Asuransi Syariah – Isu Syariat yang Masih Diperdebatkan

Ilustrasi.

Selama beberapa dekade terakhir, industri asuransi syariah tengah mengalami pertumbuhan eksponensial di seluruh dunia. Hal ini ditunjukan dari permintaan yang tinggi mulai dari produk asuransi syariah umum jangka pendek hingga asuransi syariah keluarga jangka panjang.

Hal ini cukup menarik perhatian, tidak hanya di negara-negara muslim, tetapi juga di negara non-muslim. Akan tetapi walaupun mengalami pertumbuhan yang menjanjikan, asuransi syariah masih terus menghadapi berbagai masalah syariah yang diperdebatkan yang salah satunya pada konsep tabarru’.

Mahasiswa STEI SEBI Nuraini Menjelaskan, walaupun konsep tabarru’ yang digunakan pada asuransi syariah telah diterima secara luas sebagai solusi alternatif dari sistem konvensional yang ada, namun banyak isu syariat yang diperdebatkan dalam penerapannya di asuransi syariah. Padahal, Fitur utama dari asuransi syariah yang membedakannya dengan asuransi konvensional adalah penerapan konsep tabarru’. Karena konsep ini menunjukkan hubungan antar para peserta, melalui konsep ini setiap peserta menyumbang sejumlah kontribusi untuk saling membantu dan saling menjamin dalam hal kemalangan.

Syariah Advisory Council (SAC) dari Bank Negara Malaysia mengungkapkan, bahwa definisi tabarru’ dikenal sebagai kontrak gratifikasi atau amal, yaitu melepaskan sebagian dari kotribusi sebagai sumbagan dalam memenuhi kewajiban untuk saling membantu, dan menggunakannya untuk membayar klaim yang diajukan oleh peserta. Konsep tabarru’ ini untuk mencerminkan hubungan antara peserta.

Namun demikian, “donasi tersebut dibuat bersyarat. Dimana setiap peserta di asuransi syariah harus menyumbangkan jumlah tertentu sehingga dapat menutupi kerugian yang tak terduga di masa depan. Kontribusi dari sumbangan tersebut dikenakan untuk mendapatkan kompensasi masa depan, dan besarannya ditentukan oleh tingkat probabilitas risiko. Dimana semakin tinggi eksposur risiko, semakin tinggi pula kontribusi yang dibebankan ke peserta. Hal inilah yang menimbulkan perdebatan syariat, yang mana konsep tabarru’ yang seharusnya atas dasar sukarela beralih menjadi dasar yang diwajibkan”. Ungkap Nuraini.

Selain itu, muncul berbagai pendapat bahwa jika peserta berhak mengajukan klaim sebagai kompensasi dari kontribusi yang dibayarkan, itu akan mengubah struktur keseluruhan konsep asuransi syariah, dimana uang dalam bentuk donasi ditukar dengan uang dalam bentuk klaim. Adapun bila isu gharar dan maysir tidak terjadi itu karena ketidakpastian dari materi yang dipertukarkan.

Disisi lain, adanya fakta bahwa kontribusi yang dibuat berfungsi sebagai “harta” untuk ganti rugi. Pandangan oleh beberapa ulama bahwa tabarru’ di asuransi syariah tercermin dalam bentuk hibah bi thawab (hadiah dengan kompensasi yang diharapkan). Syarh Al Kharshi mendefinisikan hibah bi thawab sebagai sumbangan yang diberikan untuk tujuan mencapai kompensasi finansial di masa depan.

Namun dengan demikian, penerapan hibah bi thawab, menurut ahli hukum, akan mengubah sifat tabarru’ dari kontrak sepihak ke kontrak bilateral. Dengan kata lain, jika hadiah dibuat dalam pertukaran untuk klaim yang diterima dimasa depan, maka putusan hadiah setara dengan putusan penjualan. Dimana dalam hal ini, kontrak asuransi syariah merupakan kontrak pertukaran dimana isu gharar dan maysir kemudian diterapkan. (Nur ‘Aini/STEI SEBI)