditor syariah, diperlukan dukungan pemerintah dan seluruh stakeholder terkait. Sertifikasi Akuntansi Syariah (SAS) belum cukup bagi auditor syariah, karena dalam Ujian Sertifikasi Akuntansi Syariah (USAS) hanya membahas tentang teknik akuntansi syariah. Sementara auditor syariah juga membutuhkan teknik serta proses audit syariah. Dibutuhkan ujian sertifikasi khusus bagi auditor syariah yang menjamin mereka telah kompeten dan memenuhi persyaratan sebagai auditor syariah. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) hanya mengadakan USAS yang mana ini belum cukup bagi auditor syariah. Bahkan, USAS hanya menguji pengetahuan yang dimiliki, bukan kompetensi yang dimiliki oleh peserta.

BACA JUGA:  Terjebak di Pelukan Luka: Dilema Bertahan dalam Hubungan Toxic

Harapannya pada sistem pengawasan dan pengendalian perbankan syariah, diperlukan dukungan pemerintah pada investasi yang lebih besar dalam teknologi, pengembangan kompetensi SDM, serta penyelarasan regulasi antara kepentingan kepatuhan Syariah dan stabilitas keuangan nasional. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan bank syariah di Indonesia dapat semakin kompetitif dan berperan aktif dalam mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan syariah.

Hari Dwi Cahya
Mahasiswa STEI SEBI

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait