Pemikiran Ekonomi Ulama Cordova Imam Yahya bin Ummar

Oleh: Laelatul Zannah, Mahasiswi STEI SEBI

Ulama yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Ummar bin Yusuf al-kannani al-Andalusiaini lahir pada tahun 213 H dan di besarkan di kordova, spanyol. Seperti para cendikiawan muslim terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Pada mulanya ia singgah di mesir dan bergurukepada pemuka sahabat Abdullah bin Wahab al-Maliki dan abu al-Qosim, seperti ibnu al-Kirwan Ramh dan abu al-Zhahir bin al-Sarh. Setelah itu, ia pindah ke hijaz dan berguru kepada Abu Mus’ab az-Zuhri. Akhirnya Yahya bin Ummar menetap di Qairuwan, Afrika dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid dan bisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman al-Farisi. Dalam perkembangan selanjutnya, ia menjadi pengajar di jami’ al-Qairuwan. Pada masa hidupnya terjadi konflik yang tajam antara fuqaha malikyah dan fuqaha hanafiyah yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan Imam Yahya bin Ummar terpaksa pergi dari qairuwan dan menetap di sausah, ketika ibn abdun yang berusaha untuk menyingkirkan para ulama penentangnya, baik dengan cara memenjarakan maupun membunuh, menjabat qodi di negeri itu setelah ibnu abdun turun dari jabatannya, Ibrahim bin Ahmad al-Aghlabi menawarkan jabatan qodi kepada Imam Yahya bin Ummar. Namum ia, menolaknya dan memilih tetap tinggal di sausah dan mengajar jami’ al-sabt hingga akhir hayatnya. Imam Yahya bin Ummar wafat pada tahun 289 H atau bertepatan dengan tahun 901 M.

Semasa hidupnya tak kurang dari 40 kitab telah ia tulis, diantaranya yang terkenal adalah kitab al-Muntakbabah fi ikhtiar al-Mustakbriji fi al-Fiqh al-Maliki dan kitab al-Ahkam al-Suq. Kitab al-Ahkam al-Suq berasal dari dunia afrika pada abad ketiga hijriah merupakan kitab pertama di dunia islam yang membahas permasalahan pasar dengan penyajian materi yang berbeda dari pembahasan-pembahasan fiqih pada umumnya. Pada saat itu, kota tersebut telah memiliki institusi pasar yang permanen sejak tahun 155 H dan para penguasanya, mulai dari masa Yazid bin Hatim al- Muhibli hingga sebelu masa ja’far al-Manshur sangat memperhatikan keberadaan instusi pasar. Bahkan pada tahun 234 H, kanun, penguasa lembaga peradilan kota tersebut, mengangkat seorang hakim yang khusus menangani permasalahan-permasalahan pasar. Dengan demikian, pada masa Imam Yahya bin Ummar, kota Qairuwan telah memiliki dua keistimewahan, yaitu: keberadaan instusi pasar yang mendapat perhatian khusus dan peraturan yang memadai dari pengusaha.

Penulisan kitab al-Ahkam al-Suq dilatarbelakangi oleh dua persoalan mendasar: pertama hukum syarak tentang perbedaan dan kesatuan timbangan serta takaran perdagangan dalam satu wilayah dan yang kedua hukum syarak tentang harga gandum yang tidak terkendali, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kesulitan bagi para konsumen.dalam membahas persoalan tersebut Imam Yahya ibnu Ummar menjelaskan secara panjang lebar. Sebelum menjawab persoalan tersebut ia menulis suatu mukaddimah secara terperinci tentang berbagai tanggung jawab openguasa, seperti kewajiban melakukan inpeksi pasar, mengontrol timbangan dan takaran serta mengungkapkan keadaan alat ukur dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian besar pembahasan dalam kitab ini menggunakan metode diskusi atau dialog. Imam Yahya bin Ummar mengajarkan kitab tersebut untuk pertama kalinya di sausah pasca konflik membangun tempat tinggal di kota itu. Terdapar dua riwayat di kitab ini riwayat al-Qashri yang sekarang kita pelajari dari riwayat al-Syibli.

Menurut Imam Yahya ibnu Ummar, aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan seorang muslim kepada Allah SWT. Hal ini adalah asas dalam perekonomian islam, sekaligus factor utama yang membedakan ekonomi islam dengan ekonomi konvesional. Sesuai dengan firmal Allah swt: “jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri berimam dan bertakwa, pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, makka kmi siksa mereka disebabkan perbuatannya”.(Al-A’raf/7:96).

Penetapan harga (al-Tas’’ir)

Penetapan harga (al-Tas’ir) merupakan tema sentral yang dalam kitab al-Ahkam al-Suq Imam Yahya bin Ummar, berulang kali membahasnya di berbagai tempat yang berbeda.tampaknya, ia ingin menyatakan bahwa eksistensi harga merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah transaksi. Sedangkan pengabaian terhadapnya akan dapat menimbulkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat. Imam Yahya bin Ummar berpendapat bahwa penetapan harga tidak boleh dilakukan. Ia berhujah dengan berbagai hadist nabi Muhammad Saw. Antara lain: dari Anas bin Malik ia berkata: “Telah melonjak haga (dipasar)pada masa Rasulullah saw. Mereka (para sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah tetapkanlah harga bagi kami “ .Rasulullah saw. Menjawab: “Sesungguhnya Allah lah yang menguasai (harga), yang member rizki, yang memudahkan dan yang menetapkan harga. Aku sunngu berharap bertemu dengan Allah dan tidak seorangpun (boleh) memintaku melakukan suatu kezaliman dalam persoalan jiwa dan harta”. (Riwayat Abu Dawud).

Imam Yahya bin Ummar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan intervensi pasar, kecuali dalam dua hal, yaitu: para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentunya yang sangat dibutuhkan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan kemudaratan serta merusak mekanisme pasar. Dalam hal ini pemerintah boleh memngeluarkan pedagang tersebut dan menggantikannya dengan pedagang lain berdasarkan kemaslatan dan kemanfaatan umum. Para pedagang melakukan siyasah al-ighraq atau banting harga (dumping) yang dapat menimbulkan persaingan tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga pasar. Dalam hal ini, pemerintah berhak memerintah para pedagang tersebut untuk menaikan harganya sesuai harga yang berlaku dipasar. Apabila mereka menolaknya, pemerintah berhak mengusir mereka dari pasar.hal ini di pratekan Ummar bin al-Khattab. Sikap rasulullah saw yang menolak melakukan penetapan harga juga merupakan indikasi awal bahwa ekonomi islam tidak hanya terbatas mengatur kepemilikan khusus, tetapi menghormati dan menjaganya.

Mekanisme harga

Kebebasan ekonomi tersebut juga berarti bahwa harga, dalam pandangan Imam Yahya bin Ummar, ditentukan oleh kekuatan pasar, yakni kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand). Namun, ia menambahkan bahwa mekanisme harga itu harus tunduk kepada kaidah-kaidah. Diantara kaidah-kaidah tersebut pemerintah berhak untuk melakukan intervensi pasar ketika terjadi tindakan sewenang-wenang dalam pasar yang dapat menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat. Dalam hal ini, pemmerintah berhak mengeluarkan pelaku tindakan itu dari pasar.

Menurut Dr.Rifa’at al-Audi, pernyataan Imam Yahya bin Ummar melarang praktek banting harga bukan dimaksudkan untuk mencegah harga-harga menjadi murah. Akan tetapi, pelarangan tersebut dimaksudkan dapat mencegah dampak negatifnya terhadap mekanisme pasar dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dalam ekonomi islam undang-undang mempunyai peranan sebagai pemelihara dan penjamin pelaksanaan hak-hak masyarakat yang dapat menigkatkan kesejahteraan hidup mereka secara keseluruhan, bukan sebagai alat kekuasaan untuk memperoleh kekayaan secara semena-mena.

Penimbunan barang (ikhtikar)

Menurut Imam Yahya bin Ummar, timbulnya kemudharatan terhadap masyarakat merupakan syarat pelarangan penimbunan barang. Apabila hal tersebut terjadi, barang dagangan hasil timbunan tersebut harus di jual dan keuntungan hasil penjualan ini disedekahkan sebagai pendidikan terhadap para pelaku ikhtikar. Adapun para pelaku ikhtikar itu sendiri hanya berhak mendapatkan modal pokok mereka. Selanjutnya pemerintah memperingati para pelaku ikhtikar agar tidak mengulangi perbuatannya. Apabila mereka tidak mempedulikan peringatan tersebut, pemerintah berhak menghukum mereka dengan memukul, mengelilingi kota, dan memenjarakannya.
Source:Amalia, Euis. 2007.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Jakarta: Granada Press