Apa yang Terjadi Ketika Kita Berhenti Bersikap Kritis?

Ilustrasi. (ist)
Ilustrasi. (ist)

Sikap kritis pada umumnya tidak disukai banyak orang. Dalam kehidupan sehari-hari, sudah biasa kita temui orang-orang yang kritis akan dimusuhi banyak pihak. Mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah dan demo, biasanya mau tak mau bentrok dengan aparat dan badannya babak belur karena berkelahi untuk mengungkapkan sikap kritis mereka.

Tokoh-tokoh pejuang HAM dan keadilan pun dibenci sebagian orang karena mereka membuka mata umum bagaimana kejamnya tindakan kelompok-kelompok tertentu. Di jaman pemerintahan Orde Baru, orang-orang kritis bahkan langsung hilang bagai ditelan bumi kalau berani menyuarakan sesuatu yang bertentangan dengan pemerintah.

Mahasiswa Fakultas MIPA yang juga Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ronny Setiawan, dikeluarkan dari UNJ lantaran sikapnya yang kritis terhadap kampusnya.

Salahkah bersikap kritis?

Lantas apakah salah kita bersikap kritis? Tidak, sebuah sikap kritis menandakan seseorang ingin terjadi satu perubahan yang positif atas suatu permasalahan yang negatif.

Sikap kritis merupakan pengakuan bahwa manusia itu tidak sempurna, memiliki kelemahan dan mudah keliru. Tetapi keliru adalah fitrah manusia. Kelemahan, keterbatasan atau kekeliruan bukanlah aib! Namun, membiarkan kelemahan, keterbatasan dan kekeliruan menodai nilai-nilai moral dan kejujuran adalah hal yang harus dihindari.

“Keliru itu indah” adalah sebuah judul tulisan dalam kolom “inovasi“ sebuah mingguan ekonomi (Gede Prama, 1998).

Dalam tulisan singkat itu, penulis mengungkapkan bahwa manusia-manusia besar sepanjang zaman yang punya peran dalam mengangkat peradaban manusia adalah “kumpulan manusia keliru” di zamannya masing-masing.

Namun hal tersebut tidak bisa digunakan sebagai alasan pembenaran untuk mentolerir sebuah kekeliruan atau kesalahan. Karena “kumpulan manusia keliru” yang dimaksud penulis adalah orang-orang yang keluar dari pakem umum pada saat itu dan bersikap kritis untuk sesuatu yang positif.

Apa yang terjadi ketika kita berhenti bersikap kritis?

Sikap kritis terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia adalah kritik Rasulullah SAW atas penyembahan terhadap berhala. Sikap kritis tersebut kemudian disertai dengan ajakan pengagungan terhadap satu Tuhan saja.

Sikap tersebutlah yang mengundang kemarahan mayoritas masyarakat saat itu hingga menimbulkan kebencian dan kekejaman orang-orang terhadap beliau bahkan hingga melahirkan perang berkepanjangan.

Bayangkan jika saat itu Rasulullah SAW berhenti bersikap kritis atas penyembahan terhadap berhala-berhala dan mentolerir hal tersebut. Kita mungkin akan melihat ada banyak berhala di dalam masjid-masjid sebagaimana Ka’bah pada era Rasulullah dipenuhi berhala.

Kita mungkin akan melihat banyak orang menganggap kemusrikan merupakan bagian dari “kearifan lokal” atas nama toleransi.

Kita tak akan melihat dan mendapati sebuah perubahan positif ketika berhenti bersikap kritis dan mentolerir segala bentuk kesalahan.

Kritis adalah sebuah sikap yang membangun, sikap yang tidak mentolerir kesalahan apapun bentuknya. Benar adalah benar dan salah adalah salah.

Namun yang perlu di ingat, kritis bukan berarti mengkritik dengan membabi buta. Seseorang yang bersikap kritis tidak menyerang individu. Sikap kritis adalah sebuah perlawanan terhadap kesalahan dan kekeliruan. Bukan sikap oposisi yang selalu menganggap salah apapun yang dilakukan lawannya. (San/DepokPos)