Ketika Hukum Dipertontonkan, Tapi Keadilan Tak Dirasakan: Catatan Kritis atas Krisis Hukum Indonesia

Ketika Hukum Dipertontonkan, Tapi Keadilan Tak Dirasakan: Catatan Kritis atas Krisis Hukum Indonesia

AISYAH FITRI MAS
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas

DEPOKPOS – Sudah lama Indonesia menyebut dirinya sebagai negara hukum. Frasa itu bahkan tertera secara tegas dalam konstitusi kita, UUD 1945. Namun dalam praktiknya, hukum kerap kali hanya menjadi panggung: prosedural, kaku, dan sering kali sekadar formalitas. Peristiwa penganiayaan David Ozora oleh Mario
Dandy, anak dari pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo, menggambarkan dengan jelas bagaimana hukum tetap berjalan, namun keadilan tidak terasa hadir.

Perkara ini tidak semata soal kekerasan fisik, tapi mencerminkan kekerasan yang bersifat sistemik dari sistem hukum yang kurang adil, kurang berempati, dan kerap tunduk pada kekuasaan serta struktur sosial. Mario memang telah divonis 12 tahun penjara, tapi proses yang terjadi mengungkap betapa dalamnya persoalan
hukum kita. Ini bukan sekadar soal vonis. Ini adalah soal kepercayaan publik yang semakin menipis, dan harapan keadilan yang kian samar.

Di mata publik, proses hukum terhadap Mario Dandy sarat kejanggalan. Dari sejak penangkapan, pengadilan, hingga kehidupan pelaku di dalam tahanan, banyak hal yang memperlihatkan bahwa “anak pejabat” tidaklah diperlakukan sama dengan pelaku dari kalangan biasa.

Mario kedapatan menggunakan ponsel di sel tahanan, bahkan sempat membuat konten yang menunjukkan kondisi dirinya. Hal ini mencederai rasa keadilan publik yang merasa bahwa kejahatan sebesar itu seharusnya dijatuhi sanksi sosial dan moral yang berat. Belum lagi, proses hukum terhadap rekan pelaku lainnya, Shane Lukas, juga menimbulkan kontroversi: apakah perannya benarbenar proporsional dengan hukuman yang dijatuhkan?

Ketika perlakuan terhadap pelaku menjadi lebih lunak dibandingkan dengan penderitaan korban yang masih koma berkepanjangan, maka masyarakat wajar merasa kecewa. Seolah-olah, hukum hanya keras terhadap yang tak berkuasa, sementara mereka yang punya nama besar justru mendapat perlakuan yang lebih mudah.

BACA JUGA:  Premanisme Meresahkan, Islam Menjamin Keamanan

Kasus ini menyisakan luka kolektif. Kekecewaan ini dirasakan bukan hanya oleh keluarga korban, tapi juga oleh jutaan warga Indonesia yang menyaksikan proses hukum ini melalui media. Apa yang mereka lihat? Bahwa keadilan seakanakan adalah kemewahan yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang punya koneksi dan kekuasaan.

Solidaritas yang bermunculan untuk David Ozora di berbagai media sosial mencerminkan bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang terjadi. Rakyat bersuara karena mereka merasa negara tidak lagi melindungi mereka.

Tak sedikit orang tua yang mulai bertanya-tanya: “Kalau itu terjadi pada anak saya, bagaimana?” Apakah nasibnya akan sama seperti David?”

Ketika negara gagal memberikan keadilan yang merata, maka legitimasi hukum akan runtuh. Yang tersisa hanyalah hukum rimba di mana siapa yang kuat, dia yang menang.

Kasus Mario Dandy mencerminkan permasalahan yang lebih dalam, yakni penyakit sistemik dalam struktur hukum Indonesia. Kita hidup dalam sistem hukum yang sering kali tumpang tindih, mudah ditarik-tarik oleh kekuasaan, dan rentan terhadap korupsi institusional.

Beberapa catatan penting:

1. Independensi Lembaga Hukum Masih Lemah
Berbagai institusi hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan masih belum benar-benar terbebas dari pengaruh politik maupun kekuatan ekonomi. Ketika pelaku berasal dari keluarga elite, keputusan hukum cenderung melunak.

2. Penegakan Hukum Masih Bersifat Elitis
Masyarakat kecil kerap kali mendapat hukuman yang berat dan diproses dengan cepat ketika melanggar hukum. Sebaliknya, jika pelaku berasal dari kelompok elit, proses hukumnya cenderung lama, penuh tawar-menawar, dan sering disertai dengan penggunaan “diskresi”.

BACA JUGA:  Paradoks Proteksi : Menimbang Ulang Hambatan Perdagangan

3. Ketiadaan Rasa Empati dalam Proses Hukum
Penegakan hukum kerap hanya menitikberatkan pada aspek legalistik, tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam perkara Mario Dandy, hanya sedikit narasi hukum yang benar-benar berpihak kepada korban dan keluarganya. Fokus justru sering teralihkan pada “masa depan pelaku”.

Kasus Mario Dandy adalah alarm keras bahwa sistem hukum kita sedang sakit. Dan penyakit ini tidak bisa diobati dengan kosmetik belaka.

Dibutuhkan reformasi mendalam yang mencakup:

• Reformasi Lembaga Penegak Hukum secara Struktural dan Kultural.
Tidak cukup hanya mengganti pejabat. Sistem karier, proses rekrutmen, serta mekanisme pengawasan di lembaga penegak hukum perlu diperbaiki secara menyeluruh.

• Keterbukaan dan Partisipasi Publik dalam Proses Hukum.
Masyarakat seharusnya turut ambil bagian dalam mengawasi proses hukum, khususnya dalam perkara yang menyangkut pejabat publik atau keluarga kalangan atas.

• Pendidikan Etika Hukum Sejak Dini.
Para mahasiswa hukum, calon aparat penegak hukum seperti hakim, jaksa, dan polisi perlu dibekali bukan hanya teori, tetapi juga rasa keadilan dan empati yang mendalam.

Hukum Boleh Berjalan, Tapi Jangan Lupa Rasakan

Keadilan bukan hanya tentang menjalankan hukum. Keadilan juga tentang rasa bahwa semua orang diperlakukan setara, bahwa korban mendapat perlindungan, dan bahwa tidak ada yang kebal terhadap hukum. Jika hukum sekadar dipamerkan tanpa benar-benar menegakkan keadilan, maka yang terlihat hanyalah pertunjukan, bukan sistem hukum yang sesungguhnya.

BACA JUGA:  Rakyat Kembali Resah, Premanisme Semakin Berulah, Dimanakah Rasa Aman?

Rakyat tidak butuh pertunjukan hukum. Mereka butuh perlindungan, keadilan, dan rasa aman. Semoga kasus ini menjadi titik balik, bukan sekadar satu babak lagi dalam lakon panjang ketidakadilan di negeri ini.

Hukum untuk Siapa?

Kasus penganiayaan brutal yang dilakukan Mario Dandy terhadap David Ozora kembali menggugah kesadaran publik: bahwa keadilan di Indonesia masih bersifat elitis. Penegakan hukum kerap kali melemah ketika pelaku memiliki latar belakang sebagai keluarga pejabat. Proses hukum seolah hanya menjadi rutinitas, sementara rasa keadilan masyarakat tak pernah benar-benar dipulihkan.

Ini adalah cerminan sistem hukum kita yang belum berpihak pada korban, dan masih tunduk pada pengaruh kekuasaan. Jika penegak hukum tak menjunjung prinsip keadilan yang adil bagi semua, maka nilai sosial dari hukum itu sendiri menjadi pudar.

Perbaikan negara dalam aspek hukum tidak cukup di atas dokumen, tetapi harus diwujudkan lewat tindakan nyata yang menjamin kesetaraan hukum bagi seluruh warga. Jika hal itu diabaikan, ketimpangan yang dibiarkan dapat berubah menjadi ketidakpercayaan publik, bahkan bisa berujung pada kekacauan.

Kita semua memiliki peran penting untuk mengawasi jalannya proses hukum agar tidak sebatas prosedur formal di pengadilan, melainkan benar-benar memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sebab ketika keadilan benar-benar
ditegakkan, maka kepercayaan rakyat terhadap negara pun akan tumbuh kembali.

 

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait