Bento, dari Bekal Jepang Menjadi Budaya Global di Indonesia

Bento, dari Bekal Jepang Menjadi Budaya Global di Indonesia

DEPOKPOS – Pernah mendengar kata bento? Di Jepang terdapat budaya yang bernama bento. Jadi bento adalah bekal makan siang yang sudah menjadi bagian dari tradisi turun temurun di Jepang. Tapi jangan bayangkan ini hanya sekadar nasi dan lauk dalam sebuah kotak. Lebih dari itu bento adalah kombinasi antara nilai gizi, estetika, dan cinta yang diracik dalam satu wadah atau kotak bekal sederhana. Secara umum, ada berbagai jenis bento di Jepang dan masing-masing mencerminkan fungsi, konteks, serta kreativitas.

Ada Makunouchi Bento, biasanya ini terdiri dari nasi, ikan panggang, acar, dan sayur, yang disusun rapi untuk makan siang orang dewasa. Lalu ada juga Ekiben, yaitu bento khas yang dijual di stasiun kereta, lengkap dengan kemasan khas daerah setempat di Jepang. Lalu ada Kyaraben, yaitu character bento yang dihias menyerupai tokoh kartun, biasanya disiapkan orang tua untuk bekal anak-anak sekolah. Ada pula Hinomaru Bento, versi paling sederhana yakni nasi putih dengan umeboshi (acar plum) di tengah, seperti bendera Jepang. Tentu saja itu semuanya bukan sekadar makanan, melainkan simbol budaya.

Bacaan Lainnya

Bento disiapkan dengan telaten, sering kali oleh seorang ibu, dengan memperhatikan kandungan gizi dan komposisi warna. Di balik susunan lauk yang tampak estetik atau rapi, terselip nilai-nilai Jepang yakni disiplin, perhatian terhadap detail, dan rasa hormat pada makanan. Budaya bento juga tak lepas dari filosofi Jepang seperti “五色” (goshiki) yaitu lima warna dalam satu kotak makan. Warna-warna ini bukan hanya untuk keindahan visual saja, tapi juga mewakili prinsip keseimbangan nutrisi. Dalam penyajiannya, bento juga mencerminkan kebiasaan disiplin dan rasa hormat terhadap makanan.

BACA JUGA:  Terjebak di Pelukan Luka: Dilema Bertahan dalam Hubungan Toxic

Namun seiring berkembangnya teknologi dan arus informasi global, budaya bento mulai menyebar ke berbagai belahan dunia. Salah satu faktor utamanya adalah media baru seperti TikTok, Instagram, dan YouTube, yang memungkinkan budaya seperti bento dengan mudah dikonsumsi dan ditiru secara massal. Kita sering kali melihat konten di media sosial seperti drama Jepang maupun anime yang tak jarang sering kali memperlihatkan budaya bekal bento. Proses ini dikenal sebagai globalisasi budaya, di mana elemen-elemen budaya dari satu negara menyebar dan berinteraksi dengan budaya lain.

Saat ini budaya bento banyak bertransformasi di negara-negara lain. Di Amerika Serikat, konsep lunch box kini banyak mengadopsi gaya penataan bento yakni rapi, berwarna, dan disesuaikan dengan preferensi anak-anak atau bahkan kadang menggunakan silicone cups dan wadah mini ala Jepang. Banyak orang tua di sana terinspirasi dari konten YouTube atau Pinterest dan media lainnya yang memperlihatkan cara menyusun bekal anak seperti kyaraben.

Di Korea Selatan, budaya bento dikenal dengan nama dosirak, yang walaupun memiliki karakter lokal, tetap menunjukkan pengaruh visual dan struktur dari bento Jepang. Di Eropa, terutama di Prancis dan Jerman sendiri, tren bekal sehat dan estetik juga semakin mengarah pada gaya bento, terutama di kalangan pecinta meal prep dan gaya hidup yang minimalis.

BACA JUGA:  Perubahan Pola Asuh Orang Tua di Era Digital: Antara Gadget, Pendidikan dan Kedekatan Emosional

Lalu seperti apa sih budaya bento di Indonesia? Di Indonesia sendiri, tren bento telah mengalami proses glokalisasi yaitu adaptasi budaya global ke dalam konteks lokal. Banyak bento kini diisi dengan menu khas Indonesia seperti tempe orek, sambal terasi, telur balado, hingga nasi kuning mini. Format visualnya tetap mengacu pada bento Jepang, tetapi isinya

menyesuaikan lidah lokal. Dampak budaya global seperti ini tidak hanya terbatas pada makanan. Ia juga memengaruhi gaya hidup, nilai estetika, dan bahkan pola konsumsi masyarakat. Anak-anak Indonesia kini tidak asing lagi dengan bento, bahkan menjadikannya bekal favorit karena tampilannya yang estetik dan menarik. Ibu-ibu di banyak daerah Indonesia juga mulai banyak yang membuat bento sebagai bentuk kasih sayang kepada anaknya.. Di sisi lain, industri makanan dan UMKM juga melihat bento sebagai peluang pasar, dengan menjual paket bekal kreatif yang terinspirasi dari budaya bento Jepang, tidak hanya menjual makanan tetapi juga tetap memperhatikan gizi dari makanan yang dijual.

Fenomena ini menunjukkan bahwa budaya global bisa menjadi sumber inspirasi positif ketika diterima dan diadaptasi secara kreatif di suatu negara. Media baru berperan penting sebagai jembatan budaya, yang memungkinkan pertukaran nilai dan gaya hidup tanpa harus bepergian secara fisik. Dalam hal ini, bento menjadi simbol kecil dari bagaimana satu elemen budaya bisa menjelma menjadi tren global atau budaya global yang relevan secara lokal.

BACA JUGA:  Perubahan Pola Asuh Orang Tua di Era Digital: Antara Gadget, Pendidikan dan Kedekatan Emosional

Budaya global kini hadir di tangan kita, lewat layar ponsel. Tapi yang membuatnya bermakna adalah ketika kita tidak sekadar meniru, tapi memberi warna lokal yang khas. Bento di Indonesia sendiri bukan hanya versi Jepang yang direplikasi, tapi versi baru yang membawa identitas tersendiri. Dari Kyoto ke Karawang, dari Tokyo ke Tangerang, kini bento telah menyeberangi batas geografis dan melebur dalam budaya populer Indonesia.

Media baru ternyata punya kekuatan menyebarkan budaya secara instan dan dekat dengan kehidupan kita. Kita bisa belajar budaya Jepang dari layar HP, tidak perlu mengunjungi secara langsung. Dan menariknya, kita tak hanya jadi penonton, tapi juga pelaku. Kita menciptakan versi lokal yang punya cita rasa sendiri.

Bento di Indonesia kini hadir di mana-mana seperti di sekolah, di convenience store, di restoran, bahkan jadi ide usaha kecil-kecilan. Ia melintasi batas budaya dan menjadi simbol keterhubungan global. Melalui bento kita tidak hanya melihat perpindahan budaya, tapi juga bagaimana identitas, kreativitas, dan kasih sayang bisa diracik bersama dalam satu kotak kecil. Dan di era media baru, hal-hal sederhana seperti ini mampu menciptakan jembatan antarbangsa dan menumbuhkan kesadaran bahwa budaya bisa saling terhubung tanpa kehilangan makna lokalnya.

Mohamad Arr Syal Raya
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB University

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait