Sengketa Hak Ulayat pada Sektor Agraria yang Tak Kunjung Berujung

Sengketa Hak Ulayat pada Sektor Agraria yang Tak Kunjung Berujung

DEPOKPOS – Hak ulayat merupakan seperangkat hak dan kewajiban masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah di wilayahnya. Secara filosofis, hak ulayat lahir dari warisan nenek moyang yang menganugerahkan tanah kepada kelompok masyarakat hukum adat tertentu. Adapun objek dari hak ulayat ialah wilayah masyarakat adat teritorial yang bersangkutan. Atas dasar ini, hak ulayat dapat dipahamai sebagai hak atas tanah yang dimilik oleh masyatakat hukum adat secara komunal.

Secara historis, identifikasi hak ulayat masyarakat adat dilakukan dengan mengklaim suatu tanah menjadi milik komunal. Klaim kepemilikan tanah tersebut tidak mempunyai konsep res nullius. Dalam perkembangannya, identifikasi hak ulayat masyarakat hukum adat mempunyai ketentuan khusus dengan syarat-syarat tertentu. Pengakuan terhadap hak ulayat tersebut diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU No.5/1960). Pasal 3 UU No.5/1960 pada pokoknya menentukan mengenai pelaksanaan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat.”

Bacaan Lainnya

Kebijaksanaan terhadap hak ulayat secara garis besar meliputi: (i) penyamaan persepsi mengani “hak ulayat” yang diatur dalam Pasal 1 UU No.5/1960; (ii) kriteria eksistensi hak ulayat yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 5 UU No.5/1960; dan (iii) kewenangan masyarakat hukum adat atas hak ulayat yang diatur pada Pasal 3 dan Pasal 4 UU No.5/1960. Pada tataran praktik, pengakuan terhadap hak ulayat tersebut telah mempunyai landasan yuridis namun tetap dibatasi dalam peranannya.

BACA JUGA:  Generasi Z Bisa Terbebas dari Depresi

Sengketa Hak Ulayat sebagai Konflik Agraria

Pada UU No.5/1960, pengakuan atas hak ulayat dilakukan dengan beberapa syarat berupa (i) sepanjangan kenyataannya masih ada; sesuai dengan kepentingan nasional yang berdasarkan kesatuan dan persatuan; dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan mengenai pengakuan a quo dalam penjelasannya berorientasi pada pemberian ganti rugi atas digunakannya tanah ulayat untuk keperluan negara sehingga cenderung bersifat semu. Tipe pengakuan terhadap hak ulayat sebelumnya tidak jarang menjadi salah satu faktor timbulnya sengketa hak ulayat yang berkenaan dengan konflik agraria. Dikatakan demikian sebab, sengketa hak ulayat yang lazimnya terjadi karena ada perselisihan mengenai hak-hak ulayat sejalan dengan hakikat konflik agraria yang berhubungan dengan urusan pertanahan. Telebih lagi, dari waktu ke waktu regulasi pemanfaatan dan pengelolaan tanah cenderung semakin menyingkirkan hak ulayat masyarakat hukum adat. Keadaan demikian tentunya semakin menghambat realisasi hak masyarakat hukum adat.

Merilis data dari Konsorium Pembaharuan Agraria (KPA) tahun 2023, diketahui bahwa dari tahun 2015 hingga 2023 terdapat 2.939 konflik pada 6.3 juta hektar tanah yang mengusur 1.75 juta keluarga petani, buruh tani, nelayan dan masyarakat adat di desa maupun dikampung-kampung. Berkaitan dengan sengketa hak ulayat, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 2023 memaparkan jika dalam rentang waktu tahun 2017 hingga tahun 2022 terjadi 301 perampasan wilayah adat seluas 8,5 juta hektar. Luas tersebut merupakan 41% dari 20,7 juta hektar wilayah adat yang sudah dipetakan oleh masyarakat adat. Persoalan lain berkenaan dengan hak ulayat yang dirilis oleh KPA ialah dalam 10 tahun terakhir, tanah adat seluas 276.823 hektar belum mendapat perlindungan maupun pengakuan atas wilayah adatnya. Mirisnya, konflik tersebut seakan-akan mempunyai sifat untuk diwariskan dari masa ke masa sebab mengalami peningkatan tanpa diimbangin dengan upaya penyelesaian.

BACA JUGA:  Dampak dari Kurangnya Ruang Kreatif dan Kebebasan Bermain pada Anak di Era Digital

Ketika mempertahankan hak atas wilayahnya, masyarakat hukum adat juga mendapat tindakan tidak humanis. Pertama, AMAN menyebutkan jika pada tahun 2017 hingga 2022 terjadi kriminalisasi terhadap 672 masyarakat hukum adat. Jumlah tersebut merupakan bagian dari 2.442 kriminalisasi konflik agraria dari tahun 2015 hingga tahun 2023. Kedua, pada skala yang lebih besar, konflik agaria yang didalamnya termasuk sengketa tanah ulayat juga mengalami letusan dengan terjadinya dehumanisasi berupa penganiayaan penembakan yang menimbulkan beberapa korban jiwa.

BACA JUGA:  Terjebak di Pelukan Luka: Dilema Bertahan dalam Hubungan Toxic

Sikap Arif

Dalam rangka merespon konflik agraria khususnya sengketa hak ulayat, pemerintah perlu memperhatikan proses penyelesaian yang tidak hanya berpatok pada aturan hukum yang berlaku melainkan menggunakan pendekatan yang humanis. Mendorong penyelesaian konflik agraria berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) dapat menjadi alternatif resolusi konflik sistematif. Pendekatan berbasis pada HAM dilakukan dengan mengutamakan mediasi. Pada sisi yang lain, penyelesaian konflik juga dilakukan dengan merealisasikan Standar Norma dan Pengaturan atas Tanah dan Sumber daya alam yang sebelumnya telah diterbitkan pada tahun 2021. Realisasi SNP urgen dilakukan sebab didalamnya memuat ketentuan menganai penghirmatan, perlindungan dan pemenuhan HAM atas tanah dan sumber daya alam.

Pada aspek yang lebih luas, upaya penyelesaian konflik perlu dilakukan melalui transformasi dan distribusi data. Kegiatan tersebut dapat melibatkan peran masyarakat berupa perempuan dan pemuda untuk mengerjakan pendataan terhadap objek-objek tanah. Proses transformasi dan distribusi ini dilakukan secara terbuka sehingga segala informasi dapat diakses dan memberi pemahaman kepada masyarakat luas mengenai kompleksitas konflik agraia struktural dan situasi yang dihadapi oleh masyarakat.

Fitri Nuraini, Universitas Pamulang

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait