DEPOKPOS – Hukum Agraria di Indonesia pada masa kolonial hingga pasca kolonial bisa diidentifikasi pada dua fase, yaitu Hukum Agraria Kolonial dan Hukum Agraria Nasional. Hukum Agraria Kolonial sendiri berlaku sebelum Indonesia merdeka, bahkan masih tetap digunaka setelahnya, sebelum diundangkannya UU agraria yang baru, sedangkan Hukum Agraria Nasional adalah hukum agrarian yang dikeluarakan oleh pemerintah Indonesia Tahun 1960 yaitu UUPA 1960.
Hukum Agraria pada masa Kolonial barawal pada tahun 1870an ketika pemerintahan Hindia Belanda mengumumkan akan deberlakukanya kebijakan ekonomi liberal, hal tersebut berdampak pada pemerintahan Hindia Belanda yang menjadi lebih terbuka bagi masuknya penanaman modal asing untuk masuk ke Indoneisa termasuk kepada sektor perkebunan. Masuknya sistem pertanahan kolonial ini mengubah sistem kepemilikan tanah di Indonesia menjadi bersifat dualisme yaitu peraturan agraria yang bersumber pada hukum adat yang harus bertumpang tindih dengan Hukum Agraria barat, hal ini mengakibatkan masyarakat pribumi harus tunduk pada kedua hukum yang berlaku tersebut.
Pada masa setalah proklamasi perubahan mendasar dilakukan oleh pemerintaah Indonesia terutama dalam sumber-sumber ekonominya dengan melakukan nasionalisasi aset negara, salah satunya adalah tanah. Guna menasionalsasikan aset-aset tanah tersebut pemerintah Indonesia membuat undang-undang untuk menasionalisasikan tanah perkebunan Belanda. setelah penasionalisasian aset tanah, pemerintah Indonesai membuat undang-undang pokok agrarianya sendiri untuk mengantikan undang-undang agraria yang sebelumnya masih digunakan, karena Hukum Agrarian yang dugunakan pasca kemeredekaan di indonesia susunanya sebagian besar masih didasarkan dari tujuan pemerintah kolonial yang mana susunan tersebut masih sangat merugikan bagi kepentingan bangsa Indonesia.
Dengan di undangkannya UUPA 1960 maka bangsa Indonesia telah mempunyai hukum agraria yang sifatnya Nasional baik dari segi formal maupun dari segi materilnya dan UUPA Nasional yang baru telah menjamin kepastin hukum tanah bagi rakyat Indonesia.
Hukum agraria merupakan aspek penting dalam pengelolaan sumber daya tanah dan kekayaan alam. Di Indonesia, kebijakan agraria sering kali menghadapi tantangan, baik dari segi kepemilikan, penguasaan, maupun penggunaan tanah, dan ketidak pastian hukum. Transformasi kebijakan agraria menjadi suatu keharusan untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Selain itu sejak era kolonial, penguasaan tanah di Indonesia telah menjadi sumber ketidakadilan. Kebijakan agraria yang ada sering kali tidak berpihak pada masyarakat lokal, melainkan lebih menguntungkan kepentingan perusahaan besar dan pemodal. Banyak masyarakat, terutama petani kecil dan masyarakat adat, tidak memiliki hak yang jelas atas tanah yang mereka kelola. Hal ini menciptakan ketimpangan dalam distribusi sumber daya dan sering memicu konflik agraria.
Data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) menunjukkan bahwa terdapat ribuan sengketa tanah yang belum terselesaikan. Dalam konteks ini, transformasi kebijakan agraria sangat diperlukan untuk menciptakan sistem yang adil dan berkelanjutan.
Tujuan Transformasi Kebijakan Agraria
Keadilan Sosial: Salah satu tujuan utama dari transformasi kebijakan agraria adalah menghapuskan ketimpangan dalam penguasaan tanah. Ini termasuk pengakuan hak-hak masyarakat, terutama kelompok rentan seperti petani kecil dan masyarakat adat, untuk memiliki akses yang lebih baik terhadap tanah.
Pemberdayaan Masyarakat: Transformasi kebijakan juga bertujuan untuk memberdayakan masyarakat melalui pendidikan tentang hak-hak agraria. Dengan pemahaman yang lebih baik, masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam proses hukum dan pendaftaran tanah.
Pengelolaan Berkelanjutan: Kebijakan agraria harus mendorong praktik pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan, penggunaan sumber daya alam dapat dilakukan secara bertanggung jawab.
Penyelesaian Sengketa yang Efektif: Mengembangkan mekanisme penyelesaian sengketa yang transparan dan adil sangat penting. Ini melibatkan keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian, baik melalui mediasi maupun jalur hukum formal.
Strategi Implementasi
Reformasi Regulasi: Pemerintah perlu memperbarui dan menyusun undang-undang agraria yang lebih inklusif. Regulasi harus memperhitungkan konteks lokal dan memberikan perlindungan bagi hak-hak masyarakat, terutama dalam hal penguasaan dan penggunaan tanah. Misalnya, undang-undang dapat memperkuat hak ulayat bagi masyarakat adat.
Pendidikan dan Penyuluhan: Program pendidikan dan penyuluhan harus dilaksanakan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai hak-hak agraria. Pelatihan dapat mencakup aspek hukum, pengelolaan tanah, serta strategi advokasi. Dengan demikian, masyarakat lebih siap untuk menghadapi masalah terkait tanah.
Kolaborasi Multi-Stakeholder: Membangun kemitraan antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta sangat penting. Kolaborasi ini dapat menciptakan inisiatif yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat dan penyelesaian konflik agraria. Misalnya, program-program berbasis komunitas dapat membantu masyarakat dalam mengelola tanah secara lebih efektif.
Pemanfaatan Teknologi: Teknologi informasi dapat digunakan untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam pendaftaran dan pengelolaan data tanah. Sistem informasi geografis (SIG) dan platform digital lainnya dapat membantu masyarakat mengakses informasi tentang status tanah dan hak-hak mereka.
Mekanisme Pemantauan: Mengembangkan sistem pemantauan yang melibatkan masyarakat untuk memastikan implementasi kebijakan agraria berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Ini dapat mencakup pengawasan terhadap pelaksanaan program-program agraria dan penanganan sengketa tanah.
Transformasi kebijakan agraria menghadapi berbagai tantangan, termasuk resistensi dari pihak-pihak tertentu yang diuntungkan oleh ketidakadilan yang ada. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat mengenai hak-hak agraria juga menjadi hambatan. Namun, dengan komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan dan partisipasi aktif masyarakat, harapan untuk mencapai keadilan agraria dan kesejahteraan bersama bukanlah hal yang mustahil.
Aryanto Adjie Dinata