Tradisi Mudik: Pespektif Sisiohistoris Antropologis

Tradisi Mudik: Pespektif Sisiohistoris Antropologis

Oleh : Murodi al-Batawi

Masyarakat Indonesia, mungkin juga dunia, biasanya kaum urban, menjelang Hari Raya, seperti Hari Raya Idul Fitri, Natal dan Tahun baru, mereka hampir selalu merayakannya bersama keluarga di kampung halaman. Mereka ingin berkumpul bersenang-senang dengan keluarga besar untuk merayakannya.

Bacaan Lainnya

Bagi kaum urban, pulang kampung atau mudik istilahnya, menjadi hal wajib dilakukan, baik mereka yang sukses, biasa saja, bahkan mereka yang belum sukses. Mereka rindu keluarga dan kampung halaman. Pada saatnya kaum urban ini melakukan mudik. Karenanya, kemudian mudik menjadi sebuah tradisi yang terjadi di hampir setiap hari raya, natal dan tahun baru.

Kata mudik berasal dari kata udik yang berarti hulu atau ujung. Mudik juga diartikan oleh komunitas masyarakat Betawi berarti kampung atau desa. Lawan kata udik adalah ilir atau hilir. Dahulu, masyarakat Melayu atau Betawi biasa pergi berdagang setiap pagi hari dan mereka baru pulang sore atau malam hari. Mereka pergi ke hulu atau hilir untuk menjual barang dagangan yang mereka produksi di kampung halaman atau di desa mereka. Hulu atau hilir, orang Betawi menyebutnya Milir, merupakan pusat perdagangan di kota.

BACA JUGA:  Jamkrindo Syariah Salurkan Zakat Usaha Rp902,3 Juta

Para petani dan pedagang yang berasal dari udik, selalu pergi ke kota sebagai pusat perdagangan atau hulu. Mereka memandang, sebagai orang udik, wajib hukumnya untuk menjual barang dagangan mereka di kota atau hulu, karena di sana banyak saudagar kaya yang akan membeli barang dagangannya. Pada sore atau menjelang malam hari, dengan membawa barang belanja kebutuhan yang mereka beli di hulu, mereka kembali ke udik atau mudik ke rumah di kampung halaman.

BACA JUGA:  Menjemput Malam Lailatul Qadar

Kini mudik merupakan kegiatan yang dilakukan masyarakat untuk pulang kampung, menjelang hari raya, natal dan tahun baru. Dan bahkan ada yang mudik di luar hari raya hanya untuk mengikuti acara tertentu, seperti pernikahan keluarga atau haul keluarga besar melepas rindu.

Karenanya, mudik yang dilakukan para pemudik, menjadi tradisi dan memiliki makna tersendiri di hati para pelakunya.

Menjelang Hari Raya Idul Fitri 1445 H ini, diperkirakan hampir 90 juta lebih penduduk kota-kota besar akan kembali ke kampung halaman atau Mudik, untuk berlebaran bersama keluarga besar mereka.

Biasanya, para pemudik yang sudah sukses hidup secara materi, mereka kembali ke kampung dengan membawa oleh-oleh banyak untuk dibagikan ke saudara dan keluarga besanya. Bahkan jika mereka mapan, banyak yang mudik membawa kendaraan pribadi, mobil motor.

BACA JUGA:  Fenomena Cancel Culture pada Penayangan Film Business Proposal

Mereka ingin membuktikan bahwa mereka berhasil dan sukses hidup di kota besar. Karenanya, banyak orang yang tegiur untuk pergi ke kota atau hilir, guna mengadu nasib.

Jika banyak anak muda pergi ke kota, hilir, maka sawah dan ladang tidak tergarap karena ditinggalkan. Ini bedampak pada kenaikan harga barang, seperti beras, karena banyak sawah tak tergarap.

Bagi mereka hidup di perantauan belum sukses atau biasa saja, mereka mudik menggunakan alat transportasi umum, bus atau kereta.

Tradisi Mudik yang mereka lakukan semata hanya untuk kumpul bareng saudara dan keluarga besar dalam merayakan acara Lebaran bersama. Dan ketika mudik, terjadi peredaran perekonomin desa yang luar biasa. Sebab, para pemudik pasti sedikit banyak membawa dan membelanjakan uangnya di desa.

Pamulang
30 Maret 2024
Pukul, 09,09 pagi.

Pos terkait