Tak Ingin Menyesal Lagi

Anak itu menangis meminta belas kasih-Nya, bersimpuh di atas sajadah. “Tuhan… Tolong panjangkan umurnya, sehatkan selalu dia, limpahkan segala rasa sakitnya kepadaku. Aku sanggup, asalkan bisa terus melihatnya”.

Aku hidup di keluarga yang berkecukupan. Papa, ia adalah seorang Pegawai Negeri Sipil. Profesi yang dulu pernah aku idam-idamkan. Dan Mamaku seorang guru. Ia disandang sebagai guru tegas yang tulus. Namun entah kenapa, aku mulai tidak suka profesi yang katanya mulia itu.

Aku tidak pernah mempermasalahkan profesinya itu, sampai Mama mulai sakit-sakitan. Aku terus menyalahkan pekerjaannya sebagai guru. Mama bukanlah guru yang hanya sekadar memberi materi lalu pulang. Aku tahu banyak masalah internal sekolah itu yang Mamaku urus. Dan aku tahu pula, masalah-masalah tersebut sudah banyak menguras pikirannya.

Jika jatuh sakit, Mama hanya terkulai lemas di atas kasur. Aku yang menggantikan tugasnya di rumah. Membersihkan rumah sudah jadi makananku setiap pagi. Namun, ketika waktu mengajarnya datang, tiba-tiba ia bangkit dan berganti pakaian. Dan ketika kutanya hendak ke mana dirinya, Mama menjawab dengan ringan “Mau ke sekolah De, kasian anak-anak gak ada yang ngajar,”. Aku tahu ia memiliki tanggungjawab atas murid-muridnya. Tapi, siapa yang bertanggungjawab atas keluarganya? Aku?

Ya, tentu saja, karena aku adalah satu-satunya perempuan di keluarga ini. Kakak dan Adikku adalah lanang yang hanya bisa membuat onar dan bersenang-senang di dalam rumah. Dan akulah yang membersihkan semua kekacauan itu. Sukar untuk fokus pada tugas perkuliahan. Pikiranku bercabang. Pergi sana sini hingga larut malam, pergi ke rumah teman, atau menyendiri di coffee shop. Aku menjadi pribadi yang tidak betah di rumah karena di luar lebih tenang.

Sampai aku tumbang di suatu malam tanpa seorangpun tahu. Ingin rasanya pergi dari rumah ini. Egois, aku hanya memikirkan tentang diriku yang kelelahan meronta-ronta meminta keadilan. Tapi belakangan aku sadar, aku tidaklah pantas mengeluh seperti ini. Karena dia menahan sakit dan lelah yang lebih besar, Mama.

Mama dinyatakan mengidap penyakit yang bisa membahayakan nyawanya kapan saja, setelah melakukan beberapa rangkaian pemeriksaan di RS. Grha Permata Ibu. Selama ini aku keliru, profesinya sebagai guru bukanlah faktor utama penyakit itu ada. Terjadi pembengkokan pada tulang belakangnya, akibat kecelakaan motor yang pernah ia alami. Mama menahan rasa sakitnya sendiri. Aku memaki diriku yang mengeluh hanya karena disuruh mencuci piring.

Aku tidak tahu pasti apa nama penyakitnya, tetapi Dokter menyarankan operasi tulang juga saraf yang sangat beresiko dan dapat memengaruhi bagian saraf lainnya.

Pernah suatu malam kulihat dirinya menangis di balik mukena putihnya. Merintih menahan sakit di sekujur badannya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain dukungan moral. Menyapu, mencuci piring, bahkan mencuci baju, Aku tidak ingin mempermasalahkan itu lagi. Biarlah badanku kaku sampai mati rasa. Karena Aku tidak ingin mengalami penyesalan terbesar lagi. [Zhafira Chlistina/PNJ]