Pasar Kemiri Muka, Mbah Somo dan Sayuran

Setiap hari aku selalu menyapa hangatnya sang surya dipagi hari.
Selalu berlomba lomba untuk mengejar pagi .
Selalu bangun terlebih dahulu sebelum ayam berkokok.
Ku susuri jalan setapak dengan langkah kuda.
Aku berharap banyak kepada pembeli yang menghampiri daganganku. Sayuran yang  ku gelar memanjang di sekitar emperan jalan.

Mbah Somo, salah satu penjual sayur di Pasar Kemiri Muka.
Mbah Somo, salah satu penjual sayur di Pasar Kemiri Muka.

DEPOK – Minggu, 8 Mei 2016. Mbah Somo harus rela bangun sebelum ayam berkokok demi mendapatkan sayur segar yang berharga miring untuk di jual kembali. Tak ada sedikit pun kata lelah baginya untuk berjualan. masih harus mencari nafkah dengan berjualan sayur di pasar demi menyambung kebutuhan hidup sehari-hari.

Mbah somo, wanita yang lahir di pekalongan 67 tahun yang lalu ini, sudah 10 tahun menyambung hidupnya dengan berjualan sayur di salah satu sudut di Pasar Kemiri Muka, Beji, Depok.

BACA JUGA:  BPN Depok Sosialisasian Keunggulan Sertifikat Elektronik, SDM Kunci Penting

Bermodalkan gubuk yang terbuat dari seng bekas, ia rela kepanasan dan dinginan demi kelangsungan hidupnya. Bukan hanya untuk berjualan saja, gubuk tersebut juga di gunakan untuk sandaran Mbah Somo ketika malam tiba.

Lalu lalang para calon pembeli pun membuat hatinya senang, karena dari sana lah pundi-pundi rezekinya berdatangan. Satu demi satu pembeli menghampiri dagangannya, seakan lelahnya terobati setelah hasil kerja kerasnya bisa terpenuhi.

Persaingan dagang pun seketika dimulai, para pedagang saling mempromosikan daganganya agar pembeli ingin membelinya. sayangnya mbah somo pun tak ingin kalah dengan pedagang lain. Tumbuhnya yang sudah tak muda lagi, juga ikut mempromosikan dagangannya. “Ayo cabe sekilo 5 ribu, kentang sekilo 8 ribu, wortel sekilo 15 ribu”. (Suara terikannya seakan memanggil pembeli agar membeli sayurannya)

Namun bukan hal yang mudah untuk bisa semua dagangannya habis, Mbah Somo rela menurunkan harga sayur-sayurannya ketika senja sudah mulai nampak. Karena baginya, buat apa merelakan semua yang ada kalau nantinya akan merubah warna dan membusuk.

BACA JUGA:  Belum Selesai DBD, Kini Wabah Flu Singapura Hantui Warga Depok

Mungkin penjual lain berfikir berjualan itu akan merubah nasib kehidupan, tapi nyatanya sampai saat ini mbah somo masih tetap menjadi penjual sayur. Ia berjualan bukan untuk merubah nasib, tapi dia berjualan untuk mencari biaya makan dan sebagainya dari tangannya sendiri.

Bahkan ia rela tidak bisa bertemu keluarganya setiap hari, haya waktu-waktu tertentu saja mbah somo bisa pulang kerumah dan bertemu keluarganya yang dikampung. Apalagi saat ini, bulan ramadhan akan datang. Biasanya ia tak sama sekali pulang kampung, karena di bulan tersebutlah pembeli sedang ramai kepasar untuk membeli sayuran sayuran untuk berbuka dan sahur.

BACA JUGA:  Disdik Depok Serahkan Donasi Rp557 Juta untuk Palestina ke Baznas

Dari Mbah Somo lah kita dapat pembelajaran baru. segala sesuatu yang kita lakukan tidak ada batasan usia, baik tua maupun muda kita harus mengahadapi realita kehidupan sedemikian rupa. Meskipun kehidupan itu sepahit dan sekejam apa pun harus kita lalui, jangan pernah ada sedikit pun ada kata lelah atau pun menyerah. Karena sekali kita berbicara menyerah, apa yang kita lakukan selama ini akan sia-sia saja.

Rachmania Putri
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta.