DEPOKPOS – Manusia sebagai makhluk sosial memang tidak bisa meninggalkan masyarakat. Sedikit atau banyak, ia tetap membutuhkan uluran dan bantuan orang lain. Ia juga tetap membutuhkan kerja sama dengan orang lain dalam mengentaskan hajat hidupnya. Seringkali ditemukan dalam permaalahan lingkungan dan masyarakat sekitar terkait hal ini,dan masih banyak yang salah memahami tentang syuf’ah ini. Maka dari itu inilah penjelasan terkait syuf’ah karena ini berhubungan dengan kegiatan sehari-hari .
Pengertian Syuf’ah
Kata syuf’ah berasal dari bahasa arab ( شفع) syafa’a yang berarti menggabungkan kepadanya yang sepertinya. Dikatakan demikian karena orang yang mempunyai hak syuf’ah menggabungkan benda serikat yang dijual oleh temannya kepada miliknya dalam serikat itu sehingga terlihat seolah-olah berpasangan.
Dapat difahami bahwa hikmah di-syariat-kannya syuf’ah adalah untuk menghindarkan terjadinya ke-mudarat-an bagi syafi’ (peserikat lama), untuk mengantisipasi terjadinya kerugian dan bahaya20 karena dengan bergantinya teman serikatnya dengan orang lain yang tidak dikenalnya yang dapat penyebabkan terjadinya pertengkaran atas mereka berdua. Adapun dasar hukum berlakunya syuf’ah dari hadis Rasul adalah berikut ini:
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال: (جعل وفي لفظ: قضى) النبي صلى الله عليه وسلم بالشُّفْعة في كل ما لم يقسم، فإذا وقعت الحدود، وصُرِّفَتِ الطرق؛ فلا شفعة).
Artinya: Dari Jabir, bahwa Nabi SAW. menetapkan syuf’ah pada setiap barang yang belum dibagi. Karena itu, apabila batas-batasanya sudah tetap dan jalan-jalannya sudah diatur maka tidak ada syuf’ah. (HR. Ahmad dan Bukhari).
Hadis di atas dapat dilihat bahwa Rasulullah SAW. memutuskan syuf’ah pada barang serikat yang belum dilakukan pembagian dimana keadaan barang tersebut memungkinkan untuk dibagi, maka jika telah ditetapkan batasan bagian di antara peserikat maka tidak berlaku syuf’ah. Adapun rukun syuf’ah menurut Imam Syafi’i ada tiga sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bajuri berikut: “Dan rukun syuf’ah ada tiga yaitu syafi’ ialah orang yang mengambil (yang mempunyai hak istimewa untuk membeli secara paksa), masyfu’ ialah sesuatu yang diambil atau dibeli secara paksa, dan masyfu’ minhu ialah pemilik barang yang diambil darinya (peserikat baru)”.
Rukun dan Syarat Syuf’ah adalah meliputi sebagai berikut :
1. Masyfu’ benda-benda yang di jadikan barang Al-Syuf’ah, ini syarat-syarat yang harus di penuhi oleh benda-benda yang di jadikan benda syuf’ah, barang yang di syuf’ahkan berbentuk barang tetap (’uqar), seperti tanah, rumah dan hal-hal yang berkaitan dengan keduanya, seperti tanaman, bangunan, pintu-pintu, pagar, atap rumah dan semua yang termasuk dalam penjualan pada saat di lepas.
Pendapat ini adalah pendapat jumhur ahli fiqh, sedangkan alasan yang di gunakan adalah sebuah hadist dari Jabir Ra, yaitu : ”Rasulullah Saw menetapkan, untuk setiap benda syirkah yang tidak dapat di bagi-bagi seperti rumah atau kebun.”
2. Syafi’, yaitu orang yang akan mengambil atau menerima Syuf’ah.
Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut :
a. Orang yang membeli secara syuf’ah adalah partner dalam benda atau barang tersebut, per-partner-an mereka lebih dahulu terjalin sebelum penjualan, tidak adanya perbedaan batasan di antara keduanya, sehingga benda itu menjadi milik mereka berdua secara bersamaan. ”Rasulullah Saw menetupkan Syuf’ah untuk segala jenis yang tidak di pecah dan apabila terjadi batasan hak (had), kemudian perbedaan hak sudah jelus, maka tidak ada syuf’ah.” Ali, Usman, Umar, Syaid Al-Musayyab, Sulaiman bin Yasar, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah Malik, Syafi’i, Audza’i, lshaq, Ubaidillah bin Hasan dan lmamiyah berpendapat, bahwa syuf’ah tidak berlaku terhadap barang yang apabila di bagi atau di pecah akan hilang manfaatnya, seperti kamar mandi dan wc.
b. Syarat yang kedua adalah bahwa Syafi’i meminta dengan segera, maksudnya, Syafi’i jika telah mengetahui penjualan, ia wajib meminta dengan segera jika hal itu memungkinkan, jika ia telah mengetahuinya, kemudian memperlambat permintaan tanpa adanya uzur, maka haknya gugur. Alasannya adalah jika Syafi’i memperlambat permintaannya, niscaya hal ini berbahaya buat pembeli, karena kepemilikannya terhadap barang yang di beli tidak mantap (labil) dan tidak memungkinkan ia bertindak untuk membangunnya karena takut tersia-sianya usaha dan takut di syuf’ah. Jika Syafi’i tidak ada atau belum mengetahui penjualan atau tidak mengetahui, bahwa memperlambat dapat menggugurkan syuf’ah, dalam keadaan seperti ini haknya tidak gugur. Salah satu riwayat dari Abu Hanifah bahwa permintaan tidak wajib dengan segera setelah mengetahui, karena syafi’i memerlukan pertimbangan dalam persoalan ini, maka ia berhak khiar seperti khiar dalam jual beli. lbnu Hazm berpendapat bahwa penetapan syuf’ah di wajibkan oleh Allah, maka ia tidak boleh gugur karena tertinggalnya delapan puluh tahun sekalipun, kecuali jika Syafi’i sendiri yang menggugurkannya.
c. Syafi’i memberikan kepada pembeli sejumlah harga yang telah di tentukan ketika akad, kemudian Syafi’i mengambil syuf’ah harga yang sama jika jual beli itu mitslian atau dengan suatu nilai jika di hargakan.
d. Syafi’i mengambil keseluruhan barang, maksudnya, jika syafi’i meminta untuk mengambil sebagian, maka semua haknya gugur apabila syuf’ah terjadi antara dua syafi’i atau lebih, sebagian syafi’i melepaskannya, maka syafi’i yang Iain harus menerima semuanya. Hal ini di maksudkan agar benda syuf’ah tidak terpilah-pilah atas pembeli.
3. Masyfu’ min hu, yaitu orang tempat mengambil syuf’ah.
Di syaratkan pada masyfu’ min hu bahwa ia memiliki benda terlebih dahulu secara syarikat.
Pewaris Syuf’ah
Jika seseorang berhak memperoleh syufah, kemudian meninggal dunia dan dia dalam keadaan tidak atau belum mengetahui atau ia tahu tetapi meninggal sebelum dapat melakukan pengambilan, maka haknya beralih kepada ahli waris, alasannya adalah bahwa syuf’ah di qiyaskan kepada irts.
Tindakan Pembeli
Tindakan pembeli terhadap harta sebelum Syafi’i menerima syuf’ah di nyatakan sah karena ia bertindak terhadap miliknya. Jika suatu ketika pembeli menjualnya lagi kepada orang lain, syafi’i berhak melakukan syuf’ah terhadap salah satu dari dua penjualan. Jika pembeli harta menghibahkannya, mewakafkannya, menshadaqahkannya atau yang sejenisnya, syafi’i kehilangan hak syuf’ahnya sebab pemilikan barang tersebut tanpa ganti.
syufah dianggap gugur jika pembelinya mewakafkan atau menghibahkan atau menyedekahkan aset yang dibelinya karena menetapkan syufah pada aset yang demikian. berarti membatalkan ibadah ibadah di atas maksudnya ibadah wakaf tanah ,hibah ,sedekah ,sedangkan menjaga keabsahan ibadah lebih utama daripada menekankan syufah yang tidak dimaksudkan kecuali menghilangkan mudhorot yang mungkin akan terjadi .maksud point ini adalah ketika seorang muslim mendahulukan apa yang sudah diniatkan untuk ibadah daripada keuntungan duniawi. Kalau sudah niat hibah, jual ,ya itu tidak usahakan tidak berubah lagi ,selamanya,dengan masalah kebutuhan Rezeki itu bisa dicari di tempat lain karena mengutamakan utuhnya pahala ibadah didahulukan daripada transaksi duniawi seperti itulah . jadi tidak bisa spontanitas kita langsung wakafkan tanah itu, intinya harus selalu komunikasi kan sama partner kita ini.
Contoh dalam kesehariaanya adalah: ada dua mahasiswa bersama-sama membeli sebuah buku paket pelajaran yang diwajibkan oleh dosennya secara patungan. Di akhir semester, tiba-tiba buku dikuasai oleh salah satu pihak yang melakukan patungan, tanpa adanya ganti rugi (arsyun).
Nah, penguasaan semacam ini adalah tidak sah. Pihak yang menguasai terikat sebuah keharusan, yaitu mengganti harga buku tersebut sesuai nisbah harga mitsil yang berlaku saat akuisisi itu dilakukan. Jadi, misalnya harga loak buku itu adalah sebesar 50 ribu rupiah, sementara patungannya adalah masing-masing menyetor 50 ribuan sehingga harga awalnya 100 ribu rupiah, maka harga akuisisi (syuf’ah) yang harus dikeluarkan oleh salah satu syarik (mitra) adalah sebesar 25 ribu rupiah. Alhasil, mengetahuhi harga mitsil (standar) itu sangat penting dalam konteks ini, sebagai dasar penguasaan.
Contoh lainya adalah : “Ada dua orang pihak yang patungan membeli sepeda. Sepeda itu harganya Rp18 juta, kondisi new (baru). Masing-masing pihak patungan mengeluarkan uang sebesar Rp9 juta. Karena yang patungan adalah 2 orang bersaudara yang masih sama-sama jomblo, dan karena salah satunya juga hendak menikah sehingga butuh kepastian sepeda itu menjadi milik salah satu dari dua orang tersebut, maka dilakukanlah upaya menebus kepemilikan. Berhubung sepeda sudah setengah pakai, maka ketika hendak terjadi akuisisi itu, dilakukanlah upaya bertanya ke salah satu dealer untuk mengetahui kadar perkiraan harga sepeda saat akan ditebus itu. Oleh dealer, sepeda itu ditaksir dengan harga 12 juta. Akhirnya, kedua pihak sepakat dengan harga tersebut, dan dilakukanlah saling tebus itu sehingga yang dikeluarkan oleh pihak penebus adalah Rp6 juta.”
Pola akuisisi di atas sudah berlaku umum di masyarakat kita, dan hukumnya adalah boleh, serta akadnya adalah termasuk akad syuf’ah. Di dalam syariah, akad syuf’ah ini hanya berlaku untuk harta yang bisa dibagi serta terlarang untuk harta yang tidak bisa dibagi. Contoh dari harga yang tidak bisa dibagi adalah patungan yang digunakan untuk barang yang akan dijadikan mahar menikahi seseorang antara dua orang laki-laki.
Nah, berikut penjelasan terkait akad dan hak syuf’ah dalam fiqih muamalah dan beberapa contohnya. Namun, dalam hal ini pun, tidak semua jenis akuisisi aset bisa dikategorikan sebagai syuf’ah. Wallahu ‘alam bish shawab.
Shofi Hf,Wiwit Nf,Syifauljannah