Meningkatkan Brand Keuangan Syariah di Indonesia

lembaga_keuangan_mikro_syariah.jpg
Ilustrasi. (Istimewa)

(oleh Agung Setiabudi, mahasiswa STEI SEBI)

Lembaga perbankan Islam mengalami perkembangan yang amat pesat dengan lahirnya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan social bagi Negara-negara anggota dan masyarakat Muslim pada umumnya. Pesatnya perkembangan lembaga perbankan Islam ini karena Bank Islam memiliki keistimewaan, salah satu yang utama adalah berorientasi pada kebersamaan. Orientasi kebersamaan inilah yang menjadikan bank Islam mampu tampil sebagai alternative pengganti sistem bunga yang selama ini hukumnya (halal atau haram) masih diragukan oleh masyarakat Muslim. Market share perbankan syariah saat ini masih berada pada kisaran 5% dari pangsa pasar nasional. Ini menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat secara umum masih rendah terhadap Lembaga Keuangan Syariah (LKS), diantaranya terhadap kepatuhan syariah (shariah compliance) LKS. Kepatuhan syariah merupakan pilar utama dan pembeda LKS dengan lembaga keuangan konvensional. Masih terdapat adanya keraguan masyarakat terhadap kepatuhan syariah di bank syariah.

Beberapa waktu silam di Jakarta, tanggal 11 Maret 2016, Islamic Research and Training Institute-Islamic Development Bank (IRTI-IDB), Thomson Reutures, dan General Council for Islamic Banks and Financial Institutions (CIBAFI) meluncurkan Islamic Finance Report Country Report for Indonesia dengan thema ‘Prospect for Exponential Growth’. Report ini didesain bagi menyediakan analisis secara rinci dan wawasan utama pengembangan keuangan syariah di Indonesia serta potensi besar perkembangan yang bisa ditawarkan oleh negara. Report ini meng-highlight bagaimana Indonesia, sebagai negara besar dengan mayoritas Muslim hampir 95% dari 220 juta total penduduk, memiliki sumber daya alam yang melimpah dan lokasi geograpis yang strategis, menawarkan potensi besar dalam pertumbuhan ekonomi dan berbagai peluang bagi industri keuangan syariah. Berbeda dengan negara-negara lain, industri keuangan syariah di Indonesia sebagian besar dibangun atas inisiatif masyarakat (community based initiatives). Dengan kata lain, inisiasi pertumbuhan keuangan syariah di Indonesia dilakukan melalui bottom-up approach bukan top-down approach. Keinginan tersebut muncul dari masyarakat lalu diakomodasi oleh pemerintah, bukan sebaliknya. Namun, setidaknya hal tersebut membawa kesan positif dengan memunculkan berbagai pengembangan fitur unik seperti kehadiran BPR syariah, sukuk ritel, dana haji dan berbagai inisiatif keuangan sosial yang inovatif lainnya.

BACA JUGA:  BPN Depok Sosialisasian Keunggulan Sertifikat Elektronik, SDM Kunci Penting

Paradigma baru yang berkembang pada masa krisis ekonomi tahun 1997 dan 1998 adalah perlu dikembangkannya ekonomi kerakyatan, dimana pertumbuhan ekonomi didorong dari bawah. Hal ini berarti diperlukannya alokasi sumber daya untuk membangkitkan golongan ekonomi lemah dan koperasi. Usaha mikro kecil dan menengah merupakan usaha ekonomi produktif milik perorangan dan atau badan usaha perorangan yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan. Usaha ini begitu banyak berkembang bahkan terbukti sanggup melewati masa krisis ekonomi yang terjadi di haun 1998 sekaligus menyerap banyak tenaga kerja. Tingkat bunga yang sangat tinggi pada masa krisis jelas tidak mendukung berkembangnya ekonomi kerakyatan. Oleh karena itu, diperlukan perangkat lembaga keuangan baru yang tentunya bukan berupa bunga. Selama terjadinya krisis, bank syariah, yang baru diakui berdirinya pada tahun 1992 menyusul diundangkannya UU No.7 tahun 1992 yang kemudian direvisi dengan UU No.10 tahun 1998 berhasil melewati masa-masa krisis tersebut dan dinilai sehat sementara banyak bank konvensional yang berguguran. Sejak saat itu, perkembangan bank syariah dan lembaga keuangan non bank tumbuh secara pesat seiring dengan pencanangan Gerakan Ekonomi Syariah Nasional oleh Majelis Ulama Indonesia yang diikuti oleh Gerakan Ekonomi Syariah Daerah di seluruh provinsi.

BACA JUGA:  Amanat Karutan Depok Saat Melepas Pelajar PKL

Fakta lain menunjukkan bahwa industry kecil di Indonesia mencapai 90,36% dan dari jumlah tersebut hanya sedikit yang mampu ditangani oleh bank. Pemenuhan modal mereka berasal dari sumber lain termasuk rentenir dan perorangan lainnya dengan bunga yang cukup besar. Menghadapi situasi tersebut, jelas dibutuhkan sistem keuangan alternative yang dapat melayani kebutuhan mereka, sistem keuangan tersebut sebenarnya sudah ada dan berkembang di masyarakat tetapi selama ini posisinya berada diluar sistem yang telah ada sebelumnya, sistem keuangan tersebut adalah keuangan mikro. Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok besar, yaitu :
1. Lembaga keuangan mikro perbankan, mengacu dan diatur dalam UU Perbankan No.10 tahun 1998.
(LKM ini seperti BRI Unit atau BPRS)
2. Lembaga keuangan mikro koperasi, mengacu dan diatur dalam UU No.17 tahun 2012.
(LKM ini seperti Baitul Mal wattamwil yang disingkat BMT)
3. Lembaga keuangan mikro bukan perbankan dan koperasi, mengacu dan diatur dalam UU No.1 tahun 2013.
(LKM ini seperti Usaha Mikro Kecil Menengah yang disingkat UMKM)

Dalam UU No.1 tahun 2013 disebutkan bahwa lembaga keuangan mikro merupakan lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. Oleh karena itu, lembaga-lembaga tersebut perlu dikembangkan karena telah banyak membantu peningkatan perekonomian masyarakat, khususnya masyarakat miskin atau yang berpenghasilan rendah. (Agung Setiabudi)

Opini ini dibuat dan dikutip dengan sumber dari jurnal,
Tahreem Noor Khan1, “Enhancing Islamic Financial Brand: Sharīʿah Board Theoretical Conceptual Framework”, Journal of Islamic Banking and Finance June 2015, Vol. 3, No. 1, pp. 62-7
Qonita Mardiyah, Sepky Mardian, “Praktik Audit Syariah di Lembaga Keuangan Syariah Indonesia”, AKUNTABILITAS Vol. VIII, No. 1, April 2015.

Untitled-1.jpgAgung Setiabudi adalah mahasiswa aktif di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) SEBI, depok. Semester 7 program studi Akuntansi Syariah. Lahir di Garut, 01 januari 1994. Alamat Facebook : Raden Agung Alfatih, Instagram : Asdhi_alfatih, alamat email : [email protected]. Penerima beasiswa Excellent Sekolah Peradaban Alkamil, dan juga aktif sebagai ketua organisasi Akademi Pemuda Islam (API) di Bandung.