Kehadiran yang Menghapus Duka

Ilustrasi. (Istimewa)

Tangisan itu terdengar pertanda malaikat kecil sudah datang ke bumi. Kelahiran itu pun tak dijadikan beban walau masalah menerjang sebelum ia pun sempat bernafas di dunia.

Berbalut darah, tubuh bayi itu pun akhirnya dibersihkan dan berada di pangkuan ibunya. Tak sampai beberapa menit berlalu, bayi itu pertama kali harus menghabiskan waktunya terlebih dahulu di dalam incubator (alat yang dipanasi dengan aliran listrik pada suhu tertentu yang dipakai untuk memerami telur, mikroba dan menghangatkan bayi yang lahir prematur). Ia mengalami hiperbilirubin (terlalu banyaknya kadar bilirubin dalam darah bayi) yang menyebabkan kulitnya berubah menjadi kuning sejak lahir. Pertaruhan nyawa terjadi. Aku, ibu dan adik-adik berdoa agar ia bisa diselamatkan.

Berada di dalam incubator membuatku merasa sangat gelisah. Terlebih, saat aku harus mengantarkan begitu banyak pakaian ganti untuk ibuku serta adikku yang baru lahir itu. Seorang diri aku memberanikan untuk naik angkutan umum (angkot) sendiri dengan jarak yang cukup jauh dari rumah ke rumah sakit bersalin di daerah Depok. Perjalanan itu terasa sangat tidak nyaman. Selain khawatir akan keadaan adikku, aku juga harus menghadapi Ujian Nasional Sekolah Dasar.

Butuh waktu kurang lebih sejam untuk sampai ke rumah. Perlu diketahui aku dan ibuku tinggal bersama nenekku. Sesampainya di kamar, ku tumpukkan pakaian kotor ke bakul dan ku ambil beberapa pakaian bayi, popok gurita, handuk serta perlengkapan bayi lainnya ke dalam ranselku. Tak lupa pakaian ibuku. Setelah semua rapi, aku pun bergegas untuk kembali ke RS Bersalin. Sesampainya disana, adikku tak kunjung keluar dari tabung itu. Ku lihat dan terus ku tatapi anak kecil itu dengan penuh harapan dan doa dalam pikiranku. “Ya Allah, mudahkanlah proses penghilangan lapisan kuning itu Ya Allah, biarkanlah dia hadir di dunia ini, aku sangat ingin bermain dengannya,” ucapku.

Terlahir dengan penuh rintangan tak membuat aku dan ibuku menganggapnya beban. Sore itu di bulan Agustus, tepat pukul tiga, hujan petir menyambar dengan kencang. Akhirnya, malaikat kecil itu pun berada di pangkuan ibuku setelah di azankan oleh pamanku. Lapisan kuning itu berhasil hilang setelah 5 jam ia lalui di dalam tabung itu. Tetes air mata ibuku pun jatuh, pertanda kebahagiaan yang datang tiada hentinya.

Elok namanya, ia lahir tanpa kehadiran seorang ayah disampingnya. Anak bungsu dari empat bersaudara itu pun disambut hangat dengan aku, ibuku dan adik-adikku. Walau tidak ditemani dengan keluarga yang lengkap, kami, terutama aku sudah merasa bahagia dengan kehidupan yang dijalani sekarang.

Siang itu, tepat dua minggu sebelum ibuku melahirkan. Musibah datang menghampiri keluarga kami. Saat itu, ayahku melakukan hal yang sangat tak pantas dilakukan oleh seorang ayah. Ya, tepat pukul 12 siang. Wanita itu datang. Wanita yang bisa dibilang penyebab dari semua masalah ini, kiraku. Ia menggedor-gedorkan pagar dengan sangat kencang tanpa rasa malu di wajahnya. Kulihat ia menggendong bayi. Perasaanku menjadi tak karuan. Ayah, yang sangat aku hormati, entah, semenjak kejadian itu aku pun menjadi tidak respect terhadapnya lagi. Tanpa rasa malu, ia malah menelepon ibuku dan memintanya untuk menghadapi wanita itu. Kenapa harus ibuku? Kenapa tidak dia? Sudah seharusnya ia bertanggungjawab atas semua perbuatannya. Ia melakukan perbuatan kotor itu dan sempat tidak mau mengakuinya. Kejamnya, ia melakukan perbuatannya disaat ibuku baru akan hamil. Semenjak hari itu, ayahku tak pernah datang lagi kerumah. Ia meninggalkan rumah kami beserta dosa-dosanya.

Ibuku tak akan membiarkan dampak buruk itu datang menghampiri anak-anaknya, apalagi anak yang baru akan lahir nantinya. Hari-hari terakhir menjelang kelahiran pun harus dilewati. Jiwa yang tangguh, seakan tidak terjadi apa-apa meyakinkanku untuk menjaga keluargaku terutama adikku yang akan lahir ini. Aku beserta adikku yang pertama dan kedua, turut serta membantu ibuku yang akan menghadapi rasa sakitnya melahirkan dengan cara sesar. Tanpa suami, tanpa sosok ayah. Akhirnya Elok pun lahir dengan selamat.

Tahun demi tahun berlalu, Elok tumbuh menjadi anak yang sangat menggemaskan. Mata hitam yang besar, alis yang tipis serta rambut yang keriting membuatnya terlihat seperti anak kecil yang sangat sangat menggemaskan. Dengan gigi kelinci, ia pun tersenyum lebar dan berjingkrak kesenangan saat aku akan mengantarnya ke sekolah. TKnya berada di sebrang komplek rumah kami. Setiap pagi, sebelum aku berangkat kuliah, aku membantu ibu untuk mengurus adikku yang masih sangat mungil itu.

Setiap pagi dimulai dengan memandikannya, membuatkan bekal, sampai menguncir rambutnya. Setelah itu aku mengantarkannya ke sekolah. “Kakak, ayok cepetaan… Nanti telat kak aku…”, ucapnya dengan nada sedikit keras. Ia adalah adik yang selalu khawatir akan telat masuk sekolah setiap paginya. Keceriaannya saat berpamitan sebelum masuk kelas, membuatku lebih semangat lagi untuk kuliah. Anak kecil yang rajin, mungil, dan sangat patuh itu adalah mukjizat yang diberikan Tuhan kepada keluarga kami. Terima kasih Tuhan telah menitipkan keluarga, khususnya adik yang harus kujaga nantinya sampai ajal menjemput. [Cut Annisa Embun Sari/PNJ]